"Wah, rumah kontrakan di sebelah dedemitnya mulai berulah lagi," kata Mintarsih kepada Pringgo suaminya sepulang dari mengikuti arisan ibu-ibu yang diadakan di pendopo yang ada di sebelah barat rumah kediamannya.
Yang dimaksud dengan rumah kontrakan di sebelah itu adalah bangunan rumah yang berada di sebelah barat rumah Pringgo yang merupakan bangunan kuno berbentuk rumah joglo dengan sebuah pendopo di bagian depannya yang dibangun dengan model kampung. Pendopo yang ada di depan bangunan joglo itulah yang digunakan ibu-ibu untuk arisan pada setiap minggu sore atau pada tanggal-tanggal tertentu di tiap bulannya.
Keangkeran rumah ini menurut cerita Mintarsih memang sudah sejak dulu, dan semakin tambah angker saja ketika sehabis gempa bumi tahun 2006 yang lalu, bangunan induk yang berupa rumah joglo itu mengalami kerusakan yang berat terutama pada sisi utara atau belakang dan sisi timur. Setelah gempa, kondisi rumah ini kosong tak berpenghuni selama beberapa tahun.
Pada saat ini, bagian sisi barat rumah joglo sudah dihuni oleh mas Wawan dan keluarga kecilnya. Keluarga kecil ini sudah sekitar tiga tahun mengontrak di tempat ini.
Sedangkan pada bagian sebelah timur bangunan induk joglo ini baru sekitar empat bulan yang lalu mulai dihuni oleh keluarga Mas Amet. Sebelumnya bangunan ini pasca gempa bumi 2006 yang lalu dibiarkan kosong dan kemudian digunakan oleh warga kampung sebagai gudang penyimpanan perkakas dan peralatan milik RT dan RW.
Bangunan induk yang berada di tengah rumah joglo dan bagian belakang masih dibiarkan kosong dan tetap berfungsi sebagai tempat penyimpanan perkakas milik warga RT, dengan pengecualian pada kamar "senthong kiwo" yang dipergunakan oleh keluarga Mas Amet untuk beribadah. Sebuah gudang di bagian belakang rumah yang atapnya sebagian hampir roboh tetap dibiarkan terkunci oleh pemilik rumah kontrakan.
Pada pertengahan tahun 2020 ini, pada sebuah malam saat Mintarsih baru pulang dari membeli nasi goreng dan bakmi goreng bersama anak-anaknya, Mintarsih melihat ada sesuatu yang berpakaian putih melompat terbang keluar dari jendela berjeruji besi yang ada di sebelah pintu timur bangunan. Sosok putih itu terbang ke arah selatan menuju ke arah pohon kanthil atau ke sekitar sumur dan kamar mandi yang ada di sebelah selatannya. Saat itu sisi sebelah timur bangunan joglo itu masih belum ditempati oleh keluarga Mas Amet.
Bukannya takut, Mintarsih malah mengejarnya dan menyusul ke tempat tersebut dan mengucap jika dirinya tak takut dan berseru agar sesuatu yang terbang memakai pakaian putih itu tak perlu mengganggu dirinya ataupun keluarganya.
Kini setelah sisi timur bangunan joglo itu sudah ada yang menempatinya, kejadian yang mistis malah bukannya menghilang namun malah muncul kembali baik terhadap keluarga Mas Amet ataupun keluarga Mas Wawan.
Kejadian ini pertama kali diceritakan oleh Mbak Dewi isterinya Mas Wawan kepada Mintarsih sesaat setelah arisan ibu-ibu yang diadakan di pendopo usai. Menurut Mbak Dewi, beberapa hari sebelumnya, pada suatu malam dia bersama Amir anaknya yang berusia sekitar 6 tahunan itu mendengar ada suara seorang perempuan tertawa. Menurut pendengaran mereka, suara tertawa perempuan itu berasal dari ruangan dalam rumah yang ada di sebelah timurnya, yaitu ruangan di dalam bangunan induk joglo itu yang ada di sebelah timur ruangan yang ditempatinya.
Suara perempuan yang tertawa itu juga didengar oleh Mbak Neni isterinya Mas Amet yang pada malam itu sedang tiduran di kamarnya. Sama seperti Mbak Dewi, menurut Mbak Neni, suara perempuan yang tertawa itu berasal dari ruang tengah atau dari dalam dari bangunan induk joglo itu.