“Jat, carikan bukunya “Religions of Java” diperpustakaan, terserah perpustakaan mana, yang penting edisi berbahasa Inggris!”suruh Bapak ketika aku menyodorkan buku terjemahannya yang berjudul “Abangan, Santri dan Kyai” yang ditulis oleh Clifford Geertz. Sepenggal kalimat perintah yang sudah lebih dari 20 tahun itu masih juga terngiang jika aku teringat kembali akan kesukaan almarhum bapakku akan buku-buku yang pernah jadi best seller dalam ilmu-ilmu humaniora.
Bapakku memang terolong orang yang “gila baca”. Sisa-sisa koleksi bukunya yang berupa buku saku dari berbagai bidang ilmu, mulai filsafat, sejarah, arkeologi, antropologi, ekonomi, psikologi, dan politik yang semuanya dalam bahasa Inggris, beberapa diantaranya masih tesimpan di rak bukuku. Termasuk kamus Inggris-Inggris edisi tahun 60-an dan Thesaurrus.
Kembali ke soal permintaan bapakku untuk mencarikan bukunya Geertz yang edisi bahasa Inggris, yang ternyata sangat suliti dicari pada waktu itu. Terpaksa bapakku akhirnya mau juga membaca yang edisi berbahasa Indonesia. Mengapa seperti itu? Ternyata bagi bapakku, yang memang menguasai bahasa Inggris dengan baik, lebih mudah mengerti dan memahami teks aslinya daripada terjemahannya.
Sejak saat itu pula, aku yang masih mahasiswa baru juga jadi ikut-ikutan tertarik dengan penulis buku yang namanya Clifford Geertz. Entah nasib baik atau memang sudah ditakdirkan, ternyata masih ada buku-buku karangan Geertz yang lain yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang dijual di “Social Agency” yang dulu ada di kawasan “Shopping Centre” Yogyakarta.
Kebetulan pula, salah satu pegawai kios buku itu adalah saudara sepupu penulis, namanya Mbak Nah, terhitung masih keponakan ibuku. Tiga buku itu langsung bisa terbeli dengan harga yang super murah. Mojokuto, Involusi Pertanian, Penjaja dan Raja, adalah tiga judul buku yang melengkapi buku Abangan Santri dan Priyayi, menjadi bagian dari koleksi awal rak buku di kamar pribadiku
Waktu terus berjalan, sedikit demi sedikit koleksi buku bertambah, baik buku cetak maupun foto copy-an, semuanya tercatat dan tertata rapi. Hingga suatu ketika, saat penulis mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang yang dipasrahi untuk memfoto-copy artikel ataupun buku, ada dua buku lagi yang ditulis oleh Clifford Geertz yang harus segera dicopy. Permintaannya hanya disuruh memfoto-copy satu buku saja untuk masing masing buku yang judulnya “Interpretation of Cultures”, dan yang satunya lagi berjudul “Local Knowlegde”.
Pada saat itu, yang namanya memfoto-copy satu buku dengan dua buku, ongkos yang harus dikeluarkan besarnya sama saja. Hanya nanti soal penjilidan sampul “hard cover-nya” saja yang butuh biaya sendiri. Jadi dengan membayar ongkos sampul “hard cover” dua buah, penulis sudah dapat dua buku lagi karangan Geertz. Sebuah penghematan yang cukup besar kala itu.
Sudah ada 6 buku, juga beberapa artikel foto-copian yang merupakan tulisan Geertz, menghuni rak di perpustakaan mini. Namun itu masih kurang, karena masih ada sebuah buku lagi karya Geertz, yaitu “Negara; The Theatre State” yang belum menjadi bagan dari koleksi di rak. Bahkan hingga sampai akhirnya harus pindah rumah sampai saat ini pun buku itu belum berhasil didapatkan.
Hanyan sayangnya, sebagian buku koleksi yang bertahun-tahun terkumpulkan itu harus banyak yang hilang. Buku karangan Geertz yang tersisa pun hanya 3, “Abangan Santri dan Priyayi”, “Interpretations of Culture”, dan “Local Knowlegde”, yang lainnya raib entah kemana.
Apapun keadaannya, sebagai orang yang suka membaca , minimal sudah pernah membaca bukunya dan soal lupa isinya atau tidak memahami itu persoalan lain, penulis hanya bisa bersyukur atas semua karunia Tuhan atas semua pengetahuan yang telah didapatkan selama ini. Tetap kerja, tetap membaca, dan terus berkarya.
Podjok Pawon, Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H