Bapak tua itu ngamuk berhari-hari. Bapak tua berdiri memandangi hasil amukannya. Sepertinya topan badai habis mampir. Hari satu membereskan tanaman dan pot bunga untuk ditata ulang. Yang ini ditaruh di depan, yang ini di samping, yang ini kok mati? Bapak tua mengeluh, menyesal mengetahui tanamannya mati. Hari dua membongkar gudang mengeluarkan kardus, kaset jadul, bekas-bekas undangan kenalan... sampai barang-barang pritilan. Ini masih bisa dipakai, gumamnya. [caption id="" align="alignnone" width="260" caption="si bapak tua"][/caption] Hari tiga masih dari gudang, kali ini buku, agenda, kalender, makalah bekas. Mana yang mau diloak mana yang disimpan. Bapak tua panggil para pemilik barang. Sortir, katanya. Bapak tua masih berdiri, sibuk menyusun strategi. Apa lagi yang harus dibenahi. Mumpung dia sudah pensiun, punya lebih banyak waktu. Mengurus hal-hal yang dulu terbengkalai. Bapak tua belum puas, masih akan ada amukan berikutnya. Anak-anaknya jadi sok sibuk pura-pura tak tahu amukan bapak tua. Malas membantu bapak tua mengamuk. Tapi bapak tua akan tetap mengamuk, sampai bapak tua merasa puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H