...
Bertabir misteri, nyata sembunyikan banyak rahasia yang siap menyambut jejiwa penuh rasa ingin tahu, para petualang, penjelajah yang haus tantangan. Rimba itu, wajah angkernya tak berbasa-basi, tegas menantang: Oi, mari lihat, seberapa besar nyalimu sanggup teruji dan bertahan di sini!
Ya, baru memasuki lembahnya sesaat lalupun, sudah begitu seramnya, tak salah deskripsi Wiki. Dataran yang menjadi wadah keanekaragaman hayati, liar tak tersentuh, menghampar megah di bawah kaki gunung yang perkasa, Giriomote. Namun wajah seram itu mengikis seiring langkahku menembus jantung rimba, yang ditampilkannya hanya pemandangan surgawi serupa gegambar Getty.
Augh, andai bisa kubawa perangkat digital canggih, minimal sebuah telepon pintar, pasti sudah kuabadikan bermacam keunikan tiada banding dan mustahil dijumpai pada hutan-hutan modern yang hanya dihuni pepohon homogen, sawit terutamanya. Tapi apa mau dikata, gadget dan sejenisnya itu bukanlah visa penjamin kemerdekaan merambah kerajaan hijau ini. Itu syarat pertama.
Awalnya aku tak percaya. Masa sih sekedar smartphone pun tak boleh? Dan inilah aku, keturunan Adam yang mewarisi sifat mudah tergoda. Tapi sesuara itu gencar sekali menghasutku agar menyembunyikan Olympus, kamera mini super-high 4K resolusi, diantara bekal makanan. Dan apeslah aku, setibanya di desa terakhir yang menjadi penghubung langsung rimba itu, aku sempat ditawan salah seorang tetua desanya. Wajahnya sama tak ramahnya dengan petugas bersenjata X-Ray yang petentang-petenteng di bandara ataupun di mal-mal super. Yang berbeda, ia menggeledahku dengan cara melepas ikatan lima ajudannya, mahluk berkaki empat yang bertampang aneh. Sesaat tali kekangnya terurai, seketika itu juga lima pasang kaki melesat, berlari memburuku. Hidung kawanan itu mungkin telah tertanam chip yang bisa segera memindai barang haram di dalam ranselku. Aku bergidik ngeri, hingga sesuara bising itu riuh berbisik menggelitik telinga sensitifku.
“Jangan takut, Bodoh! Mereka takkan menggigitmu. Gigi gerigi mereka itu spesialis rumput,” suara itu berkata diantara sesuara bising yang selalu berebut ingin bicara. Biasanya yang kerap bicara dengan nada tegas sok memerintah adalah Jie-Qarin. Ialah yang terdominan di antara marga Qarin.
Aku bernafas lega namun bercampur kesal. “Ini salahmu, Jie, kau yang menyuruhku membawa kamera mini itu! Oh, Olympus-ku yang malang.”
“Menyarankan alias memberi alternatif. Bukan menyuruh. Cobalah untuk membedakan ya? Dan benahi kosakatamu itu!” suara kedua menyerobot ruang di kepalaku.
Aku mencibir. Suara sumir yang tak pernah kehabisan bahan ejekan itu adalah Row-Qarin. Bersama saudara kembar Siam-nya –Lou-Qarin, Patt-Qarin dan si bungsu Mo-Qarin– mereka adalah gerombolan berisik yang memusingkan kepala.
“Kalian bisa diam tidak?! Dasar mahluk jelek aneh! Mulutmu bau jamban sedunia!” kubalas ejekannya sekencang mungkin. Memangnya, hanya mereka yang bisa histeris?
Walau menyebalkan, kuakui Qarin bersaudara itu berkata benar. Piaraan si kakek gembala memang tak nampak seagresif para pemangsa. Kawanan bertanduk itu hanya berdiri memutariku. Congor hidungnya tak henti mengendus ke arahku. Endus, endus, endus.Kemudian mereka serempak riuh mengembik kacau sebagai tanda telah ditemukan targetnya. Mbek, mbek, mbeekk...