Jika didefinisikan kata perkata, literasi digital terdiri dari 2 kata, yaitu ‘literasi’ dan ‘digital’. Literasi sendiri dalam KBBI berarti: “Kemampuan menulis dan membaca; Pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.” Sedangkan digital mempunyai arti: “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”.
Pengertian di atas sekiranya sudah menjelaskan definisi dari literasi digital, yaitu kemampuan, keterampilan, juga pengetahuan dalam bidang tertentu, yang di mana dalam hal ini adalah media digital. Hanya saja pemaknaan kata ‘digital’ di sini berarti media yang digunakan, yang memang media tersebut akrab dengan penomoran (baca: komputer).
Prof. David Bawden dari City University, UK (dalam Thomas, 2020) mendefinisikan digital literacy sebagai kemampuan untuk membaca serta mengerti hypertextual serta multimedia text. Ia sendiri mendefinisikan secara detail apa itu ‘digital’ serta ‘literacy’.
“Literacy per se, in a digital age, means an ability to understand information presented, and that digital literacy involves the skill of deciphering images, sounds, etc. as well as text”.
Beliau menekankan digital sebagai media baru yang berbeda dari media cetak, yang di mana media ini dapat menghasilkan suara juga gambar, dsb. Media digital ini juga menjadi sarana baru pengekspresian informasi, yang kemudian dapat kita implementasikan dalam konsep presentasi yang inovatif.
Lalu kemampuan seperti apa saja yang disebut sebagai literasi digital? Eshet-Alkalai (2012) membagi literasi digital menjadi 5 bagian yaitu:
- Photo-visual literacy: yaitu kemampuan untuk menerima dan menganilisis informasi berupa gambar visual.
- Reproduction literacy: yaitu kemampuan untuk menggunakan teknologi digital untuk membuat karya baru atau mengkombinasikan karya yang ada sehingga menjadi karya sendiri yang baru dan unik.
- Branching literacy: yaitu kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan baik (bernavigasi dengan baik) dalam dunia digital yang luas.
- Information literacy: kemampuan untuk mencari, menemukan, menilai dan mengevaluasi secara kritis informasi yang ditemukan baik dalam media web maupun rak perpustakaan.
- Socio-emotional literacy: yaitu kemampuan untuk berkolaborasi pengetahuan seperti mampu mengevaluasi data, memiliki pemikiran abstrak, dan mampu merancang pengetahuan dengan manusia lain melalui kolaborasi virtual.
Implementasi Literasi Digital
Literasi digital dapat kita mulai dari tingkat pendidikan, dari jenjang yang paling dasar. Penerapan literasi digital ini dapat kita contoh dari China. Sejak 2010, pemerintah China lewat Ministry of Education of China, mempublikasikan Plan of The National Plan untuk mereformasi dan mengembangkan pendidikan jangka panjang China (Liu, 2020).
Salah satu contohnya adalah: “distance learning in China in the form of radio and television became the basis for the gradual development of network education as the main form of modern distance learning”. Program ini diawali dalam jenjang universitas, diantaranya Tsinghua University, Zhejiang University, Hunan University, dan Peking University of Posts and Telecommunications.
Literasi digital dalam dunia pendidikan dapat kita lihat temukan pula dalam Tan (2013) dengan judul “Informal Learning on Youtube: Exploring Digital Literacy in Independent Online Learning” ditemukan bahwa platform Youtube kini menjadi sumber ilmu pengetahuan. Youtube kini menjadi informal learning enviroment, dengan kelebihannya yaitu open-ended, non-threatening, enjoyable, and explorative. Berkat environment tersebut, dengan sendirinya Youtube menjadi tempat menemukan ilmu pengetahuan baru dengan sensasi discovery bagi para siswa. Menarik jika dilihat Youtube sebagai sumber pengetahuan informal, namun hal tersebut adalah fakta.
Lingkungan pendidikan informal lebih menekankan kepada enjoyable namun tetap edukatif dalam pelaksanaannya, peran guru juga seakan tak ada dalam lingkungan ini, sehingga siswa sendiri yang mengarahkan atau menjadi guru bagi dirinya sendiri. Sehingga Youtube dapat kita sebut sebagai lingkungan informal karena dalam pengoperasiannya, siswa terasa tak terkekang justru lebih bebas memilih pengetahuan apa yang ingin ia ketahui dan pelajari.