Tulisan ini dasarkan kepada sebuah thesis bahwa manusia tidak memiliki kuasa sepenuhnya terhadap hal yang ia miliki dan bahkan yang menyatu bersama self, I dan Me. Hal ini dapat diuji secara sederhana dengan mencoba melakukan pengontrolan terhadap bagian-bagian tubuh yang kita miliki, sebut saja rambut. Rambut kita memiliki posisi yang jelas di dalam tubuh kita. Ia secara signifikan berada di bagian atas kepala, menyatu, ditata setiap hari, dan dipegang dengan tangan ketika kita merasa gugup atau bingung. Ia tidak dapat dinafikan telah menjadi bagian tubuh kita yang dekat dengan self, I dan Me. Tapi, apakah kita sanggup ,secara sadar dan tanpa bantuan alat, menahan pertumbuhan atau mempercepat pertumbuhan rambut? Jawabannya sudah barang tentu tidak bisa. Hal ini menjadi aneh karena kita merasa bahwa rambut seharusnya ‘berada dibawah pengontrolan’ kita sebagai individu.
Berbeda dengan kebebasan berkehendak
Apakah betul manusia tidak memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri? Bukankah kita bisa membiarkan rambut kita panjang dan kita bisa memotongnya dengan gaya rambut yang sedang trend di masa kini? Kalau pertanyaan yang sekelas itu yang ditanyakan, maka kita sudah selevel dengan Firaun. Ketika Firaun mengaku sebagai Tuhan, ia mengatakan bisa menghidupkan dan mematikan manusia. Bagaimana caranya? Mudah, yakni dengan membiarkan orang hidup dan mematikan dengan cara membunuhnya. Jadi, sudah se-Firaun apakah kita?
Dengan demikian arahnya sudah jelas. Ada sesuatu yang sifatnya transendental (yang mau tidak mau) harus kita nisbatkan atas self, I dan Me kita. Untuk ‘apa’ nya hal yang bersifat transendental tersebut, maka ia justru harus didapatkan dengan melibatkan self, I dan Me. Sehingga secara empirik, individu yang satu dengan yang lainnya akan berbeda proses experiential learningnya. Hal ini dapat dipahami karena banyak terdapat variabel sekunder yang sulit untuk dikontrol dalam menentukan ‘apa’ pada hal yang bersifat transendental.
Membiasakan mengganti diksi
Dalam pembukaan UUD 45, penggeseran ingroup favoritism dan personal favoritism terasa sangat kental. Diksi yang dipilih adalah ‘atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh keinginan luhur’, ini jelas-jelas menunjukan adanya pergeseran ingroup favoritism dan personal favoritism, padahal bisa saja disebutkan ‘atas kegigihan para pejuang dari sabang hinggal marauke dan dengan kekuatan persatuan bangsa Indonesia’ atau sejenisnya, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh para pendiri bangsa ini.
Mengganti diksi secara proposional dalam menisbatkan sebuah pencapaian rasanya menjadi sebuah keharusan. Dan ini tidak ada hubungannya dengan self-esteem, melainkan berkaitan dengan sebuah pengakuan atas dasar kegagalan penguasaan sepenuhnya atas self, I dan Me. Sehingga secara tidak langsung pengakuan ini pun menjadi tidak ajeg. Jika nanti pada suatu hari kita berhasil memiliki kontrol sepenuhnya atas self, I dan Me, maka penggeseran ini batal atas nama ilmu pengetahuan. Dan kita bebas melakukan klaim atas semua pencapaian sepenuhnya tidak terkecuali. Namun jikalau belum bisa, mari kita nisbatkan pencapaian-pencapaian kaita pertama kali kepada hal-hal yang bersifat transendental, seperti halnya yang mulai saya lakukan dengan berujar ‘atas pertolongan Alloh saya bisa melakukan ini dan itu’ ketika melakukan pernyataan atas pencapaian. Dan itu rasanya enak. Selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H