Mohon tunggu...
Jati Mahatmaji Mahatmai
Jati Mahatmaji Mahatmai Mohon Tunggu... -

Lelaki Djakarta Raja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pensiun Ibu

25 September 2010   17:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:58 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Untuk ibu yang akan pensiun. Beberapa akhir belakangan ini, anak-anak disekitaran lingkunganku sedang gandrung dengan permainan busa balon, yang harganya tidak lebih dari lima ribu rupiah. Melihat tawa mereka, rasanya aku seperti merasa bodoh bila harus bersedih sendirian. anak-anak itu selalu saja tertawa saat balon tertiup oleh udara, dan terbang entah kemana. Begitu juga pikiranku dan bayanganku atas sesuatu hal yang tidak begitu kelihatan tapi sangat dirasakan kebanyakan benih Adam dan Hawa. Kasih sayang. Rasanya, kasih sayang itu seperti balon tiup, sangat membahagiakan bila mereka dapat terbang, dan muncul dengan keunikan lainnya. Namun sangat mengecewakan saat hilang, hancur termakan tanah, atau tertiup angin jalanan. Begitu miripnya ia dengan kasih sayang seorang ibu. Kita akan sangat senang, dan menghargainya, saat kasih sayang itu nampak berterbangan dalam hidup kita, memuaskan nafsu kita, dan menarik tawa kita keluar dari selimut dukanya. Namun kita akan sangat marah jika balon itu hanya muncul kecil, cepat hilang, dan tidak menarik sama sekali. Padahal, kasih sayang tidak seperti itu. Ia akan hidup dalam hatimu, terkenang di kepalamu, dan terngiang di telingamu saat kita mencoba untuk mendustainya. Dan kepalaku terus berputar, kemudian terbang mencari kertas kosong, yang kemudian menjadi sebuah ketikan berisi seperti ini.... Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menjanjikan kegembiraan bagiku ,yang besar bersama bapak dan ibu yang sederhana. Aku ingat bagaimana dahulu, saat aku masih menjilat setiap lapis permen di Taman Kanak-Kanak, ibu selalu saja memarahi aku, dengan ancaman bahwa gigiku akan hitam mirip Gerandong. Setan bergigi hitam, tajam dan panjangnya melebihi batas bibir. Sungguh aku tidak terima bila suatu saat nanti, wajahku harus tertupi gigi. Mengenaskan, dan tidak menyenangkannya, paras seperti Gerandong itu tidak bagus untuk dibawa keluar pekarangan rumah. Ji pada akhir namaku, kata mereka berarti nakal. Dan setiap rupiah yang aku dapatkan, semuanya hanya akan aku habiskan dengan membeli makanan yang selalu saja aku kawinkan dengan minuman dari tangan pedagang kaki lima. Es sirup yang ternyata palsu dan kaya akan zar pewarna, kemudian telur dengan saos yang ternyata dari tomat busuk buangan pasar, atau segalanya yang pantas jadi racun. Larangan ibu, buatku adalah tantangan yang harus kalahkan dengan cara elegan, yaitu membelinya dengan diam-diam. Tetapi tetap saja, setiap larangan yang di alamatkan padaku selalu aku ingat. ” Kalau kamu terus beli makanan luar rumah, perutmu akan panas, dan dirimu akan sakit, di rumah sakit, tidur bersama mereka yang sakit...dan merusak apa yang ALLAH beri padamu...” Akh...bagiku ini hanyalah sebuah larangan, karena itu sepantasnya dilanggar. Ibu sama sekali tidak pernah mengantarku berdamawisata, bersama teman-teman Taman Kanak-kanak ku, juga teman SD ku. Tidak ada satu gambar dalam frame memori Taman Kanak-kananku yang menempatkan ibu kandungku ini berdiri tertawa di sampingku. Tidak ada! Selalu saja, Bu’de ku yang mengantarku untuk berdamawisata. Bahkan setiap sabtu, saat semua anak-anak diantar ibunya ke sekolah, dan kemudian ibu mereka memasak bersama dengan ibu-ibu lainnya, maka ibu menjadi bayangan yang tidak mungkin hadir di dapur sekolahan. Jelas, buat diriku yang seumuran itu, hal ini adalah pertanda ibuku sama sekali tidak sayang padaku. aku masih ingat alasannya setiap kali aku paksakan untuk datang ke sekola setiap hari sabtu. ”Ibu kan mengajar, buat cari uang untuk jajanmu, buat seragam, juga buku gambarmu...sekolahmu tidak gratis bukan?....” Akh bagiku ini adalah sebuah alasan seorang dewasa yang mau memperbodoh anak kecil. Waktu indah di Sekolah Dasar, aku juga ingat bagaimana televisi harus mati setiap pukul 7 malam, dan setelahnya. Tidak ada AC Milan atau film Pitung yang aku gandrungi saat itu. Buku pelajaran adalah makanan yang tidak menyenangkan perut, dan malam hari selalu saja puas untuk memuntahkan pikiranku. Bukan janji diberi mainan yang aku dapat, tetapi malah marahan yang selalu saja membuatku ingin melempar semua barang di ruang tamu. Ya semuanya, buku, pensil, dan semua yang menetap di ruang tamu. Teriak lucu dan tawa tenang kawan-kawan di luar rumah, rasanya lebih kuat daripada perintah untuk belajar. Dan ibuku ini selalu saja ada alasan untuk melarangku keluar dari lingkar ruang tamu, katanya: ”Mereka yang tidak belajar, tidak akan tahu seberapa pentingnya yang kamu pelajari, sekarang belajar dan belajar” Akh! Ini pasti karena ibu adalah seorang Guru, jadi semua pelajaranku saat itu adalah enteng! Masuk pintu sekolah menengah pertama, setiap siang aku selalu sempatkan untuk bernakal-nakalan dengan kawan. Rokok adalah kenakalan pertamaku, dan selanjutnya tidak akan aku katakan disini. Ibu menjadi orang tua tunggal saat itu, ia mengurus semua kebutuhanku juga adikku. Bapak tugas 6 tahun di Sumatera, dan wajah ibu menjadi sangat membosankan bagiku. Tidak ada hal baru yang datang ke rumah, barang atau apapun, semuanya di saring ibu dengan sangat teliti. ”Sekarang ibu harus menabung, karena kalian berdua kan masuk SMP, dan biayanya mahal, jangan berboros-boros dalam hidupmu....” Tapi setidaknya, diantara kekeringan akan hal baru juga hiburan, ibu masih sempat untuk memberikan aku juga adikku beberapa buku berseri tokoh dunia, dan sekotak coklat setiap akhir bulan. Untuk ini, aku tidak begitu senang. ”Baca buku ini, dan makan coklat itu, mereka adalah teman terbaik manusia....” Bah! Ibu semakin mengatur hidupku saat aku mulai menulis tenang di meja SMU, dia semakin menjadi kusir dan aku kudanya yang siap dicambuk dengan senang hati. Apa yang terbaik bagi kusir, maka kuda tidak ada kata lain selain Ikut!. Bila membelot, maka kuda itu harus rasakan apa yang terjadi nanti, hanya sendirian. Dan seringkali, kuda menjadi tempat yang pas untuk meluapkan kekesalan si kusir. Semua persoalan harus dicampurinya tanpa pernah meminta permisi pada anak kandungnya sendiri. Semua masalah! Semua persoalan hidup, dan jujur untuk pertama kali dalam hidupku, pada fase inilah aku menjalani pengalaman pertamaku untuk melakukan kegiatan bunuh diri.  Memotong urat nadi di tanganku sebalah kiri. Kegiatan menyetir kepalaku semakin menjadi, tetapi entah kenapa, secara perlahan juga ia, ibuku maksudku, seperti memberikan sebuah kepercayaan bagiku untuk melangkahkah kaki ini dengan perlahan sendirian. Nah di setiap langkahku itulah kadang aku jatuh, karena ada beberapa kerikil yang tidak pernah aku tahu dimana letaknya. Dan ibu selalu tahu saat aku jatuh, ia akan bilang: ”Jatuh dalam hidup itu biasa, itu malah membuatmu mantap menjalankan hidup, Tuhan juga alam tahu cara mengobati lukamu saat jatuh, percayalah...” Lagi-lagi janji-janji Di masa aku bersenag-senang dengan bangku kampus, ibu tidak lagi mencampuri urusanku, beliau anggap semua yang aku jalani adalah tanggung jawabku. Setiap gerak langkahku hanya ditanyakan alasannya, dan setiap akibat yang aku ambil sendiri itu, ia akan selalu berujar bahwa itu adalah pengalaman dalam hidupmu. Semuanya akan menjadi catatan yang menjadi souvenir bagi anak-anaku saat mereka akan kuliah nanti, dan begitu seterusnya. Aku jadi sangat jauh dari ketiak ibu, tidak lagi harus minta di tuntun, di temani hari sabtu, dan dibelikan pakaian baru, atau coklat. Setiap aku pulang dari ke Jakarta, ibu selalu saja minta diceritai tentang meriahnya hidup di kampus, suka dukannya menjadi anak kost, semuanya. ”Ceritakan semua yang terjadi selama kau mulai mandiri, terutama saat berada di kampus,....” ”Kenapa aku harus ceritakan kampus itu?” ”Karena ibu tidak pernah kenal kampus,....senang rasanya mendengar yang indah indah tentang kampus” jujur, ibuku belum pernah kenal kampus sebegini dekatnya. Dan senyumnya selalu keluar setiap kali aku ceritakan tentang kekonyolan teman-teman, dan kebodohan diri sendiri. ”Indah rasanya hidup di kampus itu.....” Aku lupa waktunya, karena memang akhir-akhir ini semua aku jalani dengan cepat, tapi aku ingat percakapan itu. Ibu memulainya dengan begini. ”Dahulu, setiap dengar kata kampus, ibu selalu saja menjadi sangat bersemangat, karena memang ibu tidak tahu apa-apa tentang kampus, dan lain-lainnya tentang kampus. Ibunya ibu, selalu bilang, biar kamu tidak bisa pergi ke halaman kampus, tapi niatkan dan usahakanlah, buah hatimu nanti bisa rasakan halaman kampus....dan itu terwujud sudah, tunai sudah” ”Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang ini? Setelah mimpi-mimpimu tunai? Aku juga ingun bekerja, dan kau juga bukan?” ”Ya...Berusahalah....ibu hanya bisa berdoa, dan semoga ALLAH dengar doa ibu....karena sekarang hidupumu ada dikepalan tanganmu...”katanya sambil merapihkan letak mukenah. ”Aku juga selalu berdoa, bahkan setiap langkahku ku iringi dengan doa...tetapi tetap saja Tuhan itu tidur lelap.....tidak dengar....” ”Hush!...syukuri hidupmu!....” ”Syukuri?.....bah omong kosong apalagi itu ibu?” ”Omong kosong apa maksudmu?” ”Ya semuanya itu omong kosong, tidak ada isinya, dan kosong!” ”Ibu bersyukur, dan kau lihat hasilnya kan?.....” ”Aku juga bersyukur, dan mana hasilnya? Semuanya sudah aku coba, dan aku hanya dapatkan pekerjaan serabutan...Tuhan mungkin lupa, kalau dia harus memasang telinga di kepalaNya sendiri!” ”Hush! Kau bukan lagi anak SD yang harus aku tuntun bukan?, syukuri nikmatmu, usahalah....” ”Usaha? Sudah!” ”Ya berdoalah...” ”Ya sudah!” Bentakan yang terakhir inilah, yang membuat sebuah gurat prihatin dalam wajahnya, ia melihatku, dan kemudian menatap menembus lemari kayu samping televisi. ”Bersabarlah.....dahulu mbah putrimu dari ibu, pernah ibu tanyakan perihal masalah pekerjaan yang tidak kunjung datang. Waktu itu Ibu baru saja lulus dari Santo Lucas di Surabaya, ibu bertanya begini: ”Bu...apakah lebih baik aku bekerja di pabrik rokok seperti mereka semua itu, agar ibu dapat uang dariku,untuk buat hidup ibu senang?” ”Lalu apa jawab mbah saat itu?” Dengan senyum khasnya, ibu menjawab seperti ini: ”Dia tidak menjawab, hanya membelai rambutku, dan tersenyum kemudian menangis sedikit demi sedikit, mengusapnya dan berkata, ’Pergilah ke Semarang besok, temui bibimu, dan semoga anakmu, juga cucuku yang tidak mungkin aku lihat, dapat terus bersyukur, juga bersabar menghadapi ombak hidup ini’....Dan aku tahu jawaban apa yang coba diutarakan mbahmu saat itu....” dan kini ibu, hampir sama dengan mbhaku dahulu dan entah sudah keberapa kalinya, lepas meneteskan air matanya lagi. ”Nah bukankah sudah kau lihat buktinya, Tuhan akan beri jalan, cobalah bersabarlah nak, bukankah kau sudah berusaha...Tuhan Tidak Tuli....” dan gerak jarinya terus meniti butir tasbih,sambil menatap ku, seakan aku baru lahir kemarin, entah untuk yang keberapa kalinya. Oh...ibu, kenapa begitu banyak penderitaan yang baru aku dengarkan saat ini darimu, dan semua aku dengar saat aku harus meniti jalanku sendirian. Apa benar kiranya aku harus bersabar?. Tapi ini menjelang hari terkahir mengajarmu di sekolah dasar. 40 tahun kau habiskan untuk menuntut anak manusia agar membaca, menulis, dan tertawa tentang candaan kawan-kawan sebangkunya. Dan aku belum memberikan senyum khas seorang pekerja kepada orang tuanya, seperti kebanyakan orang di lingkungan rumahku. Tidakkah ini menyedihkan ibu? Tetapi kenapa juga, kau seakan masih merasa melihat cahaya yang akan keluar dari dalam diriku, setiap kali aku katakan ”Bu...kali ini aku gagal...” ”Tenang nak...semuanya akan baik-baik saja....” ”Tetapi tidak ada lagi yang dapat aku banggakan lagi kepadamu, semuanya hanya membuatmu sedih” ”Kalau kau sedih, aku sedih, dan kalau kau bahagia aku juga bahagia...hidup itu begini adanya, kau bisa sedih, tetapi kau akan bahagia lagi...” Apa seluas Samudara kesabaranmu itu? Apa kau tidak kecewa karena aku tidak bisa menjadi Atlantis seperti bayangan Plato? Apa kau lebih hebat dari Nostradamus, hingga tahu kapan tepatnya aku akan membahagiakanmu? Tidakkah pertanyaan diatas sangat membosankan? Sial! Satu lagi malam kudus, jatuh dalam pikiranku, dan juga kulihat kawan setiaku, bayanganku yang ternyata menangis. Ini bulan Syawal yang tidak akan terlupakan. Kini dirimu akan pensiun, dan kau bersyukur karena telah selesai masa baktimu, dan aku ingin pasang senyum di wajahmu itu, tetapi bagaiamana caranya? Hah! Aku ingat kalau aku masih punya simpanan dari hasil membantu pamanku kemarin, bukankah kau suka anggrek? Aku pernah lihat kumpulan anggrek di sekitaran trotorar Departemen Pertanian RI di Ragunan sana. Nanti sebelum 5 Oktober, sebelum keringat dari kepalamu jatuh ke seragammu di hari terakhir kau mengajar di kelas 1, aku akan mencoba menghadiahkan anggrek untukmu. Yang cantik, dan kiranya kau bisa menjaga anggrek itu, nanti. Ya ALLAH...terima kasih dan telah menjada umur ibuku, sampai ia menunaikan masa purnabaktinya di bangku sekolah dasar. Dan kini baca ketikanku, aku ingin buat ibuku lebih bahagia lagi, lebih, dan lebih dari bayanganku, jadi, tunjukan jalannya. Apapun yang berada di depan, dengan ijinMu semuanya akan aku tempuh dengan tenang. Titik!  [caption id="attachment_269475" align="alignnone" width="200" caption="Taman Binaria Ancol"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun