Melalui pemahaman akan filosofi-filosofi di atas mungkin kita bisa melihat dengan cara berbeda kisah-kisah si Kabayan. Produktivitas, kerja keras, hal-hal duniawi yang menjadi fokus hidup kita sekarang memang akan menyulitkan kita mengapresiasi sosok Kabayan. Kita cenderung melihat sosok si kabayan yang malas, bodoh dll. Padahal semua sikap si Kabayan bisa jadi anti thesis terhadap kehidupan modern yang terlalu cepat sehingga melewatkan kegembiraan-kegembiraan kecil sehari-hari, yang masih bisa dinikmati oleh si kabayan. Di barat kini tengah ngetrend gerakaan deselerasi, pelambatan hidup. Misalnya dengan berjamurnya pusat-pusat yoga dan meditasi, slow food, dll.
Misalnya ada satu kisah tentang kabayan ngala (mengambil-red) tutut (sejenis keong sawah yang bisa dimakan dan mengandung protein tinggi, enak sekali!). Sudah berjam-jam Kabayan masih saja jongkok di pematang sawah dan tidak mau masuk ke sawah, sambil emmandanig air yang menggenang di sawah yang masih basah itu. Melihat sikap Kabayan yang aneh itu, mertuanya bertanya mengapa dia tidak juga turun ke sawah. Kabayan menjawab bahwa dia tidak mau turun ke sawah karena air di sawah dalam sekali, saking dalamnya, dia bisa melihat langit di permukaan air sawah.
Cerita di atas sering dianggap sebagai cerita “bodoh” si Kabayan, masak dia takut masuk ke sawah karena dia menggap airnya dalam gara-gara melihat bayangan langit di permukaannya. Padahal jika kita renungkan, kisah ini menyindir kebodohan kita dalam memandang hidup. Kita sering ketakutan oleh kehidupan dunia yang sebetulnya adalah bayang-bayang, seperti juga bayangan langit di permukaan air sawah. Kita sering khawatir kehilangan pangkat, jabatan atau kekayaan. Padahal semua itu bayang-bayang yang pasti akan hilang. Kalau kabayan takut oleh bayang-bayang langit, itu sebetulnya menyindir kita yagn sellau ketakutan oleh bayang-bayang duniawi, sesuatu yagn tak nyata dan pasti hilang.
Cerita ini mengingatkan saya pada kisah sufi Nasruddin Khoja. Suatu saat dia meninggalkan keledainya di tengah gurun pasir. Ketika dia kembali, dia tidak menemukan keledainya. Ketika seseorang bertanya kepada Nashrudin di mana tadi di ameninggalkan keledainya, Nashrudin menjawab bahwa dia sangat yakin bahwa ditempat itulah di ameninggalkan keledainya, sebagai tandanya dia menunjuk awan di langit, “Saya simpan keledai saya tepat di bawah awan itu, swear!” Kisah ini terlihat sama bodohnya dnegan Kabayan. Masak awan dijadikan patokan tempat keledai ditambatkan. Padahal awan kan bergerak, tidak bisa jadi patokan. Tapi seperti itulah sebetulnya seringkali kita menjalani dan memandang hidup. Kita sering menambatkan sesuatu harapan pada patokan yang tidak abadi. Kita menambatkan kebahagiaan pada sesuatu yang sementara, bergerak dan bsia hilang.
Sosok Kabayan selalu ada di setiap budaya, diciptakan oleh leluhur kita untuk mengabadikan kebijakan sebagai warisan untuk generasi-generasi berikutnya. Seperti juga sosok Nasrudin Khoja dalam tradisi Sufi. Dalam tradisi sufi, ada satu istilah (yang saya lupa) yang menggambarkan bahwa sufi-sufi yagn ilmunya sudah tinggi suka berpura-pura jadi orang yang bodoh, agar mereka bisa memberikan nasihat kepada banyak orang dnegan cara yang bersahaja, tanpa menggurui. Sebagian orang yakin bahwa Nasruddin Khoja adalah sufi besar, jadi mungkin juga kalau Kabayan itu adalah seorang Sufi (?)
Selain sikap hidup yang asketik di atas, ada beberap kualitas Kabayan yang jadi filosofi dalam kehidupan sehari hari misalnya:
* Cageur: sehat fisik dan rohani
* Bageur: baik hati
* Pinter: cerdas
* Motekar: kreatif
* Basajan: sederhana
* Handap asor: rendah hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H