Mohon tunggu...
Ahmad Mustaqbal Ukhrawie
Ahmad Mustaqbal Ukhrawie Mohon Tunggu... Mahasiswa - "اِذِ اْلفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِع # وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ"

Hamba Tuhan yang mengabdikan diri menjadi seorang pembelajar dan pengamal. Menekuni bidang: pendidikan agama islam, sejarah, dan sastra. “Ikhlas memang tak mudah. Karena itu, ada ungkapan semua manusia ini binasa, kecuali yang beramal. Semua yang beramal binasa, kecuali yang tulus ikhlas" -Muhammad Quraisy Syihab-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cooperative Learning

21 Agustus 2022   16:29 Diperbarui: 14 November 2022   16:15 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Berdasarkan analisis konseptual dan kondisi pendidikan, ternyata tidak sedikit mahasiswa kesulitan dalam mengikuti mata kuliah karena metode pembelajaran yang dipilih dan digunakan oleh dosen dirasakan kurang tepat (Azis Wahab, 1986). 

Dengan demikian, kemandirian mahasiswa dalam belajar kurang terlatih dan proses belajar mengajar akan berlangsung secara kaku sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuan, sikap, moral, dan keterampilan mahasiswa (Hamid Hasan, 1996). 

Pemilihan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi mahasiswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang dosen (Kosasih, 1992). 

Hal ini didasari oleh asumsi bahwa ketepatan dosen dalam memilih model dan metode pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar mahasiswa (Jarolimek, 1967), karena model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen berpengaruh terhadap kualitas proses belajar mengajar yang dilakukannya (Azis Wahab, 1986).

Kondisi proses belajar mengajar di kalangan perguruan tinggi masih diwarnai oleh penekanan pada aspek pengetahuan. Masih sedikit yang mengacu pada keterlibatan mahasiswa dalam proses belajar itu sendiri (Hasibuan dalam kompas, 21 Agustus 1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa pembelajaran ips tidak merangsang Mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar.

Sehubungan dengan masalah diatas, maka upaya peningkatan kualitas proses belajar mengajar dalam pendidikan IPS merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model cooperative learning.

A. COOPERATIVE LEARNING

 1. Pengertian Cooperative Learning

Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama (Hamid Hasan, 1996). Dalam kegiatan kooperatif, mahasiswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya.

Baca juga: Pendidikan Karakter

Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok ke dalam pengajaran yang memungkinkan mahasiswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Johnson, et al., 1994, Hamid Hasan, 1996). 

Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen Selanjutnya dikatakan pula, keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok.

Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. 

Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok.

Cooperative learning lebih dari sekadar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada "struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif' sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok (Slavin, 1983;Stahl, 1994). 

Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama sama dalam kelompok. 

Stahl (1994) mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu "getting better together", atau "raihlah yang lebih baik secara bersama-sama" (Slavin, 1992).

Aplikasinya di dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh mahasiswa dalam kesehariannya, dengan bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan kelas. 

Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari dosen, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebayanya.

Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. 

Melalui belajar dari teman yang sebaya dan di bawah bimbingan dosen, maka proses penerimaan dan pemahaman mahasiswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.

 Model belajar cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama di antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar. 

Cooperative learning is more effective in increasing motive and performance students (Michaels, 1977). Model belajar cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan mahasiswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena mahasiswa dapat bekerja sama dengan mahasiswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi.

 Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning, pengembangan kualitas diri mahasiswa terutama aspek afektif mahasiswa dapat dilakukan secara bersama sama. Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip kooperatif sangat baik digunakan untuk mencapai tujuan belajar, baik yang sifatnya kognitif afektif, maupun konatif (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1994). 

Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang saling percaya, terbuka, dan rileks di antara anggota kelompok memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memperoleh dan memberi masukan di antara mereka untuk mengem bangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang ingin dikembangkan dalam pembelajaran.

 Secara umum, pola interaksi yang bersifat terbuka dan langsung di antara anggota kelompok sangat penting bagi mahasiswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Hal ini dikarenakan setiap saat mereka akan melakukan diskusi; saling membagi pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan; serta saling mengoreksi antar sesama dalam belajar.

Tumbuhnya rasa ketergantungan yang positif di antara sesama anggota kelompok menimbulkan rasa kebersamaan dan kesatuan tekad untuk sukses dalam belajar. Hal ini terjadi karena dalam cooperative learning mahasiswa diberikan kesempatan yang memadai untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkannya untuk melengkapi dan memperkaya pengetahuan yang dimiliki dari anggota kelompok belajar lainnya dan dosen.

 Suasana belajar dan rasa kebersamaan yang tumbuh dan berkembang di antara sesama anggota kelompok memungkinkan mahasiswa untuk mengerti dan memahami materi pelajaran dengan lebih baik. Proses pengembangan kepribadian yang demikian, juga membantu mereka yang kurang berminat menjadi lebih bergairah dalam belajar (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1992; Stahl, 1994).

Mahasiswa yang kurang bergairah dalam belajar akan dibantu oleh mahasiswa lain yang mempunyai gairah lebih tinggi dan memiliki kemampuan untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya. 

Suasana belajar seperti itu, di samping proses belajarnya berlangsung lebih efektif, juga akan terbina nilai-nilai lain (nurturant values) yang sesuai dengan tujuan Pendidikan IPS, yaitu nilai gotong royong, kepedulian sosial, saling percaya, kesediaan menerima dan memberi, dan tanggung jawab mahasiswa, baik terhadap dirinya maupun terhadap anggota kelompoknya. 

Dalam kelompok belajar tersebut, sikap, nilai, dan moral dikembangkan secara mendasar (Hasan, 1996). Belajar secara kelompok dalam model pembelajaran ini merupakan miniatur yang diterapkan dalam kehidupan di kelas yang akan melatih mahasiswa untuk mengembangkan dan melatih mereka menjadi anggota masyarakat yang baik.

2. Konsep Dasar Cooperative Learning

Dalam menggunakan model belajar cooperative learning di dalam kelas ada beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan dan diupayakan oleh dosen. Dosen dengan kedudukannya sebagai perancang dan pelaksana pembelajaran dalam menggunakan model ini harus memerhatikan beberapa konsep dasar yang merupakan dasar-dasar konseptual dalam penggunaan cooperative learning. 

Adapun prinsip-prinsip dasar tersebut menurut Stahl (1994), meliputi sebagai berikut.

a. Perumusan Tujuan Belajar Mahasiswa Harus Jelas 

      Sebelum menggunakan strategi pembelajaran, dosen hendaknya memulai dengan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan spesifik. Tujuan tersebut menyangkut apa yang diinginkan oleh dosen untuk dilakukan oleh mahasiswa dalam kegiatan belajarnya. 

Perumusan tujuan harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar mahasiswa ditekankan pada pemahaman materi pelajaran, sikap, dan proses dalam bekerja sama, ataukah keterampilan tertentu. 

Tujuan harus dirumuskan dalam bahasa dan konteks kalimat yang mudah dimengerti oleh mahasiswa secara keseluruhan. Hal ini hendaknya dilakukan oleh dosen sebelum kelompok belajar terbentuk.

b. Penerimaan yang Menyeluruh oleh Mahasiswa tentang Tujuan Belajar 

      Dosen hendaknya mampu mengondisikan kelas agar mahasiswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri dan kepentingan kelas. Oleh karena itu, mahasiswa dikondisikan untuk mengetahui dan menerima kenyataan bahwa setiap orang dalam kelompoknya menerima dirinya untuk bekerja sama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari.

c. Ketergantungan yang Bersifat Positif

      Untuk mengondisikan terjadinya interdependensi di antara mahasiswa dalam kelompok belajar, maka dosen harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga mahasiswa memahami dan mungkin untuk melakukan hal itu dalam kelompoknya (Johnson, et al., 1988). 

Dosen harus merancang struktur kelompok dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap mahasiswa untuk belajar dan mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi pelajaran. Kondisi belajar ini memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dosen.

d. Interaksi yang Bersifat Terbuka 

      Dalam kelompok belajar, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Suasana belajar seperti itu akan membantu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan mahasiswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. 

Mereka akan saling member dan menerima masukan, ide, saran, dan kritik dari temannya secara positif dan terbuka.

e. Tanggung Jawab Individu

      Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah bahwa keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik apabila dilakukan dengan bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu mahasiswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajari nya di antara mahasiswa lainnya. 

Sehingga secara individual mahasiswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

f. Kelompok Bersifat Heterogen

      Dalam pembentukan kelompok belajar, keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerja sama yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik mahasiswa yang berbeda. Dalam suasana belajar seperti itu akan tumbuh dan berkembang nilai, sikap, moral, dan perilaku mahasiswa. 

Kondisi ini merupakan media yang sangat baik bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan dan melatih keterampilan dirinya dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis.

g. Interaksi Sikap dan Perilaku Sosial yang Positif

      Dalam mengerjakan tugas kelompok, mahasiswa bekerja dalam kelompok sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan mahasiswa lainnya mahasiswa tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. 

Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, mahasiswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksinya dalam memimpin, berdiskusi, bernegosiasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. 

Dalam hal ini dosen harus membantu mahasiswa menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja sama yang bisa digunakan oleh mahasiswa dalam kelompok belajarnya. 

Perilaku-perilaku tersebut termasuk kepemimpinan, pengembangan kepercayaan, berkomunikasi, menyelesaikan masalah, menyampaikan kritik, dan perasaan perasaan sosial. Dengan sendirinya mahasiswa dapat mempelajari dan mempraktikkan berbagai sikap dan perilaku sosial dalam suasana kelompok belajarnya.

h. Tindak Lanjut (Follow Up)

      Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja mahasiswa dalam kelompok belajarnya, 

termasuk juga: (a) bagaimana hasil kerja yang dihasilkan, (b) bagaimana mereka membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan memahami materi dan masalah yang dibahas, (c) bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam interaksi kelompok belajar bagi keberhasilan kelompoknya, dan (d) apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan keberhasilan kelompok belajarnya di kemudian hari. 

Oleh karena itu, guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan mahasiswa dan aktivitas mereka selama kelompok belajar mahasiswa tersebut bekerja. 

Dalam hal ini, dosen harus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik kepada mahasiswa lainnya maupun kepada dosen dalam rangka perbaikan belajar dari hasilnya di kemudian hari.

i. Kepuasan dalam Belajar

Setiap mahasiswa dan kelompok harus memperoleh waktu yang cukup untuk belajar dalam mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya. Apabila mahasiswa tidak memperoleh waktu yang cukup dalam belajar, maka keuntungan akademis dari penggunaan cooperative learning akan sangat terbatas (Stahl, 1992). 

Perolehan belajar mahasiswa pun sangat terbatas sehingga dosen hendaknya mampu merancang dan mengalokasikan waktu yang memadai dalam menggunakan model ini dalam pembelajarannya.

Konsep-konsep di atas dalam pelaksanaannya sering disalah mengertikan oleh dosen. Banyak di antara mereka yang menganggap bahwa dalam menggunakan model pembelajaran dengan cooperative learning cukup satu atau beberapa konsep dasar saja yang ditargetkan (Stahl, 1994). Hal ini menyebabkan efektivitas dan produktivitas model ini secara akademis sangat terbatas. 

Secara khusus dalam menerapkan model ini, dosen hendaknya memahami dan mampu mengembangkan rancangan pembelajarannya sedemikian rupa sehingga memungkinkan teraplikasikan dan terpenuhinya keseluruhan konsep-konsep dasar dari penggunaan cooperative learning dalam pembelajarannya.

David dan Roger Johnson (1989), menyatakan bahwa pengorganisasian materi dan tugas serta bekerja dalam kelompok tidak cukup memadai bagi terjadinya suasana kerja yang bersifat cooperative. Pengembangan suasan yang kondusif bagi kelompok belajar dan hubungan-hubungan yang bersifat interpersonal di antara sesama anggota harus ditumbuhkan oleh guru sehingga kelompok belajar dapat bekerja dan belajar secara produktif. 

Syarat pertama yang harus dilakukan oleh dosen selaku pelaksana dan pengembang kegiatan belajar mengajar adalah mengondisikan mahasiswa untuk bekerja sama sebelum menggunakan cooperative learning (Stahl, 1994; Slavin, 1992).

Banyak guru pendidikan IPS yang mengatakan bahwa "saya tidak dapat menggunakan cooperative learning karena mahasiswa saya tidak mempunya keterampilan untuk bekerja sama." Hal ini merupakan kenyataan yang sering ditemukan di lapangan karena dosen tanpa pemahaman yang baik mengenai model dan prinsip penggunaannya, begitu saja menggunakan model belajar cooperative learning tanpa pengondisian iklim belajar yang memadai.

 Untuk mengatasi hal tersebut, maka pengondisian iklim bekerja sama di antara mahasiswa dan pemberian informasi mengenai model pembelajaran yang akan digunakan beserta langkah-langkahnya, serta proses refleksi dan evaluasi setelah pembelajaran berlangsung (Yager, et al., 1986), merupakan suatu keharusan bagi dosen dalam menggunakan model belajar tersebut.

B. LANGKAH-LANGKAH DALAM PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING

      Langkah-langkah dalam penggunaan model cooperative learning secara umum (Stahl, 1994; Slavin, 1983) dapat dijelaskan secara operasional sebagai berikut : 

1. Langkah pertama yang dilakukan oleh dosen adalah merancang rencana program pembelajaran. Pada langkah ini dosen mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. 

Di samping itu, dosen pun menetapkan sikap dan keterampilan sosial yang diharapkan dikembangkan dan diperlihatkan oleh mahasiswa selama berlangsungnya pembelajaran. Dosen dalam merancang program pembelajaran harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas mahasiswa yang mencerminkan sistem kerja dalam kelompok kecil. 

Artinya, bahwa materi dan tugas-tugas itu adalah untuk dibelajarkan dan dikerjakan secara bersama dalam dimensi kerja kelompok. Untuk memulai pembela jarannya, dosen harus menjelaskan tujuan dan sikap serta keterampilan sosial yang ingin dicapai dan diperlihatkan oleh mahasiswa selama pembelajaran. 

Hal ini mutlak harus dilakukan oleh dosen, karena dengan demikian mahasiswa tahu dan memahami apa yang harus dilakukannya selama proses belajar mengajar berlangsung.

2. Langkah kedua, dalam aplikasi pembelajaran di kelas, dosen merancang lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan mahasiswa dalam belajar secara bersama dalam kelompok-kelompok kecil.

 Dalam menyampaikan materi, dosen tidak lagi menyampaikan materi secara panjang lebar, karena pemahaman dan pendalaman materi tersebut nantinya akan dilakukan mahasiswa ketika belajar secara bersama dalam kelompok. 

Dosen hanya menjelaskan pokok-pokok materi dengan tujuan mahasiswa mempunyai wawasan dan orientasi yang memadai tentang materi yang diajarkan. Pada saat dosen selesai menyajikan materi, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menggali pengetahuan dan pemahaman siswa tentang materi pelajaran berdasarkan apa yang telah dibelajarkan. 

Hal ini dimaksudkan untuk mengondisikan kesiapan belajar mahasiswa. Berikutnya, dosen membimbing mahasiswa untuk membuat kelompok. Pemahaman dan konsepsi dosen terhadap siswa secara individual sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang terbentuk. 

Kegiatan ini dilakukan sambil menjelaskan tugas yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam kelompoknya masing-masing. Pada saat mahasiswa belajar secara berkelompok, maka dosen mulai melakukan monitoring dan mengobservasi kegiatan belajar mahasiswa berdasarkan lembar observasi yang telah dirancang sebelumnya.

3. Langkah ketiga, dalam melakukan observasi terhadap kegiatan mahasiswa, dosen mengarahkan dan membimbing mahasiswa, baik secara individual maupun kelompok, baik dalam memahami materi mau-pun mengenai sikap dan perilaku mahasiswa selama kegiatan belajar berlangsung. 

Pemberian pujian dan kritik membangun dari dosen kepada mahasiswa merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh dosen pada saat mahasiswa bekerja dalam kelompok nya. 

Di samping itu, pada saat kegiatan kelompok berlangsung, ketika mahasiswa terlibat dalam diskusi dalam masing-masing kelompok, dosen secara periodik memberikan layanan kepada mahasiswa, baik secara individual maupun secara klasikal.

4. Langkah keempat, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Pada saat diskusi kelas ini, dosen bertindak sebagai moderator. 

Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengoreksi pengertian dan pemahaman mahasiswa terhadap materi atau hasil kerja yang telah ditampilkannya. 

Pada saat presentasi mahasiswa berakhir, dosen mengajak mahasiswa untuk melakukan refleksi diri terhadap proses jalannya pembelajaran, dengan tujuan untuk memperbaiki kelemaha kelemahan yang ada atau sikap serta perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran. 

Di samping itu, pada saat tersebut dosen juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatih oleh mahasiswa Dalam melakukan refleksi diri ini, dosen tetap berperan sebagai mediator dan moderator aktif. 

Artinya, pengembangan ide, saran, dan kritik terhadap proses pembelajaran harus diupayakan berasal dari mahasiswa kemudian barulah dosen melakukan beberapa perbaikan dan pengarahan terhadap ide, saran, dan kritik yang berkembang. 

C. HASIL PENELITIAN YANG TELAH DILAKUKAN MENGENAI COOPERATIVE LEARNING

Van Sickle (1983) dalam penelitiannya mengenai model cooperative learning dan implikasinya terhadap perolehan belajar siswa dan pengembangan kurikulum social studies, menemukan bahwa sistem belajar kelompok dan debriefing secara individual dan kelompok dalam model cooperative learning mendorong tumbuhnya tanggung jawab sosial dan individual siswa, berkembangnya sikap ketergantungan yang positif, mendorong peningkatan dan kegairahan belajar siswa, serta pengembangan dan ketercapaian kurikulum.

Stahl (1992) dalam penelitiannya di beberapa sekolah dasar di Amerika menemukan, bahwa penggunaan model cooperative learning mendorong tumbuhnya sikap kesetiakawanan dan keterbukaan di antara siswa. Penelitian ini juga menemukan bahwa model tersebut mendorong ketercapaian tujuan dan nilai-nilai sosial dalam pendidikan social studies.

Penelitian yang dilakukan Webb (1985), menemukan bahwa dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning, sikap dan perilaku siswa berkembang ke arah suasana demokratisasi dalam kelas. Di samping itu, penggunaan kelompok kecil siswa mendorong siswa lebih bergairah dan termotivasi dalam mempelajari IPS.

Penelitian Snider (1986) yang dilakukan pada siswa Grade-9 untuk mata pelajaran Geografi di Amerika menemukan, bahwa penggunaan model cooperative learning sangat mendorong peningkatan prestasi belajar siswa dengan perbedaan hampir 25% dengan kemajuan yang dicapai oleh siswa yang diajar dengan menggunakan sistem kompetisi.

Penelitian Dra. Hj. Etin Solihatin, M.Pd., dkk. (2001) yang dibiayai proyek PGSM, dilakukan pada mahasiswa Penyetaraan D-3 Tahap II untuk mata kuliah Pendidikan IPS di Universitas Negeri Jakarta, menemukan bahwa penggunaan model Cooperative Learning sangat mendorong peningkatan prestasi mahasiswa 20%, dan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk belajar mandiri.

 Mengkaji beberapa temuan penelitian terdahulu, tampaknya model cooperative learning menunjukkan efektivitas yang sangat tinggi bagi perolehan hasil belajar siswa, baik dilihat dari pengaruhnya terhadap penguasaan materi pelajaran maupun dari pengembangan dan pelatihan sikap serta keterampilan sosial yang sangat bermanfaat bagi siswa dalam kehidupannya di masyarakat.

Semoga bermanfaat, wallahu a'lam.

                                                                                                                                                               

Sumber :

Solihatin Etin, dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning Analisis Pembelajaran IPS. Jakarta : Bumi Aksara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun