Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|17

18 Februari 2013   04:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:07 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361160349172782749

[image :123RF_stockphotofree]

~.~

Di dapur aku selalu bebas menjadi apa adanya diriku. Tak perlu kumenjaga sikap, tak perlu harus kemayu, mengatur cara berjalan dan bicara, juga tak perlu membubuhkan pupur dan gincu tebal yang membuatku gatal-gatal. Dan yang terpenting, tak perlu menderita oleh kecanggungan ini. Ya, di sini, di atas panggung bermandi cahaya lampu terang-benderang dan sorotan kamera serta sorak-sorai penonton yang sebagian besar adalah tim sukses dari masing-masing kontestan. Aku? Mana tim suksesku? Ngga ada! Ini yang membuatku tambah grogi saja. Bagiku, ini tempat yang sama menakutkannya dengan tepian jurang berikut batuan terjalnya yang siap mencabik-cabik tubuh.

Tujuh pria sedianya akan dihadirkan untuk memilih kami, para kontestan TMOD. Dan keenamnya telah menekan tombol merah setiap kali VTku dihadirkan. Asem tenan, aku jadi agak marah. Mereka, pria-pria itu, benar-benar tak tahu betapa keras perjuanganku untuk sampai di atas panggung ini, dan sama sekali tak menghargai usaha kak Bertie juga para karyawannya yang telah memolesku semaksimal mungkin.

Saatnya pria ketujuh menjatuhkan pilihannya, aku sudah pasrah. Dan seketika melunglai, karena seleranya pun sama saja dengan keenam rekannya. Padahal dia bisa saja memilihku walau tidak berdasar rasa suka, tapi atas nama kemanusiaan apa salahnya? Pura-puralah sedikit. Nanti toh, di sesi eliminasi, dia bisa meng-kick me out. Asalkan di tayangan perdana ini mukaku bisa terselamatkan. Tapi itu tak pernah terjadi. Mereka meninggalkanku sendiri di atas panggung yang mendadak sunyi. Meski di belakang kamera, tepuk tangan penonton terdengar riuh rendah menggetarkan langit-langit studio.

Sekuat tenaga kutahan airmata, agar tak jatuh tertangkap kamera. Doaku tak henti agar lek Kamidi tidak berkesempatan menonton atraksiku yang memalukan ini.  Sepasang mataku kian mengabur. Bukan, bukan, karena sedih dan kecewa, tapi sinar lampu yang sangat menyilaukan itulah penyebabnya.

Aku masih bertahan, tegap berdiri menampung cemooh dan tatap mata iba. Tinggal menunggu keputusan untuk dipulangkan. Waktu terasa berjalan sangat lama. Kupikir, tinggal usir saja, mengapa harus menunggu jeda sekian lama? Mengapa emsi tidak segera mengumumkan kekalahanku yang telak? Mereka tidak sengaja melakukan ini, kan? Membiarkanku berdiri mematung, sendiri di atas panggung besar ini, seperti badut sirkus lumpuh. Yang menambah kesedihan adalah ketika musik yang diputar pun lagu slow mellow jaman baheula berjudul I’m Nobody’s Child.

I'm nobody's child, I'm like a flower just growing wild, There're no mommy's kisses , And no daddy's smiles, Nobody wants me, I'm nobody's child

Oh, teganya mereka menjual kemalanganku demi mendongkrak rating dan mengundang iklan. Dalam detik-detik yang menegangkan itu, kubayangkan sebuah momen langka, ilusi indah yang terlahir karena ingin menyelamatkan diriku sendiri.

”Pemirsa. Ini belum pernah terjadi di season-season sebelumnya. Hanya di season ini, momen istimewa dipersembahkan untuk anda, pemirsa, dan para peserta ajang ini khususnya. Tim kreatif yang mendapat persetujuan dari manajemen penyelenggara acara, secara diam-diam telah menyimpan secretweapon,” Henny sang pembawa acara, berbicara dengan gaya ngemsinya yang mempesona.

“Oh, ternyata ada secret weapon itu? Wah, kalau saya saja yang di studio ini merasa sangat penasaran, apalagi kontestan terakhir dan tentunya pemirsa di rumah, ya Hen ya?” tanya Herman yang menjadi pasangan emsi.

“Jadi begini, Man. Kita nih sebenernya masih punya 3 peserta tambahan atau susulan yang nantinya akan memilih kontestan underdog, gitu mungkin ya istilahnya?”

Aku sontak membuka mata. Meninggikan antena di telinga. Apa? Masih ada 3 peserta yang belum dimunculkan? Benarkah?

“Owh, begitu ya, Hen? Sekarang, mengapa kita tidak tampilkan saja ketiga peserta itu?”

Tidak. Aku tidak percaya ini. Aku harus membuka mataku lebih lebar dan lebar lagi untuk dapat mempercayai apa yang akan kulihat tidak lama lagi.

“Baik. Mari kita tampilkan tiga peserta tambahan yang akan menentukan nasib dari kontestan nomor 11, Klaudia Kamilana!” panggilan Herman disambut tepuk tangan gemuruh dari para penonton di studio, tentunya setelah mereka melihat aba-aba dari staff pengarah gaya.

Oh, jantungku berpacu lebih kencang dari biasanya. Adrenalinku terkatrol cepat. Ketegangan yang nyaris sama saat mendengar sir Bahlul memanggil namaku di masa-masa silam.

“Bernardus Maximillian Tambayong!” Henny meneriakkan nama peserta pertama.

Dan keteganganku mendadak kendur. Berganti tawa yang membahana. Siapa? Kalian dengar juga kan nama yang dipanggil oleh emsi? Kak Bertie? Ya-ya-ya. Kalau bukan dia, siapa lagi. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kemunculannya dari balik tabung yang semula menyembunyikan dirinya itu. Masih dengan tawa yang enggan berhenti.

“Peserta kedua!” teriak Henny.

Dalam sekejap, keteganganku mulai up lagi. Orang gila mana yang mau hadir in the last minute untuk menyelamatkanku? Sedang peserta yang lainpun jelas-jelas tak sudi memilihku!

“Jean Paul Henri!” tiba-tiba Herman menyebutkan sebuah nama yang nyaris membuatku pingsan!

Tidak mungkin! Ini mustahil! Ini pasti becanda! Aku tertawa lagi. Tertawa dan tertawa. Namun harus kupercaya saat tabung raksasa itu kembali menghadirkan sosok yang memang sangat kukenal. Sir Bahlul melambaikan tangannya ke arah penonton di studio. Dan tak pelak, kemunculannya itu langsung disambut gemuruh dan tepuk tangan berkepanjangan. Aku masih ternganga-nganga, ketika Henny telah bersiap meledakkan isi dadaku dengan mikroponnya.

“Dan secret weapon yang ketiga adalah….”

“Siapa dia, Hen?” tanya Herman. Soundtrack musikpun sengaja distel dengan irama gaduh yang menambah gemuruh debaran di dada.

“Inilah peserta susulan ketiga! Kayvan!” teriak Henny dari moncong mikroponnya.

Kay…Kayvan? Jidatku berkerut-merut. Kayvan? Siapa dia? Tak satupun kenalanku yang bernama Kayvan. Tadinya kupikir lek Kamidi yang muncul sebagai hero ketiga. Tapi justru nama asing yang disebutkan duet emsi.

“Bagaimana perasaan mba Klaudia sekarang ini?” Henny menyodorkan mikroponnya.

Alih-alih menjawab pengenpipis, aku berkata, “Rasanya seperti mimpi saja, mba Henny, mas Herman. Senangnya bukan kepalang.”

“Saya yakin mba Klaudia sudah sangat familiar dengan dua peserta susulan yang kini telah hadir di hadapan kita. Benar?”

“Benar. Saya sama sekali tidak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini,” jawabku jujur.

Di kepalaku berputar-putar banyak spekulasi. Sebab momen ini tidak pernah disebutkan sebelumnya dalam aturan main, tidak pula dibahas dalam sesi latihan. Lalu mengapa ada hal semacam ini? Ataukah karena rasa kemanusiaan yang semula kugugat itu? Bagaimana mereka tahu? Gusti Allah-kah yang membuka pintu hati mereka? Rasanya tidak mungkin. Aku bukan orang luarbiasa yang berhak mendapatkan perlakuan istimewa. I am very sure, there are no supermen and I'm quite ordinary. Jadi apa sebenarnya yang tengah terjadi kini?

“Bagaimana dengan peserta ketiga. Apakah mba Klaudia merasa mengenalnya atau mungkin mba merasa pernah berjumpa di suatu tempat misalnya?” Herman bergantian memajukan mikroponnya.

“Aduh, namanya saja sangat asing bagi saya,” jawabku tanpa menutupi luapan kebahagiaan atas detik demi detik yang fenomenal ini.

Aku terus berdoa agar tidak ada break commercial karena sudah tak tahan ingin segera tahu siapa pria di balik tabung tertutup itu. TV kan sukanya begitu, pas lagi tegang-tegangnya, mereka selalu punya kebiasan buruk dengan memenggal acara dan memaksakan kehadiran iklan yang jelas-jelas tidak diinginkan pemirsa.

“Kayvan itu nama yang agak kurang umum ya, Hen? Apa sih artinya, kamu tahu ngga?” pertanyaan Herman itu ngga penting-penting amat deh. Duh, kenapa sih tidak diakhiri saja tanya jawab ini? Aku dibuatnya menahan sedikit geram.

“Tahu dong. Aku bahkan sempat salaman dan wawancara singkat dengannnya di belakang panggung,” Henny mengerling genit pada Herman.

“Yah, dia ngelaba deh,” Herman balas menggoda. Dan aku mengutuk senda gurau mereka berdua, sementara rasa penasaran semakin menggunung saja. ”Jadi Kayvan itu artinya apa, Hen?”

“Katanya nih, Kayvan diambil dari bahasa Iran yang bermakna dunia.”

”Orang mana sih dia?”

“Orang kita laaah…”

“Jadi inget sama Kayvan Novak.”

“Waaa, itu mah aktor kesukaanku, Man!” Henny memekik senang.

Tanya jawab itu tetap berlangsung seolah panggung milik mereka berdua. Sementara kulihat kontestan lain juga mulai gelisah. Semuanya memandang ke arahku dengan pandangan yang membuatku merasa sangat bersalah. Jangan marah ya, Temaaan, sungguh, ini bukan mauku…

“Apakah mas Kayvan ini seganteng Kayvan Novak?”

“Biar sang kontestan saja yang menilainya. Aku yakin mba Klaudia yang paling tidak sabar ingin melihat siapakah Kayvan ini. Mari kita panggil, peserta ketiga untuk hadir di panggung yang indah ini. Pemirsa inilah, Kayvan!”

Musik gedebak-gedebuk dari satu set drum yang digebuk mengiringi kemunculan pria bernama Kayvan. Saat itu juga mulutku menganga lebih lebar dari sebelum-sebelumnya. Degup jantungku pun sontak tak berirama. Kayvan adalah Rahman? Rahman Kayvan? Wes, ini jelas dagelan. Ini ngga mungkin. Mokal. Ini guyonan pinggir jalan. Celoteh warung pojokan. Fiksi murahan. Roman picisan.

“Mba Klaudia ngga papa?” seorang kru menyentuh bahuku.

”Saya baik-baik saja. Terima kasih,” ujarku sambil memberikan sedikit sentuhan balasan.

“Terima kasih juga telah bergabung dalam acara ini. Saya pribadi mohon maaf bila ada tutur kata atau tingkah laku yang tanpa sengaja telah menyakiti hati mba Klaudia,” Wida memelukku erat.

Dari jauh kulihat Astrid tersenyum arif. Tanpa banyak kata, wanita cosmopolitan yang sangat kukagumi itupun memelukku dengan sangat erat. Apa yang sebelumnya dia khawatirkan memang terjadi. Seharusnya aku cukup bijak dan menerapkan kiat-kiatku sendiri tentang hal untuk tahu diri. Kemudian menerima kenyataan bahwa kita manusia memang selalu mendahulukan kulit daripada isi. Tapi aku tidak menyesal melakukan ini. Harapanku, semoga yang kulakukan ini bukanlah dosa,  entah itu sughra apalagi qubra. Aku hanya ingin menjajal sampai dimana batasan yang dapat kulalui. Gagal dan sukses adalah hal yang biasa terjadi di dunia. Kalau jodoh tak ketemu di sini, pasti di luar sana ada seseorang yang tengah menanti. Orang yang akan menimbang isi sebelum memandang kulit. Bukankah ada pepatah yang mengatakan takkan lari gunung dikejar, asam di gunung, garam di laut bertemu dalam satu belanga.

Untung tadi itu hanya khayalanku saja. Khayalan? Iya, khayalan. Tiga peserta susulan dengan nama-nama yang mengejutkan itu hanya ilusi bodohku. Nakal sekali ya, membayangkan kemunculan hero-hero itu. Sebab ketiganya jelas-jelas tengah berada di dunianya masing-masing saat ini.

Tak pernah terjadi kejutan yang absurd seperti itu. Meskipun banyak hal yang bukan mustahil dapat terjadi di dunia fana ini, namun terlalu fiktif andaikata apa yang kubayangkan itu benar-benar terjadi. Sudah cukup hidupku selama ini yang selalu kuanggap bagai fiksi, tinggal bersama keluarga majikan kaya, naksir seseorang yang jauh tinggi di atas kelasku, bukankah itu serupa bualan pemimpi yang bangun kesiangan? Kinilah saatnya aku dihadapkan pada realita yang nyata, pahit dan getir.

Lampu-lampu panggung telah gelap. Hingar bingar berganti senyap. Aku berjalan lunglai menyeret koporku. Sungguh tak ada penyesalan apalagi kekecewaan. Tidak. Aku hanya tak sabar ingin mendengar apa yang akan dikatakan kak Bertie, lek Kamidi, saat melihat penampilanku di layar kaca malam itu. Sudah pasti mereka akan membesarkan hatiku dengan segala cara. Lek Kamidi mungkin akan membawaku ke ladang sawahnya yang sekarang bukan ngontrak tanah orang lain lagi sejak setahun yang lalu dia telah kubelikan lahan cukup luas. Kalau kak Bertie, mungkin dia akan memberiku pelayanan gratis di salonnya selama satu minggu full! Hihi, kali ini aku takkan menolaknya. Pasti.

Oh ya, sebenarnya aku malas membahas ini, tapi kok penasaran juga yaa? Kalau respon lek dan kak Bertie sudah dapat kutebak, hm, itu loh, kira-kira apakah tanggapan Rahman? Huh, dia pasti melonjak-lonjak kegirangan, berpuas hati mungkin juga ereksi, melihatku dipermalukan dalam skala nasional. Dan tangannya yang lebar itu, pasti tak lelah bertepuk-tangan seperti kethek ogleng mendapat upah sekerat pisang goreng. Bibirnya pun pasti tak habis-habisnya menyunggingkan cibiran sinis. Dan mulutnya itu, terbayang jelas betapa banyak muntahan olokan yang melumpuhkan jiwa. Duh, eman-eman temen ya, seharusnya ketampanan itu disertai perilaku yang menawan. Tapi spesies pria macam itu, stoknya kurasa sudah menipis di dunia nyata. Entah kalau astral, maya, khayal, fiktif, lamunan.

Ah, aku capek. Aku penat. Aku lungkrah. Aku lelah seluruh jiwa dan raga. Kau tahu, I am physically, mentally, emotionally, and spiritually exhausted. Have you ever wondered why you? What in this world made things pick you to experience things that you don’t want in your life? Eh, tapi bukankah ini mauku sendiri? Akulah yang telah memutuskan untuk mengikuti ajang ini.

TV sialan itu. Harusnya bukan I’m Nobody’s Child, tapi No Regrets-lah yang mereka jadikan soundtrack music. Karena aku tak memiliki sedikitpun penyesalan itu, justru kini menjadi lebih kuat dengan pengalaman beraneka rasa, yang kadar pahitnya belum seberapa dibanding sakitnya patah hati. Bahkan bila waktu dapat berulang, over and over again (seperti judul lagunya Robby Valentine saja, wek!), aku tetap akan melakukan game ini. It’s no big deal. Get over it, KK!

KK* ini bukan inisial dari Kim Kardashian tapi Klaudia Kamilana ya? (hehe, ketawa dong, biar ngga sedih lagi nih…)

...[bersambung]..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun