Mohon tunggu...
Humaniora

Now, Little Afraid and More Excited

17 Mei 2016   18:25 Diperbarui: 18 Mei 2016   06:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama Saya Jati Dwi Juwitaningrum. Saya keturunan Jawa-Kutai, akrab dipanggil Jati atau Dwi. Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur 21 tahun lalu, tepatnya 23 Juni 1995. Saya anak kedua dari pasangan Almarhum Suwardi dan Aminah. Berdasarkan Kartu Keluarga, Saya memiliki 2 saudara perempuan, yang pertama bernama Desy Widyastuti dan Fatimah Julianti.

Usia 6 tahun, Saya dan keluarga pindah ke Nganjuk, Jawa Timur. Saya menghabiskan masa kecil dan sekolah di sana. Riwayat pendidikan Saya, tahun 2000 Madrasah Ibtidaiyah di Tanjung Gondang, tahun 2001 SDN Tanjung Gondang II. Namun, karena alasan tertentu Saya pindah ke SDN Bangsri I, tahun 2007 SMPN 4 Kertosono, tahun 2010 SMA Negeri 1 Ngronggot. Setelah lulus SMA, Ibu Saya, menyarankan untuk berkuliah di Samarinda. Oleh karenanya, tahun 2013 Saya bertolak dari Nganjuk ke Samarinda dan mulai menetap di Kota Tepian ini.

Saya masuk di Universitas Mulawarman (Unmul) melalui jalur SBMPTN, sempat mencoba SNMPTN namun gagal. Saat mencoba jalur SBMPTN Saya hanya memilih satu program studi (prodi) Ilmu Komunikasi S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Akhirnya, setelah menunggu hasil selama kurang lebih sebulan, Saya pun diterima di prodi tersebut.

Awalnya, Saya ingin fokus di perkuliahan saja, karena ajakan teman untuk bergabung di organisasi sungguh kuat, tidak ada salahnya bagi Saya untuk mencoba. Saat itu teman-teman sedang sibuk mempersiapkan persyaratan untuk masuk di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik. Sekarang berganti nama menjadi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa. UKM yang dinaungi universitas ini, memberi Saya banyak pengalaman dan hal baru, khususnya di bidang jurnalistik.

Saya menggemari fotografi pun menjadi alasan untuk menyalurkannya di Pers Kampus ini. Meski, terkadang Saya juga dituntut untuk bisa menulis, layaknya seorang reporter. Awalnya keberatan, karena Saya tak beminat menjadi reporter. Perasaan takut dan malu menghadapi orang lain, menjadi penghambat Saya kala itu. Asal tahu saja, saat Saya masih duduk di bangku sekolah, Saya kerap mendapat perlakuan layaknya seorang yang lemah dan pantas untuk diremehkan. Hingga SMA perlakuan itu masih ada namun tak separah ketika TK, SD, dan SMP.

Jadi, tak heran jika Saya bukan orang yang terbuka. Memasuki masa perkuliahan sekaligus menjalani kegiatan organisasi, merupakan pengalaman baru dan istimewa bagi Saya. Di sini Saya temukan teman-teman yang hebat di bidangnya masing-masing. Saya tak pernah berpikir bahwa Saya akan mengenal mereka dan menjadi salah satu teman mereka. Sungguh, di sini Saya merasa hidup kembali.

Saya sadar, saat itu tak ada keahlian yang bisa Saya unggulkan. Modal foto kucing yang sedang merenung dan satu surat lamaran yang ditulis tangan, menghantarkan Saya ke berbagai hal baru yang belum pernah Saya jumpai. Hingga kini, Saya masih tak percaya bahwa Saya bukan lagi orang lemah yang pantas diremehkan. Saya mulai terbiasa untuk tidak menghindari orang lain dan mencoba menghadapinya. Tuntutan di organisasi ini memacu Saya agar dapat berkembang dan melatih kemampuan Saya dalam berkomunikasi.

Namun, Saya masih lemah dalam mengungkapkan sesuatu di depan umum, dengan berbagai pasang mata memandang Saya. Saya sangat tidak menyukai hal ini, perasaan debar dan di dalam perut seperti ada yang menggeliat-geliat. Melemahkan diri Saya lagi. Saya seperti orang yang kembali bodoh dan tak tahu arah. Satu lagi, Saya pun masih mencoba untuk mengakrabkan diri dengan orang lain, meski bagi Saya ini hal yang lumayan sulit.

Anggapan mahasiswa komunikasi yang pandai bicara dan berargumen di depan umum itu memang benar, namun bagi Saya itu hal yang sulit. Mengingat, latar belakang pergaulan Saya yang tak terbiasa menghadapi orang lain. Masuk di prodi ini, semakin membuat Saya sadar memang segala sesuatu harus dilatih terus-menerus, tak ada yang instant bahkan mie instan sekalipun perlu tahapan hingga bisa disantap. Keberanian dan motivasi Saya masih setengah-tengah, Saya butuh bergaul dengan mereka yang punya semangat lebih yang juga memotivasi Saya. Ibaratnya, bertemanlah dengan penjual parfum, maka dirimu juga menjadi harum.

Sekarang, landasan Saya untuk menjalani hidup, adalah sedikit rasa takut dan lebih banyak semangat. Setiap orang memang punya kelemahan, Saya tidak mau terpaku dengan kelemahan Saya, karena ini yang membuat langkah Saya tersendat. Seperti tokoh Luffi dan Naruto, semangat dua tokoh anime ini bisa dicontoh, asal bukan mencontoh pertempuran mereka layaknya anak sekolah yang tawuran. Sungguh! Tiru semangatnya bukan tindakan negatifnya. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun