Dalam Bahasa Jawa, baik ucapan maupun tulisan, kata suami dan isteri disebut dengan satu kata, yaitu kata “bojo” (Bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kasar) atau dengan kata “garwo” (Bahasa Jawa halus). Contohnya adalah sebagai berikut:
“Kuntoro (Titi) pergi bersama isterinya (suaminya).”
“Kuntoro (Titi) lungo karo bojone.”
“Kuntoro (Titi) kesah kalian garwonipun.”
Dari penyebutan kata suami – isteri yang disebut dengan satu kata tanpa membedakan jenis kelamin ini dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya dalam alam pikiran orang Jawa itu perkawinan yang ideal adalah monogamy. Apalagi kata “garwo” itu merupakan “jarwodoso” atau penyingkatan secara umum dari kalimat “ sigaraning nyowo” (belahannya nyawa = belahan jiwa).
Namun hal ini rupanya hanya berlaku pada masyarakat Jawa di luar mereka yang merupakan raja ataupun kaum bangsawan. Dimana dalam sejarahnya, raja dan kaum bangsawan, pada umumnya, ternyata menganut poligami. Hal ini yang kemudian menjadikan adanya istilah “garwo padmi” yang berarti isteri yang utama atau permaisuri dam “garwo ampeyan” yang juga sering disebut “garwo ampilan” (garwo ampil) yang menunjuk pada isteri-isteri yang bukan utama atau biasa disebut selir.
Baik “garwo padmi” maupun “garwo ampeyan” adalah isteri-isteri yang sah yang dinikahi oleh raja ataupun seorang bangsawan. Yang membedakan hanya statusnya yang berkaitan dengan pewarisan tahta atau kekayaan.
Jaman sekarang tentu saja sudah berubah, seorang lelaki Jawa dari kalangan orang kebanyakan bisa saja berpoligami. Apalagi mereka punya pangkat yang tinggi dalam birokrasi dan harta yang melimpah. Tak heran jika ada yang memiliki isteri muda yang terpaut jauh dari umurnya.
Kalau saya melihat fenomena seperti ini maka dalam batin saya cuma bisa berucap “ monogami itu monoton, makanya pada berpoligami” … hahahahahaa
Podjok pawon, April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H