Penyeragaman. Pabrik menghasilkan produk yang seragam, maka sekolah pun harus menghasilkan output yang seragam, itulah logika dominan yang berlaku saat itu. Untuk itu, standarisasi dalam berbagai bidang menjadi norma atau aturan. Siswa wajib mempelajari bahan pelajaran yang sama dan belajar dengan cara yang sama. Tidak ada ruang bagi keunikkan atau keistimewaan yang ada ada diri seseorang siswa. Melakukan hal yang berbeda dari standar yang seragam bisa dianggap sebagai cacat. Untuk menjaga keseragaman ini, proses pembelajaran harus diawasi, karena diperlukan orang-orang yang bertugas sebagai "pengawas."
Hubungan Mekanistik. Dalam hubungan dan suasana yang bersifat mekanistik, hal yang sangat dipentingkan adalah hubungan formal dan menonjolkkan hierarki; hubungan informal dan ikatan emosi dianggap tidak penting. Kepala sekolah dan guru memandang perannya hanya sebagai sekrup-sekrup kecil dari suatu mesin yang bergerak menurut petunjuk dan teknis yang baku. Inilah model sekolah yang tidak menaruh perahtian pada hubungan social dan manusiawi diantara kepala sekolah, guru, dan siswa. Yang paling penting di sekolah seperti ini adalah mencapai target dan menghasilkan output yang sesuai standar.
Memandang Siswa sebagai objek. Dalam model sekolah sebagai mesin atau pabrik, siswa disamakan dengan bahan baku; siswa diperlakukan sebagai objek pasif yang harus diolah agar menjadi produk akhir. Dalam pengolahan ini, guru dipandang sebagai "operator" yang harus bekerja dengan cara yang seragam agar produk akhirnya juga seragam. Untuk mengatur pekerjaan guru sebagai operator, yang berperan sebagai "mandor" dan diatas para mandor ini ditempatkanlah seorang "pengawas" yang bertugas mengawasi apakah para operator dan mandor ini telah menjalaknan tugasnya sesuai petunjuk dan pelaksanaaan yang diberikan.
Sebagai akibat cara pandang tersebut, pendidikan atau sekolah pun dilihat hanya sebagai industri yang memproduksi lulusan dengan kompetensi tertentu agar dapat diterima sebagai pekerja di tempat kerja tertentu. Memang, kompetensi bisa membuat seseorang bisa melakukan tugasnya dengan baik, namun karakterlah yang membuatnya bertekad mencapai yang terbaik dan selalu ingin lebih baik. Di pihak lain, orang-orang dengan kompetensi yang tinggi tanpa disertai karakter yang baik dapat menjadi sumber masalah bagi lingkungannya, karena dengan kompetensinya untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan masyarakat luas.
13 Rabiul Akhir 1444 H, Blitar.
Sumber :
Hasnun, Anwar. (2017). Penguatan pendidikan karakter berbasis maja labo dahu dan nggusu waru. Yogyakarta : Blindung.
Samani, Muchlas dan Harriyanto. (2012). Konsep dan model pendidikan karakter. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sriwilujeng, Dyah. (2017). Panduan implementasi penguatan pendidikan karakter : Erlangga group
Yayasan Jati Diri Bangsa. (2011 ). Pendidikan karakter di sekolah dari gagasan ke tindakan. Jakarta : Elex Media Komputindo.