Sailendra, nama sebuah dinasti atau wangsa yang dianggap misterius dalam dunia sejarah Asia. Nama dinasti ini muncul pada beberapa bukti sejarah yang berupa prasasti di berbagai tempat dan dalam waktu yang berbeda kemudian menghilang begitu saja dalam waktu sekejap.
Nama wangsa Sailendra, wangsa "raja gunung" atau "penguasa pegunungan", muncul pertama kali di prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M. Prasasti ini ditemukan di Chaiya Ligor, sekarang daerah Nakhon Si Thammarat , Semenanjung Melayu Thailand Selatan. Â
Prasasti Ligor ini berupa batu yang diukir pada kedua sisinya dengan menggunakan aksara Kawi dan berbahasa Sanskerta. Pada bagian sisi A yang dikenal dengan nama manuskrip Vlang Sa menyebutkan tentang penguasa penguasa atau raja Sriwijaya dan pembangunan bangunan suci umat Buddha di Ligor. Sedangkan pada sisi B, prasasti menyebutkan tentang seorang Sri Maharaja yang berasal dari wangsa Sailendra (Sailendravamsa) yang dijuluki "esavvrimadavimathana" (pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa).
https://id.wikipedia.org/
Nama wangsa Sailendra (sailendravamsa) ini juga muncul di prasasti Kalasan yang berangka tahun 778M, sebuah prasasti yang beraksara Pranagari dan berbahasa Sanskerta yang ditemukan di dataran Prambanan. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa para pendeta yang merupakan guru raja Sailendra berhasil memperoleh persetujuan dari Maharaja Dyah Pancapana Kariyana Panamkarana, Â yang disebut sebagai permata dari wangsa Sailendra (sailendravamsatilaka), untuk mendirikan bangunan suci bagi pemujaan terhadap Dewi Tara (Tarabhavanam).
Dalam prasasti Kelurak, sebuah prasasti yang diketemukan di dekat Candi Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan Jawa Tengah, yang berangka tahun 782 M, Â nama wangsa Sailendra juga disebutkan. Dalam prasasti ini dituliskan bahwa seorang raja yang disebut Raja Indra yang merupakan "permata dari wangsa Sailendra" (sailendravamsatilaka) yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya dengan julukan "penghancur pahlawan musuh yang terbaik" (vairivaravramardana), telah memerintahkan untuk mendirikan bangunan suci Manjusigrha.
Prasasti lempeng tembaga Nalanda, Â sebuah prasasti yang ditulis atas perintah raja Devapaladeva dari Bengala (Kerajaan Pala) India, juga menyebutkan nama wangsa Sailendra. Prasasti yang berasal dari paroh pertama abad ke sembilan ini menyebutkan bahwa penguasa Svarnadwipa (Sumatera atau bagiannya, termasuk Sriwijaya) yang bernama Balaputradeva mendirikan sebuah vihara Buddha di Nalanda. Balaputradeva ini dikatakan sebagai cucu dari "sailendravasatilako yavabhumipala" atau cucu raja Jawa yang merupakan permata
Wangsa Sailendra yang mendapat julukan pembunuh musuhnya yang perwira (Viravairimathana).
https://anangpaser.wordpress.com/tag/leiden/
Nama Wangsa Sailendra kembali disebut di dalam lempeng tembaga prasasti Leiden yang berasal dari penguasa Chola yang bernama Rajaraja I yang diterbitkan pada 1006 M, disebutkan bahwa Raja Kataha, sekarang Kedah Malaysia, yang bernama Culamanivarman telah mendirikan sebuah vihara Buddha di Nagapattinam India. Culamanivarman ini berasal dari wangsa Sailendra (Sailendravamsa) yang menjadi penguasa Srivisaya dan memimpin pemerintahan Kataha. Pembangunan vihara tersebut diselesaikan oleh putranya yang bernama Maravijayottunavarman dan diberi nama Sailendra-Culamanivarmavihara.
Jejak historis wangsa Sailendra yang tercatat di mulai Semenanjung Thailand-Malaysia, Jawa, Sumatera dan India, menunjukkan bahwa sejarah dan warisan historis yang ditinggalkannya sangatlah luar biasa. Luar biasa dalam arti historis maupun dalam kerumitannya sehingga menjadikannya sebagai bahan perdebatan dalam dunia sejarah hingga masa sekarang ini.
Sumber bacaan:
- Anton O. Zakharov, THE AILENDRAS RECONSIDERED Nalanda-Sriwijaya centre working paper series, no. 12, Aug 2012.
- G. Coedes dan L.Ch. Damais, KEDATUAN SRIWIJAYA, Penelitian Tentang Sriwijaya, Seri Terjemahan Arkeologi No.2, Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dengan Ecole Francaise d'Extreme-Orient, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.
- Hariani Santiko, DUA DINASTI DI KERAJAAN MATARAM KUNO: Tinjauan Prasasti, Sejarah Dan Budaya, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013.
Podjok pawon, Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya