-o-
Lari di tempat lima menit. Lalu cobalah dengar irama jantung melalui moncong stetoskop. Ya. Benar. Seperti itulah degup jantungku saat ini. Tidak. Aku tidak sedang di situs keramat tempat orang uji nyali. Tapi memang aku tengah berhadapan dengan seorang peri. Mataku liar menelanjangi. Dahi. Lalu tersandung di pipi. Bukan! Bukan peri cantik seperti dalam sketsa manga. Lalu? Sudah, diamlah! Biarkan aku menenangkan bilik yang riuh ini.
"Sedang apa?" tanyaku sambil senyum-senyum. Tersipu-sipu sendiri. Eh, kenapa juga? Padahal peri itu bahkan tidak sedang membalas syahdu tatapanku.
"Sedang tidur. Ssst...," mulut periku mengkurva. Jelas ia tak sadar tiap lekukan bibirnya membuatku gila.
"Kok bisa ngomong?" aku meladeni kekonyolannya.
"Lagi ngigau..."
Dan aku semakin kacau. Blaik! Periku lebih tertarik pada Samsung. Bahkan dengan tampangku yang mirip Jo In Sung?
"Kamu pakai bedak apa sih, Mun?" tanyaku lagi. Ediaan! Perusuh! Segala bedak ditanya! Ya-ya. Sudah tak heran bila cinta selalu memiliki kekuatan 'jam Ben 10'. Berubah! Dan dengarlah. Jahanam paling logis pun sanggup bicara konyol.
Si Mumun -ya, peri itu namanya Mumun. Memang kenapa? Kurasa itu pantas dengannya. Mumtaz Hannah lengkapnya. Puas?- meraba pipinya. Pipi. Gundukan imut di bawah teropong mata. Bukit kecil yang sejak awal telah menyita focus retinaku.
"Bukan bedak, Mas. Ini glepung!"
"Apa itu glepung?" tanyaku bingung. Tapi mataku semakin cekung. Merenung pada pipi periku.