Mohon tunggu...
Yafaowoloo Gea
Yafaowoloo Gea Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencinta Traveling, Pemerhati Wisata & Budaya Nias

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bawomataluo, Warisan Budaya Dunia di Bukit Matahari

12 September 2013   20:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:59 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan menempuh perjalanan selama 3 jam dari bandar udara Binaka menyusuri tepi pantai ke arah Selatan disambut dengan lambaian nyiur di kiri kanan jalan, kita bisa menemukan desa Bawomataluo, sebuah desa adat yang sudah berusia ratusan tahun dan saat ini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia yang telah diusulkan oleh UNESCO sejak tahun 2009 dan pada bulan Desember 2012 lalu, dianugerahi sebagai salah satu Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.

[caption id="attachment_265514" align="aligncenter" width="600" caption="Perkampungan Tradisional Bawomataluo"][/caption]

Desa Bawomataluo yang secara harafiah berarti Bukit Matahari ini dan diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional (Omo Hada) khas Nias Selatan dengan jumlah 137 Omo Hada yang masih utuh dengan sebuah OMO SEBUA (Rumah Adat Besar/ Rumah Raja di tengah-tengahnya). Perkampungan yang berada di atas bukit di kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan ini terletak pada ketinggian 270 meter di atas permukaan laut ini, saat ini dihuni oleh 1310 Kepala Keluarga (KK).

[caption id="" align="aligncenter" width="234" caption="Tangga Menuju Perkampungan Bawomataluo (Doc: Melania)"]

Tangga Menuju Perkampungan Bawomataluo (Doc: Melania)
Tangga Menuju Perkampungan Bawomataluo (Doc: Melania)
[/caption]

Memasuki kawasan Bawomataluo, kita akan melewati 77 anak tangga (awalnya 80 anak tangga, namun berkurang akibat longsor) dengan latar belakang bentangan desa Orahili dan  pemandangan Pantai Sorake dan teluk Lagundri di kejauhan. Merupakan sebuah kebanggan dan kepuasan tersendiri ketika berhasil menjejakkan kaki di pucak anak tangga terakhir di gerbang desa Bawomataluo ini.

Tak jauh dari anak tangga terakhir gerbang Bawomataluo, setelah melawati deretan rumah adat tradisional di kiri kanan jalan masuk yang terbuat dari susunan lempengan bebatuan yang sekaligus berfungsi sebagai pekarangan penduduk kita akan melihat sebuah batu setinggi 2,15 meter yang menjadi tempat untuk lompat batu (Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias) dan rumah adat dengan atap tinggi menjulang yang disebut Omo Sebua (Rumah Raja) di sebelah kiri dan Omo Bale (Balai Desa) di sebelah kanan.

Sebuah keunikan tersendiri melihat Omo Sebua yang merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa diantaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar yang konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan dan ditarik dengan kereta peluncur.

[caption id="" align="aligncenter" width="220" caption="Tiang-Tiang Kayu Bulat Nan Besar di Omo Sebua (Doc: Melania)"]

Tiang-Tiang Kayu Bulat Nan Besar di Omo Sebua (Doc: Melania)
Tiang-Tiang Kayu Bulat Nan Besar di Omo Sebua (Doc: Melania)
[/caption]

Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat, Omo Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama empat tahun itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makan para pekerja. Dan puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Hada pengetua adat ini selesai dibangun. Uniknya, seluruh taring babi selama empat tahun tadi itu, tidak disia-siakan, melainkan dijadikan dekorasi di dalam Omo Hada.

[caption id="" align="aligncenter" width="440" caption="Kereta Luncur dari Pohon untuk mengangkut batu dan kau besar (Doc: Nias Post)"]

Kereta Luncur dari Pohon untuk mengangkut batu dan kau besar (Doc: Nias Post)
Kereta Luncur dari Pohon untuk mengangkut batu dan kau besar (Doc: Nias Post)
[/caption]

Di depan Omo Hada ini, terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Batu yang menjulang tinggi adalah batu Faulu (batu tanda menjadi raja) yang sebelah kanan adalah batu Loawo yang sebelah kiri batu Saonigeho, sementara batu datar adalah batu untuk mengenang kebesaran dan jasa kedua orang raja ini. di atas batu-batu itu hanya si ulu atau balo ji'ila yang bisa duduk disitu bila ada pertemuan. Sementara Batu di depan balai desa (Omo Bale) merupakan tempat duduk masyarakat jelata bila ada orahua / pengambilan keputusan.

[caption id="" align="aligncenter" width="324" caption="Daro-Daro & Menhir di depan Omo Sebua (Doc: Melania)"]

Daro-Daro & Menhir di depan Omo Sebua
Daro-Daro & Menhir di depan Omo Sebua
[/caption]

Bebatuan besar yang digunakan di depan rumah adat ini bukanlah berasal dari Bawomataluo melainkan diambil dari daerah yang jauh dengan diangkut oleh ratusan tenaga manusia.

[caption id="" align="aligncenter" width="249" caption="Pengangkutan Batu Besar Menggunakan Tenaga Manusia"]

Pengangkutan Batu Besar Menggunakan Tenaga Manusia
Pengangkutan Batu Besar Menggunakan Tenaga Manusia
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun