Mohon tunggu...
Wahyu Jatmiko
Wahyu Jatmiko Mohon Tunggu... Administrasi - The Seeker

Musik, membaca, menulis, fotografi, videografi, hal-hal yang selalu kucari di saat-saat senggangku....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Candi...Hanya Seonggok Batu...

28 Oktober 2014   05:37 Diperbarui: 28 Agustus 2015   19:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ngapain kesana? Hanya melihat seonggok batu!” itulah komentar salah seorang remaja yang beranjak dewasa saat akan diajak pergi ke sebuah candi. Saya yang pada waktu itu berada di situ, hanya tersenyum tanpa tau harus ngomong apa. Nilai sebuah benda  atau arti sebuah peristiwa bagi tiap orang memang berbeda. Demikian hal nya dengan candi, bisa begitu banyak memberikan arti atau hanya dianggap tumpukan batu andesit dari masa lalu.

Jika dilihat secara fisik, pendapat remaja tersebut tidaklah salah, bahkan sangat realistis. Memang sebuah candi hanyalah tumpukan batu andesit berbentuk balok yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk bangunan yang disebut dengan candi. Namun, hanya seperti itukah arti bangunan tersebut bagi generasi muda yang hidup di zaman ini? Semoga tidak semua anak remaja berpikiran seperti itu.

Pelajaran tentang zaman pra sejarah di Indonesia memang sudah banyak diajarkan di sekolah, tetapi akhirnya pengetahuan tersebut hanya menjadi wacana bagi anak didik. Peserta didik mempelajari pengetahuan tersebut hanya untuk mendapatkan nilai, dan tidak mampu membangkitkan rasa cinta mereka terhadap sejarah bangsanya sendiri. Setelah mata pelajaran tersebut tidak diajarkan lagi, maka mereka berhenti pula  mempelajarinya, dan setelah itu terlupakan.

Dengan tiadanya rasa cinta dan rasa ingin tahu tentang sejarah, maka perhatian terhadap benda-benda yang bersifat sejarah juga tidak ada. Pengetahuan tentang candi dan sejarah yang melingkupinya seharusnya dapat menjadikan seorang anak didik berpikir tentang cikal-bakal bangsanya, dan akhirnya dapat membangkitkan rasa hormat terhadap peninggalan-peninggalan yang berupa “onggokan batu” tersebut. Tidak harus menjadi pakar seperti seorang arkeolog, cukup hanya mengetahui dan memberikan rasa hormat, itu saja.

Tidak semua anak didik tertarik mempelajari sejarah, oleh karena itulah cukup hanya ditanamkan rasa bangga dan perhatian terhadap sisa-sisa peninggalah sejarah. Rasa bangga terhadap bangsa diawali dengan mengenal sejarahnya. Budaya dan tingkat kemajuan sebuah bangsa, tercermin dari apa yang ditinggalkannya.

***

Jatz, 27 Oktober 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun