Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lingkaran Belis

25 Februari 2015   05:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Darsiti.

Mungkin hanya Dar yang pantas disebut pembantu teladan. Berpenampilan agak misterius tapi ia tak seperti pembantu kebanyakan yang acap mengeluhkan gaji, banyaknya pekerjaan dan suka curi-curi waktu bermalas-malasan. Ia juga tak pernah membicarakan keburukan majikan, ga rempong kata Alay. Pendek kata Dar adalah tipikal pembantu idaman para majikan walaupun karena itu boleh jadi ia telah kehilangan identitas dirinya, tapi bukankah selalu ada resiko dari pekerjaan yang dilakoni?

Dar sangat tekun bekerja, ia hanya akan mengangkat kepalanya ketika dipanggil, seterusnya kepala berkuncir buntut kuda itu akan tertunduk menekuni pekerjaannya. Mulut Dar hanya akan terbuka ketika ditanya, sesudahnya katup bibir mungil itu terus tertutup rapat bahkan saat mengunyah makanannya pun tak tampak membuka, entahlah bilaku silap mata. Dar tak pernah tidur siang, katanya ia tak biasa, begitu yang kudengar saat ditanya nyonya majikan yang dipanggilnya Nyonya Ibu dan akupun mengekor panggilan itu, habis bingung mau panggil apa. Sesiangan ada saja yang ia kerjakan. Namun usai corong musholla di dekat rumah berteriak waktunya shalat Isya, kurasa sekitar jam tujuh-an lewat sekian menit, Dar akan mengunci pintu kamarnya di ruang belakang berdampingan dengan kamar yang pintunya digerendel dari luar dengan sebuah gembok. Gembok buto demikian kusebut karena ukurannya jumbo. Kamar Dar hanya terang sesaat, lalu gelap seketika. Adakah ia segera beristirahat dalam senyap, melarung penat dalam lelap? Siapa yang tahu, tapi begitulah yang telah terjadi sejak hari pertama ia datang ke rumah ini bersama seorang wanita yang mengaku sebagai penyalur pembantu mandiri bukan dari PT. Itu sepuluh tahun yang lalu, umur Dar baru sepuluh di bulan ke sepuluh. Nyonya Ibu selalu mengatakan tak akan pernah lupa sosok bocah perempuan yang buah dadanya masih sebesar bluluk tersembunyi di balik longdres biru buluk. Dan bagi Nyonya Ibu, pengabdian sepuluh tahun itu sungguh nyaris tanpa cela andai tak datang keputusan Dar yang amat mendadak dan tanpa alasan pasti. Dar minta berhenti.

"Coba jelaskan sejujurnya Dar. Ibu janji tak akan marah, kecewa atau sedih mendengarnya. Ibu ingin tahu saja mengapa kau tiba-tiba ingin berhenti. Kau itu kan sudah Ibu anggap keluarga toh?"

Nyonya Ibu terlihat menelan ludah saat bujuk rayunya itu tak mengguncang keteguhan hati Dar. Pandang matanya segera beralih pada Sandy, pemuda kosmo yang amat berpenampilan. Lalu dengan isyarat mata Nyonya Ibu memohon bantuan pada putra tertuanya itu. Tapi mata Sandy lekat pada I-phonenya. Tak ingin mendapatkan tatapan mata yang sama, Windy, si putri kedua, berpura menekuni smartphone-nya. Sedang Cindy, sejak awal telah menyibukkan diri dengan Al Caphone, Malamute separuh serigala yang tak pernah akur denganku, grrr, grrr, selalu menggeram galak bila mata kelabunya itunya melihatku, tantangan kelahi yang mustahil dimenangkannya. Mungkin anjing bodoh itu geram karena tak pernah berhasil meraih kepalaku yang pasti dikiranya bola. Weekk! aku meleletkan lidahku yang jelas kalah panjangnya. Dan anjing itu segera membalas dengan lolongan khas saudara sepupunya.

Bila hati Nyonya Ibu sangat terluka dengan kepergian Dar. Aku lebih menanggung perih mendalam. Aku benar-benar sangat kehilangan Dar. Dan sepi yang telah lama mengelilingi kian pun memerangkapku di sini. Takkan ada lagi yang bisa kuperhatikan di rumah ini, mondar-mandir tak henti kerjakan itu-ini. Selain Dar, tak ada yang asyik, karena semua penghuni bergiat diri mengejar pelariannya masing-masing. Suami Nyonya Ibu sesekali saja muncul di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan di luaran. Yang kudengar pria flamboyan itu perempuannya banyak. Tak peduli anaknya juga perempuan. Padahal karma bisa saja ada. Sedang Nyonya Ibu yang dikenal berhati baik sibuk pergi mengaji ke majelis sana-sini. Entah upaya membutakan hati pada suami yang tua-tua keladi ataukah itu wujud pelariannya dari ketiga anak dewasa manja yang gagal dikelolanya. Meski pada akhirnya Dar pun turut berlomba menemukan pelariannya. Namun entah kemana ia kini tengah berlari. Manusia memang selalu butuh pelarian. Bukankah pelarian membuat manusia tak kesepian? Karena manusia sangatlah takut sepi. Terutama sepi membujur sendiri di kediaman abadi.

…

Belum genap sebulan masa magangnya, Marwati, si pembantu baru, sudah memecahkan rekor yang tak pernah dicapai Dar. Rangkaian anggrek yang terbuat dari pualam Tiongkok, hiasan rumah yang paling disukai Nyonya Ibu, kini menjadi barang antik yang tak laku dimusiumkan. Aku penasaran apakah mahakarya desainer ternama itu masih laku ditukar dengan sebuah gelas belimbing dari Tukang Beling?

"Duuh, hati-hati ya Mar?" Nyonya Ibu lembut menegur. "Bagaimana kalau tanganmu terluka? Kan nanti ngga bisa kerja?" lanjutnya dengan kekhawatiran yang tulus. Majikan lain mungkin akan segera mendeportasi Mar ke kampungnya saat itu juga. Tampaknya Nyonya Ibu tak ambil pusing dengan kehancuran porselen itu. Kehilangan Dar masih disayangkannya daripada sebuah benda kesayangan. Tapi tidak demikian dengan para tuan muda yang kerap mengomel apa saja yang bisa diperkarakan.

"Waktu ada Dar ngga ada debu sesentipun!" begitu jeritan Windy saban hari. Sedang Cindy tak henti mengeluhkan sprei yang telat diganti, harus seminggu dua kali atau lengkingannya akan mengundang tetangga bersomasi. Sementara Sandy tak mau kalah hanya dengan tiga oktaf saja, pemuda itu terus menuntut cubic-food dua pintu di kamarnya tak boleh kosong dari minuman berkarbonasi. Berharap mati muda rupanya, aku menduga.

Lalu suami Ibu yang dipanggil Tuan Bapak oleh Mar, ikut menyumbang suara. Masakan Mar selalu diserupakan paluh, kubangan kerbau. Aku kerap bertanya apakah Tuan Bapak pernah menyecap paluh hingga tahu macam mana rasanya? Di penghujung kekacauan, Nyonya Ibu selalu tampil sebagai morfin yang menenangkan. Hanya sementara karena keributan itu tak kenal final. Namun Nyonya Ibu tak bosan mengingatkan agar masing-masing menahan diri dan mengajak untuk terus bersyukur dengan kehadiran Mar yang tenaganya banyak dibutuhkan untuk membantu pekerjaan di rumah besar ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun