(o-o)
Maggie May Quittenton, gadis kecil itu menopang dagu terpaku mendengar arahan guru. Satu per satu peran telah dibagikan. Kelas drama itupun dibubarkan. Maggie tergesa pulang. Menyusuri setapak di pinggiran hutan, Maggie berjuang keras agar kaki Genul Vagum-nya bisa selaras berlari. Tak hanya kedua lututnya yang selalu melengket, kaki kirinya pun lebih panjang daripada teman kanannya. Ia benar tak sabar memberitahu orang rumah tentang peran dan senjata yang diperlukannya, meski hanya Matt saja orang di rumahnya. Maggie ingin Matt membuatkannya sesuatu seperti deskripsi sang guru. Sesuatu sebagai bekalnya bermain peran.
‘Ingat Nona Quittenton, bahkan kehidupan itu sendiri adalah sebuah rimba. Diperlukan tekad dan perjuangan untuk melintasinya. Lalu taktik, juga senjata.’
Demikian wejangan sang guru yang diingat Maggie dengan jernih hingga ia hilang ragu dan merasa tak perlu bertanya mengapa dirinyalah yang terpilih memainkan peran sebagai Villain. Bukan Sang Balerina seperti yang ia impikan selama ini. Mungkin karena wajah Maggie yang dipenuhi bintik hitam terlalu menyeramkan untuk seorang pemegang peranan yang akan disembah para pemuja di bangku penonton. Seram? Ya, kata seram diperoleh Maggie di hari pertamanya masuk kelas drama. Mereka bahkan berseloroh bila Maggie tak perlukan bantuan seorang penata rias karena wajah dan penampilannya sudah sangat mendukung perannya sebagai Villain. Maggie, sang gadis, tak pernah keberatan dengan apapun yang disandangkan kepadanya. Ia yakin adanya alasan. Ia pun percaya pada semua kata bijak yang dipajang di setiap dinding sekolahnya. Salah satu yang menjadi favoritnya iatu yang berpigura kuningan ukir antik... I am who God wants me to be. Man’s approval, is not requested, required or relevant.Maka sekedar kata ‘seram’ tak lantas membuatnya mundur dari realita. This is me, Maggie. I am who God wants me to be.
“Buatkan aku sesuatu yang berbeda, ya, Ayah,” berkata Maggie pada Matt –pria kurus jangkung dengan punggung sedikit melengkung–, yang sejak kecil dikenalnya sebagai orang tua tunggalnya. Maggie kecil tak pernah mengusik sosok ibu atau siapapun yang dipikirnya sebagai pasangan hidup Matt. Pada setiap olok-olok atau kata tanya yang menyindir tentang ibunya, Maggie cepat meredamnya dengan acungan jari telunjuk yang mengarah kaku pada sekumpulan pokok berbuku-buku. Gerumbul bambu remang itu seakan gapura yang mengapit lorong berliku menuju hutan yang memunggungi desa, Alaspring.
“Tidakkah kalian lihat? Itu, ibuku. Lihat, mereka tengah melambai, mengajak kita bermain, berayun-ayun antara ruas-ruas bambu, seperti ibuku dengan rambut hitamnya yang panjang. Lihat, sesekali ujung gaunnya yang menjuntai, membelit buku-buku bambu hingga begitu landai, nyaris mencium tanah. Ibuku selalu ceria dengan wajah sepucat bulan kesiangan dan bola matanya yang tak pernah redup.”
Selepas telunjuk Maggie melemas, pengolok besar-kecil, tua-muda itupun serentak lintang-pukang, tinggalkan Maggie yang tak peduli, tatap matanya hampa, namun mulut kecilnya tak henti bicara dengan bahasa sandi yang tak biasa. Jeritan, lengkingan, melenguh, terbahak-bahak, menggeram, mengikik, dan bebunyian asing yang sangat dikuasai Maggie. Bentuk komunikasi yang memberi alasan kuat bagi warga desa untuk mengucilkan Maggie karena dianggap aneh, gila dan menakutkan.
Bila mendengar pengaduan ini-itu tentang Mag-May, Matt tak pernah membantah. Tidak pula membenarkan pada konfirmasi yang sangat dinanti tetangga kanan-kiri. Lelaki yang kesehariannya tampak jauh dari air itu, tekun dalam diamnya, mendengus acuh kemudian berlalu, menghilangkan diri dalam gudang warisan kolonial, mungkin demikian sebutannya untuk sebuah bangunan besar, kokoh, namun berwajah sekusam pemiliknya. Berbagai perkakas dan ragam benda yang terusir dari tempatnya semula berdiam, disimpannya di sana. Karenanya, Matt menamakan gudang tua itu Serrania de la Macarena, harta karun tersembunyi. Bahkan harta yang tak terbayangkan semacam jasad-jasad yang diawetkan banyak terkumpul di dalamnya.
“Ide bagus, Matt,” Mag mengomentari bonggol kayu yang ditunjukkan Matt.
Matt telah memutuskan hanya kayu Redwood, pokok tertinggi di dunia yang akan sanggup menopang besi yang telah ia tempa. Dan hanya getah langka yang tersadap dari Katilayu, sebuah pohon dari benua Asia yang pantas merekatkan gagang istimewa itu. Matt lalu memandang adikaryanya penuh bangga.
(o-o)