Mungkin diantara kita ada yang pernah mengalami betapa sulitnya kehidupan, dan bahkan doa pun seakan akan tidak terkabulkan. Saya pernah mengalaminya. Kita kemudian merasakan bahwa betapa tidak adilnya kehidupan ini terhadap diri kita. Usaha sudah dilakukan, doapun sudah dilantunkan.Â
Tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Bila  ada diantara kita yang mengalami hal seperti ini, saya pun tidak bisa memberikan jawaban kenapa dan bagaimana harus menyikapinya.Â
Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menceritakan kembali pengalaman saya ketika gagal kembali ke Eropa mengambil program doctoral beberapa tahun silam.
Waktu itu, akhir tahun 2008, saya sudah mendapatkan surat keterangan diterima tanpa syarat dari almamater S2 saya, Liverpool University dalam bentuk 'unconditional offer' untuk melanjutkan studi doktoral saya disana.Â
Tetapi entah bagaimana ceritanya, saya gagal mendapatkan beasiswa dan terpaksa tidak bisa melanjutkan studi. Padahal disaat yang sama ada kolega saya yang bisa mendapatkan beasiswa tetapi belum diterima sepenuhnya dari perguruan tinggi yang dituju karena persyaratan bahasa Inggrisnya yang belum terpenuhi.Â
Saya sudah memenuhi semua persyaratan termasuk syarat IELTS, tetapi tidak lulus. Saya tentu saja sangat kecewa sedih dan sedikit frustasi. Mencoba bertanya dan komplain tetapi tidak ada satupun usaha tersebut yang membuahkan hasil.Â
Seiring berjalannya waktu, sayapun mulai pulih. Tidak berprasangka buruk pada apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Toh doa saya adalah semoga diberikan kesempatan dan tempat terbaik untuk melanjutkan studi. Mungkin saja Tuhan sudah mengetahui bahwa Inggris bukan yang terbaik untuk saya.
Setelah cerita kegagalan itu, biaya yang saya persiapkan untuk melanjutkan studi saya gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Sebagian saya gunakan untuk membeli mobil bekas, dan itu adalah mobil pertama yang saya miliki. Saya pun akhirnya bisa menyetir sendiri yang kelak bermanfaat untuk mendapatkan pekerjaan sampingan saat saya studi. Â
Bersamaan dengan itu adik saya yang paling bontot nomor delapan, diwisuda dalam bidang ilmu yang sama dengan saya. Sebagai bagian dari persiapan rencana studi, saya juga memahirkan kemampuan bahasa Inggris saya siapa tahu nanti bisa mencari pekerjaan paruh waktu disela-sela waktu studi.Â
Satu tahun berselang, akhir tahun 2009, kesempatan untuk melanjutkan studi kembali terbuka. Kali ini saya memilih yang lebih dekat saja, Australia. Bukan juga karena Australia sebagai tempat yang terbaik untuk melanjutkan studi, tetapi lebih karena universitas saya sebelumnya tidak lagi mau mengeluarkan acceptance letter karena saya tidak memanfaatkan dengan baik kesempatan yang mereka berikan tahun sebelumnya.Â
Singkatnya sayapun akhirnya berangkat ke Australia, tepatnya ke University of Southern Queensland. Universitas ini mempunyai beberapa kampus; Brisbane, Fraser Coast dan Toowoomba, dan saya ditempatkan dilokasi terakhir. Awalnya saya sangat underestimate dengan Australia. Paling akan seperti ini dan itu, begitu pikiran saya sebelumnya.