Tiiiiiiingg!! Pemecah kesunyian pikiran yang bisa menyatukan semua titik terpencar. Seolah sukma berkelana pun langsung bisa menyatu kembali ke wadah rapuhnya. Hal serupa tidak bekerja di lain setting waktu. Saat sisa hawa subuh mendobrak paksa sela jendela, bau kesejukan merambah seluruh sudut ruang dengan blok warna putih itu. Di sudut terkulai taksa tanpa gerakan sedikitpun bahkan suara dering yang berasal dari kotak hitam berbunyi menyebutkan angka. Diakui atau tidak kotak kecil itu sumber dari kekuatan ghaib. Permainan jaman dengan bahasa teknologi canggih yang bisa mengubah ada menjadi tiada, jauh menjadi dekat, dekatpun bisa jadi jauh bahkan kata menjadi angka.
Angka yang tak mampu diterjemahkan ketika kelana sukma masih asyik beraktivitas di alam sana. Jauh tujuan yang menjadi destinasi kelananya. Seolah ina sampai indurasmi, ramai hingga sepi. Nanti pada saatnya tak perlu suara manapun, untuk mengembalikan petualangan tersebut. Jika sebuah gelombang unik sudah tersambung, maka itu kembali ke wadah rapuh sesuai kehendaknya. Kalau sudah begini taksapun merangkak menunaikan potret manusia normal sebelum memburuhkan diri.
Diri yang menopang segala kekakuan itu, menahan suhu yang menusuk dalam sampai ke tulang. Benda cair yang mulai mengalir disusul gesit tangan mungil menggenggam benda licin. Si kecil gesit sibuk menjelajah walau jalur kebosanan dengan rute tanpa variasi. Ini hal pertama, normal sedemikian mengikuti kata wajar.
"Dek!! Mau bawa bekal nggak?" suara wanita paruh baya yang datang dari ruang sebelah sibuk memainkan peran paginya. Lalu terdengar jawaban dari balik dinding, "Enggak!" Ini hal kedua, normal sedemikian untuk punya rasa gengsi ketika usianya sudah bertumbuh menanggungjawabi diri sendiri. Tak banyak cita-citanya,namun satu yang selalu disemogakan bahwa sosok yang pernah menjadi tempat bernaungnya selama sembilan bulan itu selalu bahagia sampai waktu menjemput.
Sedangkan kalau dipikir-pikir percakapan ini menjadi satu-satunya cara antara mereka saling terhubung satu sama lain. Benar satu atap, namun dari ujung sisa petang subuh hingga hampir temaram berganti angka tanggal itu nihil atas keduanya. Seolah karma membenarkan teorinya. Waktu produktif masing-masing jelas tidak mempertemukan perjalanan hidup antara keduanya. Kembali mulai dari masa seorang anak kecil yang direbut waktu asuhnya untuk masa produktif sosok wanita karir. Sedemikian cepat waktu membalikkan kedudukan pasca seperempat abad. Masa purna yang tak mendapati sisa waktu milik putri kecil yang disulap oleh sebuah masa maupun tuntutan profesionalitas. Gadaian masa antar generasi semacam itu sudah layak disebut hal ketiga normal yang wajar.
***
Jam pasirku berjalan begitu lambat dibanding perputaran bumantara. Terseok mengikuti semua yang harus dikerjakan. Namun tak sedikitpun perubahan berpihak padanya. Setelah beberapa lama baru ia menyadari adanya suatu rahasia. Ya betul rahasia milik alam, yang apabila kita dapat mengadopsi kecepatan alam yakni kata kuncinya hanya kesabaran. Dirinya cukup sabar dalam proses pembelajaran menjadi manusia normal ini. Apalagi  soal adu kecepatan dengan alam dan bayang. Berharap pun percuma kan, ketika bayangannya sendiripun juga meninggalkannya di kala sang gelap datang. Satu sisa dengan kata setia, itu pendapat dari sang naif. Karir? Apa iya, pikir batinnya.  Profesionalitas berkedok pelarian dari sebuah masa yang enggan ia nikmati dari sebuah proses penyembuhan. Namun bak candu, rute kedamaian sehari-hari yang justru ditemukannya. Mulai dari rute yang sama, arah jarum yang sama langkah terhitung pun sama, hingga tempo tanpa tawaran menjadi hal tersulit untuk ditolak, melaju ke arahnya dengan kecepatan yang sama sekali tak tertolak pula. Tidak bisa lagi bicara tentang mood yang kemudian berselisih tidak ada minat. Semua yang datang memberondong harus dan wajib untuk dihalau secara rapi tanpa meninggalkan jejak apapun.
Jejak dayuh dalam pikiran sang wanodya seperempat abad itu merelief permanen di dinding jiwanya. Pikirannya datang tanpa jatmika menerobos kepenatan keseharian. Taksa tak selaras dengan benak. Lunglai namun kokoh. Pancarona rencana tinggallah rencana. Ini keanehan yang wajar dalam urutan keempat menjadi hal normal. Yakni wadah sempurna tampakan luarnya namun sungguh di dalam berbeda sekali penampakannya. Sayangnya manusia menjadikannya hobi dengan dalih menjadi manusia normal. Menurut isi nuraninya sungguh hobi tersebut bukanlah hal lucu. Justru sebaliknya, bukan kewajiban hal wajar yang dinormalisasi melainkan hak tubuh itu harusnya ia berikan.
Tubuh telah menyediakan wadah dalam perburuan pengalaman yang berharga bagi jiwa. Jiwapun tidak perlu egois dalam mengeksploitasi wadahnya. Wadah rapuh termakan usia. Janji waktu yang diutamakan bukan soal jam pasir yang iramanya lebih sesuai dengan taksa.
Sekali lagi benar, tentang kenormalan yang dipaksakan.  Iya,  bahkan paksa yang tanpa jeda. Alarm bawah sadar selalu meneriaki meskipun taksanya tak lagi berkemampuan mematikan bunyinya dengan pemenuhan panggilan. Wajar itu tidak terbaca. Pertanda apapun  di ring permaianan ini terabaikan. Tertutp semua oleh kobar ambisi meraung tanpa pemakluman. Mesin beroprasi dengan waktu, manusia pengendalinya bukan. Normalnya sih begitu. "Wajarnya, normalnya, masa bodoh dengan kenormalan kan?"teriak batinnya. Seperti namanya Sukma, apa yang tidak tampak biasanya memiliki kekuatan yang lebih dibanding yang tampak. Sekarang siapa pengendalinya, sudah terjawab bukan, pikirnya. Perjalanan menjadi manusia normal tidak harus mengorbankan apapun. Jam pasir akan tetap mengalir sesuai kecepatannya. Standar kenormalan tidak perlu dipergunjingkan dari luaran sana. Semua masa akan menjadi normal. Bahkan situasi yang tidak normal hanyalah bersifat sementara. Dan yang abadi adalah sukma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H