Cinta dalam pandangan materialistik, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Erich Fromm (1997), harus memerdekakan, harus membebaskan. Pasalnya, mencintai satu orang saja, menurut Fromm, bukanlah cinta sebenarnya. Menyerahkan diri secara totalitas kepada seseorang bukanlah ekspresi cinta, justeru malah menyakiti diri sendiri. Dengan kata lain, konsepsi cinta yang berdasarkan pada perjumpaan “yang sepasang” untuk melebur menjadi “yang tunggal” -seperti yang telah di jelaskan-, bertentangan dengan pandangan materialistik yang menempatkan cinta dalam lingkup luas atau cinta harus menuju “yang ganda”.
Fromm mungkin benar, jika mencintai seseorang secara totalitas akan berdampak rasa sakit pada diri sendiri. Tetapi, menurut Saidi, kesakitan tersebut akan niscaya jika dasar mencintai tersebut bersifat keduniawian, maka daripada itu tindakan saling mencintai disini hanya berhenti sebagai hubungan antar manusia. Namun, jika cinta esensinya dikembalikan kepada perjumpaan “yang sepasang” dengan kesadaran bahwa “yang sepasang” tersebut pada mulanya “yang tunggal” sebagai sebuah takdir ilahiah, maka kesakitan –sebagaimana yang Fromm ungkapkan- tidak akan pernah ada.
Konsepsi diatas menegaskan bahwa perjumpaan pasangan hingga pernikahan atau bahkan pasangan (suami-istri) yang lantas bercerai, dapat dipastikan bukan berlandaskan cinta yang sesungguhnya. Saidi berpendapat, perjumpaan tersebut boleh jadi disebabkan oleh fatamorgana dunia, seperti: godaan fisik, materi, nafsu seksual, dan lain sebagainya yang bersifat keduniawian. Sekalipun disana menghasilkan pembuahan (anak), tetapi, perlu dicatat bahwa penciptaan anak (manusia) mutlak kehendak Allah bukan karena cinta dalam pernikahan. Pasalnya terdapat pasangan yang mencintai setengah mati namun tidak memiliki anak; sebaliknya banyak yang menikah tanpa dasar cinta tapi banyak memiliki anak.
Pencarian “yang sepasang” dan melebur menjadi “yang tunggal” merupakan perjalanan kembali kebelakang, perjalan menuju waktu dimana sebelum manusia diciptakan; waktu dunia adalah fatamorgana, seolah kita dibawa ke depan padahal sejatinya kita melangkah kebelakang. Waktu di belakang manusia inilah yang Saidi sebut sebagai Masa Depan Absolut Manusia. Maka secara esensial perjalanan manusia adalah perjalanan pulang, karena menemukan “pasangan yang sepasang” adalah cinta hakiki yang merupakan cinta kasih Tuhan. Hal tersebut merupakan masa depan kita, masa depan absolut manusia.***[Jawad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H