Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|24

5 Maret 2013   10:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13624807481607787727

[image :123RF_stockphotofree]

~.~

“Maaf ya, Klaudia? Memang akulah yang memberitahu Rahman soal bisnis onlenmu. Tapi aku berdiri di luar segala sepak terjangnya itu, hloh? Aku hanya terdorong oleh alasan ingin membayar kesalahanku padanya tempo dulu. Kau jangan terlalu marah dulu, karena sebelumnya aku sudah memperoleh dukungan penuh dari darlingku, “berkata begitu mba Astrid mengerling kepada sang darling.

Aku melirik tajam pada kak Bertie. Berpura marah besar walau dalam hati geli benar melihatnya seketika berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya, seperti terdakwa hukuman mati yang memohon grasi. Meski agak terkejut dengan pengakuan mba Astrid, namun aku tak terlalu heran mendengarnya. Sebab selain keempat karibnya, orang berikutnya yang paling memungkinan memang hanya mba Astrid. Jadi sekarang jelaslah sudah, darimana sumber ide Rahman untuk mengerjaiku.

Tinggal menunggu reaksi Fani. Kebetulan kami berempat secara tidak sengaja bertemu di sini. Kak Bertie dan mba Astrid datang untuk memeriksakan kesehatannya menjelang hari H mereka. Juga soal kemungkinan dapat memiliki keturunan secara normal di usia mereka yang sudah tidak muda. Aku sendiri datang sebab varises yang sudah menahun. Memang hanya varises, dan itu konon sudah umum menimpa kaumnya. Tapi aku tak mau menganggap remeh suatu penyakit. Walau sulit membujuknya pergi, namun aku selalu berhasil membawa lek Kamidi check-up kemari. Sedangkan Fani, tentu saja ia datang untuk pemeriksaan rutin kandungannya. Kami lalu bergabung membentuk grup rumpi dadakan sambil menunggu kebutuhan masing-masing terpenuhi oleh rumah sakit besar ini.

“Hehe, iya nih, aku juga minta maaf ya, mba Klaudia?” kata Fani sambil menggeser kaki, memberi ruang bagi mba Astrid yang gema namanya telah terdengar memenuhi ruangan. Didampingi kak Bertie, pasangan itu meninggalkan aku dan Fani, menghilang di balik pintu ruang praktik dokter.

Rupanya Fani orang yang sangat menyenangkan diajak bicara. Pembawaannya yang ceria dan usianya yang lebih muda membuatku relaks, tidak canggung dan tidak harus mrekungkung karena Fani tidak pernah berkata hal yang menyinggung. Tidak seperti kakaknya itu. Tunggal weteng, memang tidak menjamin sifat saudara sekandung akan sama. Semua terlepas dari keterlibatan Fani yang tidak dapat dipandang remeh soal insiden beberapa waktu lalu.

“Kenapa minta maaf? Mba Fani kan ngga seratus persen salah?” jawabku berbasa-basi. Maunya sih marah, tapi ngga tega juga melihat perutnya.

“Iya tuh! Dalang tunggalnya adalah mas Rahman. Eh, tapi sudah gencatan senjata, kan, Mba?”

“Ih, mba Fani nih, memangnya perang?”

“Aduh, jangan panggil mba dong? Aku kan lebih muda dari mba Klaudia?” rengut Fani dengan pipi gembilnya yang nampak sangat menggemaskan itu. Kutebak anaknya kelak adalah bayi perempuan yang cantik dan lucu.

”Hm, panggil apa ya? Bukan nyonya, kan?”

Hahaha! Kami sontak tertawa berbarengan.

“Jangan benci mas Rahmanku, ya, Mba. Bukan karena aku adiknya, tapi masku itu orangnya baik, penyayang, dan sangat perhatian. Memang kadang nganyelke tenan, tapi kalau ngga ada sisi yang begitu malah membosankan bukan?”

“Masa sih?” tanyaku dengan kerling mata menggoda.

“Bener kok, Mba. Mungkin caranya saja yang aneh tapi dia sungguh orang yang baik. Saya yakin, mba Klaudia akan terkejut dengan begitu besarnya hati dan pikiran mas Rahman. His eyes only for you. Di rumah, kalau dia bicara soal mba Klaudia, senyumnya selalu merekah, wajahnya berbinar. Jujur, aku geli melihatnya seperti itu. Sebab ini baru pertama kalinya mas Rahman bicara soal wanita dengan style yang tidak pernah dia tunjukkan kala membicarakan wanita selain mba Klaudia.”

“Aiih, curiga nih, jangan-jangan Fani bicara begitu karena disuruhnya pula?!”

Hahaha! Kami serempak tertawa lagi.

Kali ini aku bicara sesuai realita. Tanpa mba Klaudia ketahui, sebenarnya mas Rahman sudah lebih dulu melakukan pendekatan dengan keluarga besar kami. Jadi jangan heran bila nama mba Klaudia sudah sangat familiar di lingkungan kami, walau kita belum pernah sekalipun berjumpa.”

“Maaf nih Fan, tapi aku kurang mengerti. Pendekatan dengan keluarga apa maksudnya?”

“Maksudnya, masku itu jauh-jauh hari sudah pernah wara-wara bahwa ia sedang menaruh perhatian serius terhadap seorang wanita. Aku sempat heran. Dulu tiap kali naksir cewek, mas Rahman ngga pernah kasih pengumuman, boro-boro mengenalkannya sama orang rumah. Tapi kali ini, tak hanya soal nama, tapi mas Rahman tanpa tedeng aling-aling membeberkan soal wanita yang ditaksirnya itu kondisinya begini, begini, dan begini. Dia bahkan menegaskan akan bersikap terbuka menerima kritik dan saran, tapi tidak menerima apapun bentuk penolakan terhadap wanitanya, ah dia selalu menyebutnya ‘gadisku’. Katanya, dia merasa sudah sangat yakin dengan pilihannya.”

Aku tak percaya tapi senang mendengarnya. Namun tetap kuupayakan agar rasa senang itu tak terlalu kentara dilihat Fani. Selain malu, ada yang berdenyit ngilu di hati ini.

“Ini serius, Fan? Sungguhan? Jangan sampai di akhir ceritamu, kau berkata ternyata mas Rahman bangun kesiangan dan semua yang dikatakannya itu hanya ada dalam mimpi.”

Masih menyisakan tawanya yang mengikik, Fani berkata lagi, “Serius dong, Mba. Iya sungguhan dan bukan mimpi. I swear,” sambil mengangkat telunjuk dan jari tengah yang dilingkari a tiny diamond in white gold ring.

Walau sulit untukku percaya, namun aku tidak menemukan adanya nada becanda dalam penuturan Fani yang gamblang. Kurasa, setelah masalah-masalah yang ditimbulkan kakaknya denganku, tak mungkin bila sekarang ini Fani tengah mengarang cerita.

“Mama dan papa selalu mengajarkan bahwa semua manusia itu sama di hadapan Tuhan. Mama dan papa juga sering menasehati untuk tidak membeda-bedakan teman. Jadi aku tidak mau ada sikap apalagi perbuatan yang merendahkan gadisku. Tidak walau sedikitpun.”

“Mas Rahman bilang begitu?” tanyaku dengan debar di dada yang semakin tak keruan.

“Kuminta jangan pernah ada interogasi macam-macam bila suatu hari nanti aku bawa dan tunjukkan gadisku itu. Tanyakan segalanya tentang dia kepadaku mulai dari sekarang. Aku tak mau gadisku merasa rendah diri, kecil hati dengan segala interview yang tidak perlu bahkan cenderung membuat hatinya nanti pilu.”

“Fan, terus terang aku sulit untuk percaya. Benarkah mas Rahman berkata seperti itu?”

“Pokoknya, ketemu lalu kenali dulu kepribadiannya. Bukan latar belakangnya apalagi pekerjaannya. Bahkan keluarga monarki tertua dan terhormat di dunia tetap merestui pangeran sang penerus tahta untuk menikahi seorang gadis biasa yang berani berpakaian minim di muka khalayak. Gadisku lebih baik darinya, sebab dia selalu rapat menjaga auratnya.”

“Maaf Fani, bukan meragukanmu tapi…, benarkah itu yang dikatakan masmu?”

“Sulit untuk percaya ya? Aku bisa mengerti, sebab kutahu mas Rahman sudah sangat jahat sama mba Klaudia. Bahkan sejak hari pertama kalian bertemu di stasiun tivi itu, sikapnya tidak pernah ramah, kan?

Aku tersenyum. Tidak mengiyakan atau menentang.

“Katanya dia ‘shock’ melihat untuk pertama kalinya ada cewek yang mau-maunya repot shalat dhuha, di lingkungan dan dengan atmosfer yang menurutnya jauh dari kemungkinan itu. Menurutnya dia takkan heran bertemu wanita yang shalat, dzikir, mengaji di majlis-majlis, masjid atau pondok pesantren. Tapi ini di tengah kesibukan tinggi. Sementara wanita kontestan lainnya lebih berkonsentrasi mendahulukan tujuan duniawinya agar mencapai sukses dalam event itu.”

Bagiku tak ada kisah yang lebih menyenangkan untuk didengar saat ini kecuali cerita Fani. Shock? Duh, sampe segitunya…

“Makanya saya sendiri penasaraaaan banget, ingin ketemu langsung dengan mba Klaudia,” lanjut Fani.

“Bisa kutebak, itulah yang menjadi alasanmu membantu masmu mengerjai aku. Benar?”

“Hehe, ketebak deh. Sekali lagi maaf ya, Mba. Tapi sekarang saya tahu, mas Rahman memang tidak membual soal mba Klaudia.”

“Ah, kau Fani, ini hanya soal waktu sebelum kau melihat sisi burukku. Kau akan segera mengubah pendapatmu selekas tahu aku menyimpan perangai serigala.”

“Don’t worry, mba Klaudia. Because it's human nature to have both good and evil in all of us, some people are just better at contolling the bad. Dan kadang pengalaman terbaik adalah when you have to experience the bad.”

Hahaha! Lagi-lagi kami kompak tertawa.

“Mba Klaudia boleh ge-er deh, sebab menurut mas Rahman, tak lama setelah jumpa pertama itu, masku selalu bilang, she’s gonna be mine, she’s mine, mine, mine! Norak bener deh, saya sampai bosan mendengarnya!”

Aku tak tahu harus merespon apa. Sama sekali tak terbayang seseorang seperti Rahman bisa ngegombal seperti itu. Setahuku, whena man is into you,pria akan memperlakukanmu just like you are the most interesting and beautiful woman in the world. Tapi penjelasan apa yang ternalar untuk menerjemahkan sikap Rahman yang jelas berkebalikan?

“Mba Klaudia pasti merasa aneh. Tapi itu sudah diniati, masku memang sengaja behaving badly.

“Di…niati?” tanyaku tak mengerti.

“Diniati bahwa sejak awal mas Rahman memang tidak ingin bermanis-manis dengan mba Klaudia. Menurutnya dengan sikap itu dia bisa mengetes kesungguhan hatinya sendiri. Selain itu, dia juga ingin tahu sejauh mana perasaan mba terhadap dirinya, dan seberapa besar kansnya mendapatkan mba Klaudia. Walau secara eksplisit mas Rahman sudah sering bilang bahwa dia yakin bakal ngedapetin mba Klaudia. Masku hebat kan, Mba? Ngga ada deh lelaki macam dirinya itu, eh tapi dia jelas masih kalah dengan…my hubby,” penuturan Fani diakhiri dengan tawa geli.

Mungkin Rahman telah berpikir dan mengibaratkanku bagai sebatang bambu yang mudah dibengkokkan bayu. Atau segumpal plastisin yang mudah dibentuk? Memang sulit untuk menampik Rahman dengan kepribadiannya yang unik. Kuyakin, dia tak akan menemui kesulitan berhadapan dengan wanita didukung rasa percaya dirinya yang bagi sebagian besar diganggap pesona. Dan orangpun akan mudah menudingkan tangannya ke arahku andaikan aku berani lancang berkata bahwa sosok Rahman masih belum mampu menggetarkanku. Namun kali ini, Rahman jelas salah, sebab tak seorangpun dapat mengukur dalamnya hatiku. Kuharap, dia takkan berakhir tersakiti seperti halnya aku yang sangat tak ingin menyakiti.

“Mas Rahman yakin mba Klaudialah jodohnya. Katanya, itu bisa dilihat dari tatapan mata mba Klaudia yang maut dan hatinya yang langsung nyangkut saat jumpa pertama di koridor yang disebutnya sebagai Koridor Maut!”

Hahaha! Ini entah yang ke berapa kali kami tertawa. Aku bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi pada tawa Fani andai ia tahu apa yang tersembunyi dalam hati ini?

”Aku kerap khawatir dengan rasa yakin yang menurutku melebihi porsi. Bahkan mama juga pernah bertanya bagaimana kalau ternyata mas tertolak? Masih dengan yakinnya, mas Rahman menjawab bahwa jadi lelaki harus pede apalagi ngadepin perempuan aneh macam mba Klaudia. Ups, ini yang bilang masku loh ya, Mba?Never give and never surrender. Bersamanya aku akan Live life, Laugh lots, and Love forever. Maaf, tapi waktu itu aku sempat teriak, gombaaaal!”

Hahaha! Kami berdua tertawa sepuasnya. Duh, bagaimana ini? dalam hatiku terus bertanya.

“Tapi ngomong-ngomong, aku sedikit takut dengan melihat reaksi mba Klaudia saat ini tidaklah sebesar yang kuharapkan. Uhm, ketakutanku ini tidak beralasan kan, Mba?”

“Memang apa yang harus kau takutkan, Fani? Lagipula, apakah aku terlihat seperti orang yang menakutkan?”

Fani tertawa ringan. ”Syukurlah. Aku sangat sayang masku. Sebab kami hanya dua bersaudara. Apapun pendapat orang tentang masku, dia tetap saudaraku. Satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.”

Sekarang bukan Fani yang ketakutan lagi. Sebab ketakutan itu mulai merasukiku. Aku menganggap semua yang diceritakan Fani adalah suatu berkah yang berlebihan untukku. Aku mulai menyukai Fani dan baru saja menikmati keintiman yang tak harus kuupayakan dengan kerja keras seperti membangun sebuah jaringan. Sungguh tak terbayang sakit hati Fani andai ia bisa menyelami dasar hatiku saat ini. Itu akan menjadi akhir yang terlalu cepat bagi keberkahan ini.

Maafkan aku Fani. Aku memang sangat tersanjung mendengar semua ceritamu. Dalam beberapa saat, aku merasa sebagai wanita yang paling beruntung di dunia. Dalam hatiku tak henti bersyukur dan berterima kasih atas semua perhatian Rahman yang baru hari ini kusadari. Salahkan saja aku, yang tak mampu mengendalikan suara hati…

“Eh, itu dia lekku!” Terima kasih lek, kau datang tepat pada waktunya. Aku sudah terlalu takut membayangkan Fani bisa segera membaca kegalauan yang tengah terjadi dalam hatiku. “Aku duluan ya, Fan? Ngga papa? Kamu tidak sendiri, kan? Diantar siapa? Suami?”

“Yang pernah disangka suami!” jawab Fani mengulum senyum.

“Maksudnya?” aku tak sadar dengan senyum nakalnya, dasarnya memang aku rada lemot lambretta tralala.

“Tuuuh…” sahut Fani diikuti tawa yang berderai-derai.

Aku menoleh arah yang ditunjukkan Fani dengan monyong di bibirnya. Gubraks!Kali ini aku tak dapat mengimbangi tawa Fani. Panik melihat Rahman yang sudah berdiri menyender di belakang kami. Dan seketika kumatlah penyakit lang-ling-ling-ku. Mendadak aku jadi blingsatan seperti clurut kebakaran liang. Aduh, mak’e bagaimana ini? Kemana harus pergi sembunyi? Masa sih ruang menyusui? Atau kamar operasi? Oh, Gusti, please, please rescue me…

“Kau berbakat jadi wartawan infotainment, Fan. Semoga keponakanku nanti tidak sebawel kamu. Sayangnya yang kau lakukan ini sia-sia saja, sebab kau jelas tidak pandai membaca riak wajah ‘artismu’ ini,” kata Rahman dengan mata memanah langsung kepadaku.

Sesaat kami saling bertatapan, aku dan Rahman. Dalam diam, kami bicara lewat bahasa mata. Kulihat ada jurang kecewa menganga di sana. Aku tahu siapa yang dimaksud Rahman ‘artis’ itu. Dan aku sungguh menyesal harus melihat luka yang tertoreh jelas di matanya. Tapi kupikir ini lebih baik daripada belakangan hari dia menyadari di mana hati dan pikiranku saat ini. Maafkan aku, maafkan aku, teriak batinku berulang-ulang.

Ya, hati itu masih tertambat di tempat yang sama. Walau jauh entah dimana ia, namun sebuah email darinya sudah cukup menyejukkan dahagaku akan dirinya. Tak peduli ia telah bahagia bersama pasangan hidupnya saat ini. Toh, aku tidak mengganggunya, tidak menggodanya dengan cara apapun. Yang kulakukan hanyalah mengimpikan dirinya seorang diri. Berharap suatu saat nanti mata hijaunya akan dia tujukan selamanya hanya padaku…

Mana pernah kutahu, bila hari itu adalah hari terakhirku melihat Rahman…

..[Bersambung? Tamat? Bersambung? Tamat?]..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun