[tripadvisor.com]
Ruangan besar. Kristal indahnya berat tergantung, berkilau penuh gebyar. Di ruang segi empat yang luas ini, harusnya kupilih satu titik episentrum yang akan menempatkanku sebagai pusat perhatian para undangan. Tidak! Buat apa menjadi obyek sorotan, kalaulah kebebasan lantas menjadi tumbal.
Kupilih sudut itu. Sudut sembilan puluh derajat dalam ruangan ini, adalah tempatku biasa berdiam diri. Mengapa sudut ? Ya, bukankah ini sesempurnanya tempat bagi kalian untuk menyudutkanku? Entah dengan alasan tertentu yang biasanya semu, dan selebihnya sengaja dikarang oleh logika sembarang. Ah tidak, menurutku sudut selalu memberiku arah pandangan yang lebih leluasa dari tempat manapun di ruangan besar ini.
Darinya bisa kuterawang segala jenis orang, meski aku bukanlah seorang cenayang. Darinya bisa kucuri pandang, para undangan yang biasanya akan sibuk berlalu lalang. Melenggang dengan langkah kaki berayun anggun. Sebelum salam undur diri dari master of ceremony, selama itu topeng-topeng berbalur pupur, terus dipajang dengan riang. Sejenak sembunyikan kesedihan, demi terjaganya penampilan. Agar tetap menawan. Sebab merekalah para pelaku kemunafikan.
Dan sudut adalah tempat terbaik yang kamuflasekan diriku dengan apik. Sudut membuatku terhindar dari luka, karena terlanggar wadag-wadag yang selamanya kasar, secantik apapun helaian adibusana berjuang menyamarkannya. Sudut membantuku menyingkir, dari celoteh nyinyir, dan gosip punggawa kerajaan yang bernafsu ingin cepat tajir. Atau mengelak agar tak terinjak stiletto yang bertaring runcing.
Dari sudut pula, semburan parfum yang harum, bisa kuhirup semerdeka yang kumau. Massanya yang sangat ringan, mampu terserap tubuhku dengan sempurna. Karena tubuhku halus dan lembut, namun mudah marah bila terciprat thaharah. Kini kalian tahu mengapa aku begitu menyuka wewangian beraneka aroma. Terutama kemepul menyan dan dupa.
Sudut ini −dari keempat jumlahnya yang bebas kupilih− selalu merupakan titik terbaik. Sedikit temaram. Teduh di bawah bayang-bayang sebuah pohon plastik besar tempatku merasa bagai raja diraja, karena leluasa bersila, duduk nyaman tanpa kawalan ajudan.
Sebuah pesta besar tengah diselenggarakan. Aula megah berisi segala yang disebut kemewahan. Olehku yang terbiasa mengalir bersama arus bawah. Namun dianggap biasa oleh dagu-dagu yang terangkat tinggi, wajah-wajah berwibawa yang berdiri berdampingan dengan dewi-dewi berselempang selendang mayang. Tak kulihat seorang sudra, atau bahkan paria. Tentu saja, karena aula ini sungguh bukanlah tempatnya beranjang sana.
Hiruk-pikuk terbentuk. Ketika sekelompok kanak-kanak tak betah berlama-lama dalam tata krama penuh pura-pura. Mereka berlari, bebas melepas belenggu kaki. Beranggap aula adalah tanah lapang tempatnya berebut bola. Gelak tawanya hiraukan teguran para orang tua. Manusia dewasa yang penuh aturan, namun gatal bila tak melanggar aturan buatannya. Ironisnya mereka murka, manakala darah muda mencontohnya!
Lari kanak-kanak itu terhenti. Saat menyadari kehadiranku yang diam menyendiri. Mereka berdiri saling merapatkan barisan. Seperti yang sering diteriakkan seorang imam. Kesemuanya memandangku lugu dan penuh keingintahuan. Cepat kuhalau mereka, dengan satu delikan mata. Sebelum para tetua curiga, dan sebabkan terusirnya aku dari sudut berbau mistis, favorit anjing buang pipis. Aku tertawa, melihat replika tuan dan nyonya itu tunggang-langgang, terbirit berlindung di bawah ketiak sempit.
Selepas kepergian liliput yang imut-imut, aku larut dalam alunan musik yang ngelangut. Kaki-kaki bergoyang lembut. Pada sesama single-fighter, paha dibarter. Menjajal masihkah kejut listrik terasa menggelitik. Kerling mata menggoda, kirimkan signal asmara. Sedang segolongan separuh baya –yang seringkali merasa lebih membumi dan bijaksana−, berlanjut dengan bincang-bincang keakuan, basa-basi akut dibumbui puja-puji bau kecut. Dari jaman Majapahit, hingga era reformasi yang morat-marit, obrolan tak pernah berubah dari seputar pohon keluarga yang bercabang hingga manca negara. Tak lupa harapan diselipkan, pada cabang yang berpotensi teruskan tahta demi keutuhan harta.
Aku terus sibuk mentertawai kericuhan yang terjadi dalam dada mereka. Pada hati yang bersimbah darah, namun mulut bergincu merah tertawa merekah. Hati yang tak henti mengutuk, namun mulut berlumur pulut. Hati yang tak jemu mengeluh, namun mulut masih bicara jumawa.
Dan kalian terus iri, mengapa aku yang dilaknat, justru dikaruniai berkat. Mampu melihat ke dalam hati yang pekat. Gunung Lawu hingga pepunden keramat. Sejauh itu kalian datang kepadaku memohon ajimat. Padahal, sekedar melihat hati, cukuplah dengar apa kata nurani. Jangan hanya andalkan retina. Yang terpicing saat bilal berteriak melengking. Dan tak jengah silap oleh kulit gemerlap.
O, mendadak harus kubungkam mulutku. Bergegas sembunyikan dua taring kuning yang berujung melengkung. Seorang malaikat kerdil berdiri tepat di bawah jubahku, dekil namun seharum kembang kanthil. Matanya sebulat wajahnya itu. Kedua pipinya membukit, hingga menciptakan ceruk di bagian mulut. Rambut pendeknya bergulung-gulung yang pasti sulit bagi sisir untuk mengatur. Dia menatapku entah iba, terpana, ataukah terpesona.
“Kau mau?”
Tawaran itu datang bersama sodoran roti yang lebih besar dari telapak tangannya. Aku menggeleng dan berdesis…sshh…sshh… bermaksud mengusirnya pergi. Menghalau seorang balita, tentu tak seperti kudeta yang menggulingkan raja.
“Mau?”
Kali ini tawarannya beriring kepalan tangan. Sesuatu bersembunyi dalam genggaman mungil. Aku terhasut untuk melirik. Berlagak pilon seperti seorang clown. Berpura tak mengerti hingga ia membukanya dengan segera. Dan berhamburanlah kembang gula bulat pipih berwarna-warni. O indahnya pelangi itu ! Mejikuhibiniu ! Dia pun tertawa melihatku berdecak dan menelan ludah.
Sebutir jatuh meluncur. Seketika aku merasa mujur. Dan bersiap menyambutnya dengan tangan sigap terulur. Namun sesaat tubuhku menegang. Membeku sekeras gunung es yang garang. Seberkas sinar adalah penyebabnya. Muncul dari balik kerah bajunya. Yang sembunyikan bandul bersepuh logam mulia. Berlafaz sebuah asmallah yang kusembah.
“Cepat!“ Kata si malaikat tak bersayap.
“Sejenak lagi kendaraanmu kan bertolak. Cepat pergilah! Tinggalkan sudut itu, atau dia selamanya akan menjadi perangkap yang menahanmu di antara dua dimensi, hingga tiba kiamat nanti”
Aku tidak terkejut melihatnya bicara tanpa mulut terbuka. Karena suara hatinyalah yang kudengar saja.
“Sayaaang… mengapa berdiri mematung di situ? Apa yang kau lihat, Nak? Ma lelah mencarimu kemana-mana !”
Seorang wanita dewasa yang berwajah serupa dirinya, datang menegur. Kemudian terisak dengan nasehat yang panjang mulur. Mendekap sang malaikat dengan erat. Entah melepas beban khawatir, ataukah salurkan tenaga dewi Kunthi, ketika disadari wajah sang malaikat pucat pasi.
”Kasihan dia, Ma ! Dia terperangkap di sudut itu !”
”Sudut itu ?”
Ma yang berhati penuh khawatir, dan benaknya tak jenak berpikir, menatap bingung pada sudut yang diarahkan telunjuk. Hanya sebuah pohon plastik penghias ruangan saja. Begitu kata batinnya.
“Ayo, jauhilah sudut ! Itu tempat bagi para pengecut…”
■■■
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H