Perubahan situasi geopolitik yang luar biasa di Asia Tenggara pada saat Rake Warak melakukan kudeta terhadap ayahnya adalah tindakan heroik dari pahlawan Kamboja yang bernama Jayawarman II yang berhasil menyatukan kembali wilayah dan rakyat Khmer untuk kemudian mendeklarasikan kemerdekaan rakyatnya pada 802 M, dengan melakukan serangkaian upacara ritual yang bertujuan untuk memohon kekuatan supranatural agar negerinya terbebas dari cengkraman kekuasaan Jawa.
Jayawarman II yang semasa mudanya berada di Jawa mungkin mengenal Rake Warak dan Rake Panaraban secara pribadi, dan memanfaatkan adanya kesempatan yang terbuka lebar akibat terjadinya perselisihan yang muncul ditambah dengan adanya perang saudara antara Sang Manarah dan Sang Banga. Pecahnya kekuasaan Jawa yang secara dramatis akibat perang saudara menjadikan tokoh yang ambisius seperti Jayawarman II ini memperoleh jalan yang terbuka untuk bergerak mengamankan kemerdekaan negerinya.
Yang terakhir adalah adanya tekanan finasial selama periode pemerintahan Rake Warak yang tidak terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Hal ini sebagai akibat dari hilangnya penguasaan jalur ekonomi di Selat Malaka. Keputusan Rake Warak untuk mencabut status sima sawah Wanua Tengah bagi bihara Pikatan dalam prasasti Wanua Tengah III ini menunjukkan adanya keputus-asaan finansial yang mungkin diikuti dengan pencabutan seluruh status sawah sima bagi bihara Buddha di wilayah kekuasaannya.
Dalam prasasti Raja Garung yang berbahasa Sanskerta yang dikutip di dalam prasasti Wanua Tengah III dikatakan bahwa Raja Garung telah mengembalikan status sima sawah Wanua Tengah bagi bihara Pikatan yang sebelumnya dibatalkan oleh "seorang penguasa yang bernama Manara, seorang yang pemarah". Kemarahan Rake Warak ini kemungkinan disebabkan karena yang lawan yang menentangnya adalah keturunan dari Rahyangta i Hara, adik Sanjaya. Rake Warak yang marah dan murka lalu menghukum mereka yang menentangnya itu dengan cara mencabut dukungan kerajaan bagi bihara-bihara yang dibangun leluhur mereka.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa Carita Parahyangan telah menyampaikan secara jujur dan akurat apa yang dicerminkan oleh sumber-sumber sejarah tentang raja-raja Sunda di Jawa dari masa Senna dan Sanjaya melebarkan kekuasaannya hingga ke Jawa Tengah. Dominasi kekuasaan  Raja Jawa ini berakhir saat Rake Warak memenjarakan dan mengkudeta Rake Panaraban ayahnya yang telah membuka terjadinya perselisihan hingga perseteruan terbuka dengan saudaranya. Dominasi kekuasaan kemaharajaan kepulauan Sailendra yang tak tertandingi di tengah-tengah abad kedelapan dan selama enam dekade berada dalam kemasyhurannya akhirnya runtuh di periode pemerintahan Rake Warak setelah dia mengkudeta ayahnya sendiri.
Podjok Pawon, Juni 2021
Sumber bacaan:
Kusen. 1994. "Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III". Berkala Arkeologi. Tahun XIV--Edisi Khusus.
Sundberg, Jeffrey R. (2011). 'The Old Sundanese Carita Parahyangan  , King Warak, and the fracturing of the Javanese polity, c. 80 3 A.D.', in Manjushree Gupta (ed), From Beyond the Eastern Horizon: Essays in Honour of Professor Lokesh Chandra  , pp. 143-157. New Delhi: Aditya Prakashan.
Zakharov, Anton O., 2012. Â The Sailendras Reconsidered, Nalanda-Sriwijaya Centre Working Paper No 12 (Aug 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H