~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kata yang lazimnya menggambarkan ruang dalam silinder yang gelap, nuansa kelam yang didukung udara lembap. Aku takkan lupa tentang lorong dengan aroma menyengat dari urine-urine yang ditinggalkan mengering di setiap sudut dan dindingnya yang bergrafiti kekesalan, cacian, kutukan, perpaduan antara murka dan kesenduan seni bercinta. Sebuah deskripsi lorong yang acap ditemui pada negeri-negeri yang baru merayap keluar dari telapak kaki kolonisasi. Walau tak dapat dipungkiri lorong semacam itupun pernah dimiliki Barat di abad pertengahannya; atau di millennium tertinggal yang lantas mencapnya sebagai kawasan kumuh bagi jelata.
Pernah kumasuki sebuah lorong yang dihiasi rambu-rambu. Beberapa anak panah menuntunku, dan bicara tentang beragam larangan demi keselamatan dan keutuhan dirinya, lorong berambu itu. Dinding kanan kirinya gelap, lembap dan menyimpan misteri masa lalu. Dinding yang berdiri bisu sepanjang waktu, mungkin menungguku untuk menguak tentang kisah-kisah hebat yang telah dia saksikan di silih bergantinya peradaban. Walau temaram, namun lorong ini bersolek dengan ornamen berupa siung-siung raksasa; stalakmit menyeruak di antara sungai kecil yang membawa semurni-murninya air, sedang stalaktit menggantung dirinya serupa tetangga bersayap tipis yang menumpang hidup kepadanya. Jumlahnya yang masif merupakan pahatan mahakarya alam yang indah tak terkira.
Lain waktu, kudapati lorong tak berambu, tak berjendela, tak berpintu. Lorong yang tak mengenal tegur sapa sang surya, hingga buta bukanlah tuna namun menjadi laba. Siapa bilang kekurangan adalah derita, sebab penghuni lorong ini justru menjadikannya kelebihan. Gelap bukan menjadi masalah, bila telinga, kulit dan sekujur tubuh dapat mendukung kecepatannya berlari, mengenali tiap setapak yang akan dilalui. Jangankan detak jantung seekor mangsa, suhu tubuhnya yang tersembunyi di kedalaman tanah pekat dapat pun dipindai. Lorong yang demikian itu adalah surga bagi tikus-tikus bemoncong bintang.
Sebuah lorong vertikal kupikirkan. Lorong yang tinggi menjulang dalam kompetisi menggapai kanopi dunia; langit yang tak berpagar batas. Sosoknya yang jangkung mampu membawaku dalam sekedip mata. Dasar tempatku semula berpijak selaksa terbang, melambung secepat jarum detik berpindah. Sekelompok awan bahkan sempat menyapaku dalam perjalanan arak-arakannya. Dari jendela kacanya yang tebal, kujulurkan tangan seolah nirwana tinggallah sejangkauan. Lorong-lorong yang berdiri angkuh menantang lindu; jumawa terhadap tabrakan lempeng-lempeng yang –disadari atau tidak– terus terjadi, jauh di rahim bumi. Lorong yang demikian itu, telah mengubah wajah sebuah lembah menjadi belantara beton; hutan buatan yang telah menguras mineral bumi sebanyak berton-ton.
Ada lorong yang nampak demikian berliku. Ia meliuk, menyelusup jauh di bawah pondasi cakar ayam. Terkadang berkelok saling menjegal, memberangus akar dan menggantinya sebagai kawah kotoran? Lorong yang tidak menarik minatku untuk mencari dimana pangkal dan ujungnya. Jaringannya terlalu rumit dan penuh rahasia. Lorong yang membuat susah ketika disumpal sampah, dan menjadi bencana ketika mahluk-mahluk pengerat tak tahan pada giginya yang terus menerus gatal.
Chu Chi, adalah sebuah lorong yang membuatku jera. Logikaku yang dimanjakan peradaban digital, sulit menerima bila harus merunduk lalu merayap memasuki liangnya yang sangat fit dengan badan, menelusuri alur panjang yang berkelok tak tentu arah. Apalagi menjadikannya hunian serupa jasad ditinggalkan sukma. Bila aku jera, tidak demikian dengan vietcong yang sangat memujanya. Pejuang bertopi petani itu boleh berbangga sebab lorongnya mampu membuat putus asa para serdadu Châu Mỹ. Pria-pria berseragam loreng yang acap berprasangka tentang lorong sebagai jalur sanitasi saja. Lalu belajar dari Chu Chi, prajurit Châu Mỹ tak lagi terpana pada lorong serupa. Dan adaptasi Chu Chi pun kian marak ditemukan dimanapun lahan yang menjadi target jajahannya.
Tinggalkan lorong yang haus darah, dan mumpuni menguras airmata duka serta sampai hati meminta tumbal nyawa. Sebab lorong juga bisa beraroma asmara; lorong yang mengumbar keluh dan peluh serta bujuk rayu saling menggoda dari para penjaja cinta. Lorong tempat sampan gondola berkelana; menyusuri labirin mengapung di kota tempat suku Veneti bermula. Lorong yang telah mengetapel tingginya status social courtigiana kala itu, ketika peradaban masih belia, di usianya yang baru tujuhbelas.
Banyak lorong telah kujelajahi. Namun satu lorong yang masih kutakuti adalah lorong sempit tempat jasad dihimpit, membujur sepi dalam penantiannya pada dua penjaga lahat yang siap menggelar sidang isbat.
Pada akhirnya, aku harus berakhir di sebuah lorong. Namun lorong yang tengah kutekuni ini, bukan lorong-lorong seperti telah kukisahkan. Lorong ini secarategas menyanggah seluruh karakter kemurungan yang lancap disampirkan kepadanya itu. Lorong ini megah! Lihatlah pada sekoloni kunang-kunang yang ditempatkan tiap sejengkal. Lalu selang di antaranya disematkan bintang-gemintang. Menambah kemegahan itu nampak berkerumun Angler betina; mahluk buruk rupa dari samudera terdalam namun sangat mempesona dengan kail bercahaya di moncongnya.
Sejak masih di hulupun, semburat cahayanya murah tersebar ke segala arah. Begitu lembut, hangat, dan bersahabat. Tak hentinya mengalir semenjak hilir hingga ke muara yang tak kasatmata. Di sanalah cahaya tercurah berlimpah hingga mata manusia takkan sanggup menampungnya. Warna hitam seolah terlarang. Dan disini, kemuraman bukan tempatnya dibentang.
Semakin jauh kumelangkah, lorong ini kian mematahkan anggapan kesenyapan yang selalu lekat dengan dirinya. Lorong ini meriah! Penuh dengan gema pujian yang menyanjung kesucian asmallah.
Bahkan ada satu fenomena yang belum pernah kuberjumpa dalam sejarah berdirinya lorong.Seiring tiap gaung pepujian suci itu terpekik, terlontarlah sebutir peluru. Sebutir lalu mencuat dari punggungku, dan sebutir yang mengoyak pahaku, lalu sebutir lain yang meremukkan tempurung lututku, kemudian sebutir terakhir yang sukses mencacah rapuh bilik jantungku. Satu demi satu peluru telah tercabut dari tempatnya bersarang, tubuhku. Mereka berlompatan keluar, tercongkel begitu mudah; semudah mengopek lapisan koreng. Mereka terbebaskan seiring gema yang mengagungkan Sang Pemenuh Nadzar. Lalu membumbung dan menghamburkan residu berupa percikan kembang api yang menambah tumpah ruahnya cahaya. Entah lorong apakah ini…
*
Bunyi senapan berdesing-desing; bersaing dengan meriam yang tak henti berdentam. Semakin riuh, dengan iringan ensamble musik yang gaduh menyemangati dan meninggikan moral para sena. Panglima berteriak-teriak mengobarkan semangat juang. Derap kaki kuda terus berupaya menyeberangi parit-parit yang melingkar melindungi benteng pertahanan.Suasana kian menghiruk-pikuk, ketika petugas pengumpul jenasah hilir mudik mengangkat ‘mortir-mortir’ yang telah gugur dalam pertempuran. Tak akan ditinggalkan ‘bangkai berharga’ itu menjadi obyek rajaman senjata musuh.
“Salah seorang ksatria telah wafat!” terdengar jeritan ketika sesosok raga bersimbah darah dibawa masuk ke sebuah… lorong!
Tak perlu air tiga rupa, sebab simbahan darah telah menyucikannya. Kafan juga tak dibutuhkan, sebab setelan yang lusuh karena debu mesiu, yang koyak-moyak karena cabikan granat, dan penuh dengan lubang tinggalan peluru…adalah bukti yang akan dibanggakan di hadapan Ilahi.
Inilah lorong yang tak lagi kutakuti. Tidak terlalu dalam, juga tak bernisan. Tak apa, sebab situasi dan kondisi yang sangat memaksakan, selain itu tenaga pun telah habis dilahap api pertempuran. Tak juga mengapa, bila tabur bunga ditiadakan. Atau kunjungan keluarga ditangguhkan. Aku sudah sangat bahagia mendengar takbir, tasbih dan tahmid yang lebih berarti dibanding ratap tangisan. Aku sangat disambut di sini. Aku bersumpah, demi Ilah yang meniupkan ruh, bahwa inilah sejatinya tujuanku… Lorong !
***
Pustaka Kata:
Châu Mỹ : Amerika [dalam bahasa Vietnam sederhana]
Courtigiana: courtesan [dalam bahasa old Italy] Venesia di abad ke-17 terkenal dengan lorong-lorong prostitusinya [sumber: BBC Knowledge]
Angler: jenis ikan yang hidup di perairan dalam; lebih dari 1000 m, ikan yang memiliki kail bercahaya di moncongnya [sumber: BBC Knowledge]
Sena: sinonim dari prajurit/pejuang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H