Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas dari lokasi pengeboran perusahaan Lapindo Brantas Inc. di daerah Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Hal ini terjadi akibat dari patahnya mata bor yang sedang di gunakan untuk menggali. Bencana ini bermulai pada tanggal 29 Mei tahun 2006 dan hinga saat ini belum bisa tertanggulangi dan masih menimbulkan luka lama terhadap para korban-korbannya. Bagaimana tidak, jika kejadian itu telah berusia 11 tahun lamanya yang menenggelamkan area mereka. Akibat dari semburan lumpur panas tersebut menimbulkan banyak hal. Salah satunya ialah tergenangnya kawasan tempat tinggal warga, lahan pertanian, dan kawasan perindustrian yang total areanya berupa tiga kecamatan.
Di lain sisi, semburan lumpur lapindo berakibat kepada sektor ekonomi korban lumpur lapindo dan masyarakat sekitarnya. Penduduk yang pada awalnya mempunyai pekerjaan, harus merelahkan pekerjaannya hilang. Yang pada awalnya baru membangun usaha, mereka harus merelahkan semua itu karena kejadian lumpur lapindo. Sehingga pada saat itu, lumpur lapindo merupakan sebuah mimpi buruk yang di anggap serius bagi warga jawa timur.
Genangan lumpur hingga 6 meter pada pemukiman, menyebabkan warga harus dievakuasi karena tempat tinggal mereka rusak. Area pertanian dan perkebunan juga rusak akibat genangan lumpur dan lebih dari 30 pabrik terpaksa harus menghentikan proses produksi dan merumahkan sekitar ribuan pekerjanya karena dampak lumpur ini. Lumpur lapindo juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur umum seperti jaringan listrik, telephon, sarana pendidikan, tempat ibadah, dan sejenisnya.
Ruas jalan tol Surabaya-Gempol yang sempat ditutup pada saat itu hingga mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong dan terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Berdasar penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang dilakukan 2006-2008, menyatakan bahwa lumpur lapindo berbahaya bagi kesehatan karena ditemukan zat Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker).
Berry Nahdian Furqon Direktur Eksekutif WALHI, mengatakan memang senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, kira-kira 5-10 tahun ke depan.
Selain rusaknya lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa di nomor dua kan. Setelah lebih dari 100 hari semburan lumpur terjadi, tidak ada perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah terhadap korban, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis, serta krisis sosial mulai mengemuka. Akibat dari hal tersebut membuat para korban bimbang dan bertanya-tanya, siapakah yang harus bertanggung jawab untuk semua ini. Bahkan beberapa orang dari korban menganggap jika pemerintah lamban untuk menanganai hal ini yang pada akhirnya menimbukan perpecahan warga yang mulai muncul mengenai tuntutan mereka tentang ganti rugi harta mereka yang terpendam akibat lumpur. Warga menuntut untuk PT. Lapindo Brantas membayar ganti rugi untuk semua yang telah terjadi. Sehingga pada saat itu terjadilah konflik horizontal antara korban dengan PT. Lapindo.
Di kutip dari Tempo.co, Surabaya, tentang pernyelesaian ganti rugi kepada korban lumpur lapindo yang hingga tangggal 29 Mei 2017 belum juga terselesaikan. Menurut data dari Humas Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) Yang menyatakan bahwa setidaknya masih ada 84 berkas warga korban lumpur di dalam peta area terdampak (PAT) Yang belum mendapatkan pelunasan ganti rugi. "Totalnya Rp 54 miliar," kata khusnul saat di hubungi Tempo.
Jika di lihat dari sisi korban yang sudah mendapat ganti rugi, penulis selaku warga sekitar dari sidoarjo menyimpulkan bahwa untuk korban yang telah mendapat ganti rugi sekarang sudah bisa hidup dengan taraf hidup yang cukup baik. Bahkan sebagian dari korban sudah mampu membeli perumahan mewah, tanah kavling bahkan mobil dari uang ganti rugi tersebut. Sehingga pada saat itu penduduk sekitar memberi julukan kepada korban lumpur lapindo dengan sebutan orang kaya dadakan. Bagaimana tidak jika mereka mendapat ganti rugi beberapa kali lipat dari total harga properti mereka.
Berbagai upaya telah di lakukan oleh PT. Lapindo, baik upaya penanganan maupun ganti rugi. PT. Lapindo telah membuat tanggul untuk membendung genangan lumpur agar tidak meluas ke pemukiman penduduk serta mereka sudah membayar ganti rugi kepada korban, meskipun belum semuanya tuntas. Saat ini 11 tahun setelah kejadian lumpur lapindo hampir seluruh korban sudah mendapat ganti rugi dari PT Lapindo dan sekarang bisa hidup dengan nyaman dan sejahtera. Sedangkan untuk lumpur itu sendiri, semakin lama mengalami penurunan semburan dan area lumpur sekarang menjadi area yg kering seperti padang lumpur. Untuk masyarakat sekitar lumpur lapindo, mulai memanfaatkan area tersebut sebagai lahan untuk mencari pundi-pundi rezeki dengan mengubahnya menjadi area wisata lumpur lapindo.
Ditulis oleh Jauharul Arifin