Mohon tunggu...
Jauharotul azmi
Jauharotul azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Media Berbagi

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manifestasi Budaya Patriaki

17 November 2021   17:15 Diperbarui: 17 November 2021   17:23 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manifestasi Budaya Patriaki

Isu yang gencar diperbincangkan di akhir-akhir ini ialah isu tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau yang biasa dikenal dengan kesetaraan gender. Isu membahas mengenai masalah ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat Indonesia. 

Peran mahasiswa dan para tokoh sangat dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat mengenai kesetaraan gender. Agar semakin banyaknya pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat bisa mengikis ketimpangan gender yang ada di Indonesia sehingga dampak dari ketimpangan gender tersebut dapat dihilangkan.

Sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo mengajak para mahasiswanya untuk berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat terkait kesetaraan gender. Kegiatan itu bisa berupa sosialisasi secara langsung maupun dengan cara online melalui media sosial. Dalam hal ini Kuliah Kerja Nyata Reguler (KKN) Dari Rumah angkatan ke 77 UIN Walisongo kelompok 48 membuat program  podcast dalam bentuk siaran langsung di  Instagram dan kemudian didokumentasikan melalui YouTube dengan mengangkat tema peran milenial dalam menghadapi permasalahan kesetaraan gender. Materi ini disampaikan oleh Deta Novitasari Jayanti selaku anggota KKN kelompok 48. Pembahasan materi terkait budaya patriarki yang ada di Indonesia serta munculnya budaya seksisme dan misoginis.

“Kesetaraan gender” jargon yang kampanyekan oleh banyak orang terutama dari kaum feminis. Isu kesetaraan gender menjadi tuntutan hampir semua Negara, namun untuk mencapai kesetaraan gender itu tidak mudah. Adanya sosial-budaya mengkonstruksi masyarakat sudah menjadi akar yang sulit untuk dicabut dan hal tersebut berlangsung dari generasi ke generasi sehingga membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengatasi problematika kesetaraan gender.

Nasaruddin Umar memberikan pengertian gender sebagai suatu konsep yangg membedakan antara laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya. Oakley Stoller dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender and Society menyebutkan bahwa gender adalah perbedaan yang bukan bersifat biologis dan juga bukan bersifat kodrat dari Tuhan ia mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang di labelkan pada manusia dari kebudayaan masyarakat.( Utaminingsih, 2017: 2)

Dari pengertian gender tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi yang dibentuk oleh sosial- budaya dan sebenarnya bukan bawaaan dari lahir, ataupun kodrat sehingga gender dapat dibentuk atau diubah sesuai dengan budaya sosial, pemahaman agama, ideologi negara, politik, hukum, ekonomi.

Budaya patriarki menjadi salah satu penyebab dari ketimpangan gender. Budaya patriarki adalah sistem sosial yang menganggap laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Budaya ini mengkonstruksi masyarakat dalam beranggapan bahwa laki-laki adalah subjek penuh dalam kehidupan sedangkan perempuan itu di artikan sebagai objek. budaya patriarki ini terkonstruksi dalam lini  kehidupan baik dari aspek sosial, budaya, agama, ekonomi, pendidikan, maupun politik.

Konstruksi sosial yang dibangun dari budaya patriarki berdampak pada ketidakadilan khususnya terhadap perempuan. Ketidakadilan termanifikasikan dalam berbagai bentuk:  pertama, yaitu marjinalisasi proses peminggiran akibat perbedaanya jenis kelaminyang mengakibatkan kemiskinan. Kedua, Subordinasi atau penomorduaan bentuk ini penilaian masyarakat bahwa satu jenis kelamin itu lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Jadi dapat diartikan bahwa laki-laki itu memiliki peran lebih tinggi daripada perempuan. Ketiga, stereotip bentuk ini merupakan pandangan pemberian label masyarakat terhadap seseorang atau individu. Contihnya anggapan bahwa perempuan itu tidak layak untuk bekerja di ranah publik. Pandangan ini menganggap wanita hanya boleh bekerja di sumur, dapur dan kasur yang menjadi kodrat perempuan. Dunia politik bukan ranah yang sesuai untuk perempuan. Sehingga timbulnya budaya seksisme yaitu prasangka atau deskriminasi terhadap gender. Keempat, kekerasan, atau misogini yang terjadi karena ada kebencian terhadap perempuan yang menimbulkan kekerasan fisik seperti pelecehan seksual, pemukulan sampai kekerasan dalam bentuk yang lebish halus. Kelima, Beban ganda (double burden), fenomena ini terjadi ketika perempuan memiliki aktivitas di ruang publik namun masih harus menyelesaikan perannya di rumah yaitu mengurus rumah tangga secara sepihak.( Susanto, 2015: 123-124)

Tujuan dari kesetaraan gender menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyebutkan  tujuan dari kesetaraan gender ialah mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di manapun, menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik maupun pribadi termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual serta berbagai jenis eksploitasi lainnya, menghilangkan semua praktek berbahaya seperti pernikahan anak, pernikahan dini dan pernikahan paksa serta sunat perempuan, menjamin partisipasi secara penuh dan efektif memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di berbagai tingkat dalam mengambil keputusan baik itu dalam aspek kehidupan politik, ekonomi dan masyarakat. Serta menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual, reproduksi dan hak reproduksi. (http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/)

Pendidikan atau edukasi yang diberikan kepada masyarakat menjadi kunci utama dari kesetaraan gender. Dalam podcast tersebut pesan yang disampaikan ialah sebagai generasi milenial peran yang diambil yaitu memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang di mulai dari diri sendiri bahwa tidak adanya kesenjangan gender atau perbedaan antara laki-laki perempuan dan deskriminasi gender dalam aspek sosial, budaya, agama, pendidikan, politik dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun