Mungkin dia lebih mengapresiasi sebuah klub yang jadi hebat berkat menelurkan pemain-pemain berkualitas hasil binaan akademi sendiri. Dia sepertinya kurang suka dengan cara yang instan.
Benar memang bahwa klub-klub yang saya sebutkan tadi ingin menjadi hebat dengan cara yang mudah. Mereka membeli pemain-pemain underrated dengan harga selangit, mengumpulkannya, lalu memoles mereka menjadi grup yang dominan di bawah asuhan pelatih kelas dunia.
Sah-sah saja sih jika dia lebih suka proses ketimbang hasil, tapi saya beranggapan kalau cara semacam itu tidak sepenuhnya salah.
Faktanya, banyak klub-klub besar di Eropa yang telah menyadari betapa pentingnya uang untuk bersaing dalam sebuah kejuaraan. Mereka berlomba-lomba untuk memperbaiki diri dengan menggunakan uang dari pemilik atau pemegang saham terbesar.
Cara paling sederhana untuk bersaing di papan atas tentunya dengan membeli pemain-pemain berkualitas mumpuni dari liga lain.
Mengorbitkan pemain hasil binaan akademi sendiri memang sebuah pencapaian yang membanggakan, tetapi jika bisa memperkuat tim dengan membeli pemain bagus lainnya, mengapa tidak? Bukankah komposisi squad akan lebih gahar jika dua usaha ini dilakukan?
Lihat saja, hampir seluruh klub-klub Eropa yang berjaya di kompetisi domestik maupun mancanegara merupakan big spender.
Mereka tidak takut untuk menggelontorkan dana besar demi memenangkan sebuah piala. Mereka rela menebus seorang pemain dengan harga spektakuler untuk melengkapi kepingan puzzle yang hilang dalam tim.
Sebagai perbandingan, lihatlah Manchester City sekarang. Dulunya, mereka cuma klub medioker penghuni papan tengah Liga Inggris.
Setelah Sheikh Mansour datang mengambil alih, mereka menjadi tim penantang gelar juara. Dalam lima tahun terakhir City lebih banyak mendulang trofi ketimbang tetangga mereka Manchester United.
Ini jelas-jelas sangat bagus untuk kompetisi. Penggemar bola mana sih yang tidak cinta dengan persaingan yang seru.