Mohon tunggu...
Jauhar Mubarok
Jauhar Mubarok Mohon Tunggu... -

laki-laki I jalanan I amatir I

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dolly dan Hal Lainnya (1/2)

5 Juli 2014   10:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat di mana pun berada memandang bahwa prostitusi tetap dipandang sebagai sebuah patologi sosial, penyakit sosial. Prostitusi sama dengan kriminalitas lainnya; pencurian, perampokan, dsb. Pandangan tersebut tinggal besar dan kecilnya. Dan ketika beberapa negara Barat melegalkan prostitusi sebagai salah satu profesi yang dapat dijadikan preferensi warganya, itu hanyalah tindakan hukum atau politis, bukan sosiologis. Pada tataran sosiologis prostitusi tetap disamakan dengan perilaku menyimpang yang harus dihindari. Selain sebagai perilaku menyimpang, sebagian masyarakat yang lain berpandangan bahwa prostitusi menjadi ancaman bagi struktur masyarakat yang mapan keluarga atau ikatan perkawinan : berdasarkan nilai-nilai agama maupun moralitas.

Prostitusi bukanlah sebuah perilaku yang baru sama sekali. Keberadaannya telah sangat tua-lama, meskipun tidak setua umur umat manusia. Pada jaman Nabi Adam, manusia pertama, prostitusi belum ada. Hal ini karena jumlah umat manusia masih sangat sedikit. Mungkin baru beberapa generasi selanjutnya perilaku ini mulai berkembang dan dikenal. Hal ini adalah sebuah asumsi. Belum ada data yang menunjukan peristiwa tersebut. Tentu saja antara prostitusi dan perselingkuhan harus dibedakan.

Lokalisasi adalah istilah yang umum untuk menyebut tempat kerumunan di mana perilaku tersebut terjadi. Dalam beberapa kasus lokalisasi ada yang sifatnya legal maupun ilegal. Dan sebenarnya di Indonesia tidak ada lokalisasi yang sifatnya legal. Kalau pemerintah menjadikan lokalisasi itu legal maka sama saja pemerintah mengakui prostitusi sebagai preferensi profesi yang legal, resmi, sebagaimana menjadi karyawan di kantor atau pegawai pemerintah. Sampai detik ini, setahu saya belum ada undang-undang ataupun peraturan pemerintah (presiden, provinsi, hingga desa) yaang  menerangkan bahwa prostitusi profesi resmi yang dilindungi. Dan kalaupun pemerintah menetapkan sebuah tempat atau daerah sebagai lokalisasi hal tersebut tidak sejurus dengan pengakuan profesi, hanya mengoordinir saja. Agar para pelaku usaha tersebut tertib dan dapat dipantau kapan saja. Seperti yang dulu dicetuskan oleh Ali Sadikin di Jakarta, atau lokalisasi-lokalisasi di berbagai daerah. Jadi keberadaan para pekerja seks tersebut secara hukum lemah. Itulah ambiguitas pemerintah.

Perbincangan tentang prostitusi telah menarik perhatian banyak kalangan; ilmuwan sosial, agamawan, aktivis sosial, dsb. Keberadaanya selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang menyetujui tentang ide lokalisasi, ada pula yang menentang secara habis-habisan. Tentu saja perbedaan tersebut terkait dengan perspektif atau sudut pandang terkait dengan obyek.

Baru-baru ini kita kembali diramaikan dengan wacana pembubaran lokalisasi, yaitu lokalisasi Dolly di Surabaya. Nama lokalisasi ini diambil dari nama seorang perempuan yang merintis usaha prostitusi di tempat tersebut, Dolly. Beberapa puluh tahun yang lalu. Mungkin Dolly tidak pernah membayangkan bahwa usahanya dulu akan mengilhami masyarakat dan orang-orang lain, membuka usaha yang sama dan berkelanjutan hingga memasuki abad 21 ini. Dirinya juga tidak membayangkan bahwa usahanya ini akan menjadi ikon yang sangat populer dan kebesarannya dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Sungguh saya tidak menyangka kalau Dolly pernah meramalkan, bahwa kawasan itu akan begitu pesat dan sebesar sekarang. Saya pikir dirinya, pada waktu itu hanya membuka usaha iseng untuk mencukupi kebutuhan sederhana dan kemewahannya.

Sebuah peristiwa bersejarah tengah dilakukan pemerintah kota Surabaya yang dikomandani oleh Risma. Pada pertengahan Juni 2014 lalu Risma bersama beberapa elemen masyarakat mendeklarasikan penutupan lokalisasi Dolly. Baru pada periode Walikota Risma wacana penutupan Dolly dilakukan dengan deklarasi dan tindakan nyata, meskipun tidak serta merta tutup, sebagaimana pabrik menutup usaha. Ada proses yang dilakukan secara berkala. Peristiwa ini perlu diapresiasi secara positif.

Wacana penutupan Dolly ini dilakukan setelah Risma, yang suka blusukan seperti halnya Joko Widodo, menemui peritiwa yang menyayat hatinya; sebagai walikota, ibu, dan juga warga. Dia mendapati bahwa prostitusi telah merambah dunia anak-anak. Anak-anak telah menjadi konsumen dari prostitusi. Tentu saja ini sangat mengusik hati siapa saja yang peduli pada masa depan anak-anak; masa depan bangsa. Bagaimana mungkin anak-anak yang masih bau kencur sudah mengonsumsi perilaku-perilaku menyimpang dari usia dini. Bagaimana masa depan mereka jika sejak kecil saja mereka sudah sedemikian parahnya.

Lingkungan lokalisasi Dolly yang berdekatan, bahkan membaur dengan kehidupan masyarakat, telah memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan psikologis dan sosiologis generasi mendatang. Ini sangat miris. Anak-anak, baik anak-anak dari PSK itu sendiri maupun masyarakat luas yang tidak berprofesi dalam bidang prostitusi. Setidaknya lokalisasi yang berdampingan dengan kehidupan masyarakat luas, menjadikan mereka terbiasa dan akrab dengan perilaku tersebut. Anak-anak itu akan mengalami benturan-benturan nilai moralitas dan etika yang mereka pelajari dalam sekolah ataupun musholla dengan realitas harian. Mereka diajarkan bahwa prostitusi adalah sesuatu perilaku yang terlarang atau haram, namun mereka tumbuh di tengah-tengah di mana masyarakat sangat permisif dengan nilai-nilai yang tidak mendukung ajaran moral tersebut. Anak-anak itu mengalami kesulitan mendapatkan teladan di tengah masa pertumbuhan mereka menjadi pribadi-pribadi yang baik. Terlalu payah juga bagi para penganjur kebaikan berada di tengah-tengah kehidupan semacam itu.

**

Prostitusi tumbuh dalam dinamika kehidupan masyarakat, begitu juga dengan Dolly yang berada di kota Surabaya. Banyak alasan berseliweran seseorang menjadi pekerja seks. Dan selama ini dunia prostitusi kerap diasosiakan dengan kemiskinan, keterpaksaan, korban pembangunan, dsb. Namun melihat tayangan MetroTV beberapa hari yang lalu. Dalam tayangan tersebut menghadirkan narasumber orang-orang yang bekerja di kompleks lokalisasi Dolly tersebut; PSK, mucikari, pedagang kopi, penjual jam tangan keliling. Pedagang kopi dan penjual jam tangan keliling hanya penambah warna saja dan orang-orang yang menikmati keramaian Dolly, menurut saya. Justru yang paling menarik adalah wawancara dengan PSK dan mucikari tersebut, karena mereka yang menjadi “tulang punggung” denyut kehidupan lokalisasi itu.

Wawancara tersebut telah mematahkan para pekerja seks sebagai bagian dari mata rantai kemiskinan masyarakat yang berjuang mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pendekatan-pendekatan ilmu sosial yang selama ini memposisikan mereka sebagai orang yang perlu dikasihani perlu ditinjau ulang lagi. Dalam hal ini saya lebih tertarik dengan pendekatan normatif.

Sarah (nama samaran) adalah PSK yang telah menjalani profesi tersebut sekitar lima tahunan. Sebagaimana kebanyakan seseorang yang terjatuh dalam lembah prostitusi, dengan kisah-kisah dramatis keluarga. Dirinya ditinggalkan suaminya pergi entah ke mana, dan dengar-dengar kabar kini suaminya berada dengan istri barunya. Sarah dan anaknya ditinggalkan begitu saja. Dengan kata lain (bekas) suaminya tersebut telah mendurhakai jalinan perkawinan diantara mereka; suami yang tidak bertanggungjawab. Pergi begitu saja, tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Kepergian suaminya secara langsung menggoyahkan tiang ekonomi mereka. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga Sarah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bertahan beberapa waktu dirinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang bergaji sekitar Rp450.000,- an. Dengan gaji sejumlah itu Sarah mengaku, terlalu berat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih tidak hanya anaknya yang bergantung pada dirinya, juga orang tuanya (ibunya?). Akhirnya dia mendatangi Dolly, dengan rasa keputusasaan (?), menawarkan diri untuk menjadi PSK. Setelah menjalani “seleksi” dirinya diterima bekerja di sana; menjadi PSK.

Ketika suasana ramai Sarah dapat melayani 14 hidung belang, sedang saat sepi dirinya hanya dapat melayani 8 orang. Sekali transaksi dirinya memungut biaya sekitar Rp115.000,- an (kurang dari Rp150.000,- dan lebih dari Rp100.000,- an). Jumlah yang dipungut dari konsumen itu masih dipotong untuk biaya kontroler, pelayan, dsb yang besarnya sekitar Rp15.000,- untuk tiap-tiap potongan tersebut. Setelah dipotong-potong setidaknya dia mendapatkan penghasilan Rp75.000,- an dari setiap pelanggan. Dan dalam sebulan pendapatannya sebagai PSK jika dikalkulasikan tidak kurang Rp14.000.000,- an. Jumlah yang berlipat-lipat ganda dibandingkan ketika dirinya bekerja sebagai pembatu rumah tangga.

Wacana penutupan lokalisasi Dolly dirinya menempatkan diri sebagai orang yang menolak ide Risma itu, bersama para PSK dan orang-orang yang menggantungkan hidup di sektor tersebut. Dia bilang tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Dengan kata lain dirinya sudah merasa nyaman menjalani pekerjaan yang bagi sebagian orang dianggap terlarang dan nista itu. Dirinya justru mempertanyakan, apakah pemerintah dapat menjamin kehidupannya pasca keluar dari Dolly. Dan seperti kaset yang berulang-ulang diputar dan didendangkan oleh para PSK. Dulunya dirinya juga tidak memiliki pikiran akan bekerja menjadi PSK. PSK adalah pilihan pahit yang harus ditelan ketika bahtera rumah tangganya ditinggalkan nakhoda, dan kini dia, siap tidak siap, mengambil peran nakhoda untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dan berharap suatu hari nanti dirinya juga akan meninggalkan pekerjaan tersebut. Kapan? Dia memohon jangan tanyakan waktu. “Nanti kalau sudah waktunya!”

Tidak jauh beda dengan Sarah, seorang mucikari di kompleks tersebut, Lina (nama samaran) juga menolak ide penutupan Dolly. Dia menjalani profesi mucikari sekitar 7 (tujuh) tahunan (kalau tidak salah ingat). Berbekal patungan atau kerjasama dengan kawannya Lina memulai dunia mucikari dengan beberapa anak buah. Dia bilang, bahwa pendapatannya sebagai mucikari lebih kurang Rp30.000.000,- an.

Sebelumnya dia bekerja sebagai pedagang yang berkeliling yang menyambangi kompleks tersebut. Entah bagaimana dirinya kemudian meninggalkan usaha lamanya dan memulai usaha sebagai mucikari yang mengelola salah satu wisma prostitusi di kompleks tersebut.

Dia menyangkal bahwa lingkungan lokalisasi akan berdampak pada anak-anak yang tumbuh kembang di sana. Dia beralasan, beberapa kali, mungkin waktu yang rutin, bersama pengelola wisma prostitusi yang lain mendatangkan ustadz (penceramah atau guru ngaji) ke sana. Mungkin semacam memberikan ceramah agama bagi para penghuni kompleks tersebut, termasuk anak-anak. Dia tidak khawatir dengan perkembangan anak-anak dengan menyontohkan kondisi anak-anaknya yang telah tumbuh besar dan menjadi orang. Entah apa maknanya itu.

Sama dengan Sarah, dirinya juga akan meninggalkan usaha ini dan beralih ke usaha lainnya. Kapan? “Kalau sudah waktunya!”

Sambung........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun