Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Do Fun Bukan di Dufan

29 Januari 2016   15:39 Diperbarui: 29 Januari 2016   15:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

[image: jakartajasautamatravel.wordpress.com]


-o0o-

Banyak celoteh terdengar begitu meriah, memantul dari empat penjuru mata angin. Lihatlah kanak-kanak berlarian riang. Tak terintimidasi oleh terik matahari nan perih mengantup. Bahkan bebauan yang membekap hidung inipun tampaknya bukanlah perkara. Mereka, memang selalu bisa menyulap lahan apapun menjadi arena bermain. Namun entahlah bila sembunyi di balik bukit plastik lalu berlari menyongsong prahoto tua pengangkut sampah, petak-umpet semacam itukah yang tengah dilakukan mereka? Kanak-kanak itu?

Selembar kertas bergambar, melayang-layang ikuti kehendak angin sendalu, angin yang bertiup lembut. Namun kebebasan itu pada akhirnya tunduk pada gravitasi dan terjatuhlah ia tepat di hadapan seorang bocah yang tengah asyik mengais limpahan truk. Bocah kumal itu tertegun. Tangan kanannya berhenti mengorek sedang tangan yang lain bertahan menanggung beban berat di punggungnya, sebuah karung besar tempatnya menampung rerupa berharga. Selebaran itu telah merampok seluruh perhatiannya. Bocah itupun abai pada punggung kecilnya yang menjerit penat.

“De-u… du, ef-a-en… fan,” terpatah ia mengeja.

“Dufan! Toil, lima hurup aja lu ga bisa!” serobot Jojo, anak lelaki yang sama kumalnya dengan banyak bocah di lahan… yang jelas bukan taman siswa dimana cikal-cikalnya senang bernyanyi ‘bangun tidur kuterus mandi’, jadi apakah bocah-bocah kumal ini tak kenal mandi? Mungkin mandi hanya pas buat para putra priyayi yang mana habis mandi terus duduk manis sambil minum kopi.

“Oh, ini Dufan! Kalian tahu Dufan? Ini tempat bermain yang terkenal itu, Mat!” teriak bocah yang lain, tergesalah ia menurunkan beban karungnya. Sejenak tegakkan pundak, usir lelah darinya. Lalu dengan gemas si bocah menarik –the Manchunian– kaus super dekil dan kedodoran hingga ke ujung hidung, agar lendir kentalnya tertampung. Kemudian bergabung dalam lingkaran sakral dengan pamflet Dufan sebagai altar.

“Oh, ini Dufan,” bibir kering si Kamat membulat.
“Benar. Aku pernah melihat kincir raksasa semacam itu di tivi depan kedai tuak Bang Joni,” sergap Tarmin yang juga terhasut merubung. Angannya lekas terbang pada sebuah iklan yang sulit ia lupakan saat singgah jajan di kios kecil, bawah sebuah jalan layang.

Sebuah truk yang lain datang. Menerobos jalan sempit yang melingkupi bukit tak hijau. Menggilas bangkai, tahi, lumpur hitam dan menciptakan percikan saat melindas kubangan berbau busuk. Setiap kedatangan perlu sambutan. Bahkan tuas rem pun belum ditarik, namun kanak-kanak itu telah berpacu, kembali berburu. Plastik, kaleng, kertas, pembalut, limbah restoran, buangan pabrik, rumah-tangga, rumah sakit, dan semua materi yang diklasifikasikan sampah, di lembah bukit ini menjadi treasure-hunt, diburu dengan saling sikut disertai caci-maki, sumpah serapah yang meluncur fasih dari mulut-mulut berusia belasan. Etika bukanlah mata pelajaran di sini, namun survive, mungkin bidang studi yang paling menarik dan amat digemari. Ya, bertahan hidup di lingkungan yang sangat tak ramah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun