[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="[google"]"][/caption]
Renata tak pernah bertemu dengan Tuah. Tidak semenit, tidak sedetik, tidak sama sekali. Nama Tuah dikenalnya karena setiap pagi –tanpa bisa dihindari– ia dicekoki dengan cerita-cerita tentang Tuah dari Musripah yang bekerja mencuci-mensterika di rumahnya. Dan tak satupun ceritanya itu yang menggambarkan hal-hal biasa, normal, indah, atau bahkan kelucuan yang menimba tawa. Tidak satupun. Semua ceritanya melulu horror dan hal-hal yang tidak masuk dalam akal sehat. Renata bahkan sudah lama memutuskan sendiri bila anak sulung Musripah, si Tuah itu tak pantas hanya dengan sebutan najis dan bajingan, harus ada kata psycho di belakangnya. Tentu ia tak sebutkan di depan Musripah, walau Renata sangat yakin perempuan Bekasi asli yang akrab dipanggil mpok itu takkan keberatan dengan julukan untuk anak yang –diakui oleh Musripah sendiri– amat sangat dibencinya.
“Dosanya sudah sangat jauh, jauh, melampaui dosa si Malin Kundang,” si mpok mengawali curahan hatinya pagi ini, lagi-lagi menjadi host atasi kisah kehidupannya yang telah dijalani sejak lama. Dan seperti telah terjadi selama dua tahun ini, Renata pun telah menjadi pendengar setianya. Mau bagaimana lagi? Daripada melamun sendiri? Sebab hanya Musripah saja teman Renata sejak pagi hingga tengah hari nanti.
“Lalu apa katanya, Mpok?” Renata berusaha menarik nafas panjang, dadanya sudah mulai sesak bahkan ketika layar baru dibuka dan prolog belum sampai satu alinea. Perlahan-lahan ia memiringkan badan, menghadap Musripah yang sedang menyetrika di lantai bersebelahan dengan kasurnya.
“Mustahil! Mak ini bodoh atau tololkah? Silahkan saja mak mau mengutukku, sejuta kalipun takkan mempan karena mak bukan ibu kandungku! Lagipula si Malin itukan hanya kisah isapan jempol semata,” si mpok menyembur sementara tangannya sigap menyemprotkan cairan wangi ke atas pakaian. “lalu Tuah tertawa terbahak-bahak, dan sempat-sempatnya saat keluar rumah ia menendang adiknya, Mashudi yang sedang tengkurap di lantai mengerjakan pe-er sekolah. Begitu deh, Nyah.”
Menurut cerita Musripah yang sudah sangat dihapal Renata, perilaku binatang si Tuah muncul ditengarai saat dirinya tahu bukan anak kandung pasangan Musripah dan Muhemin. Kekecewaan bertambah ketika gurunya semasa SMP mempermalukannya di depan kelas. Lalai memangkas rambut seperti telah diperintahkan, rambut Tuah lalu dicukur asal oleh sang guru. Sejak itu Tuah berhenti sekolah dan perilakunya pun total berubah.
“Ibu kandung si Tuah masih ipar saya. Pernah saya tawarkan si Tuah barangkali berhasrat kembali kepada ibu kandungnya, tanpa merasa perlu mendengar pendapat Tuah, ipar saya itu serta-merta menolak menerima anaknya sendiri dengan alasan tak sanggup! Saban hari mabuk, saban hari ngamuk!” Musripah terlihat menyusun baju hasil disterika dalam keranjang.
Renata ingat bagian cerita tentang Tuah dan mirasnya. Miras oplosan buatan Koh Aleng yang diracik secara sembunyi-sembunyi di halaman belakang bengkelnya, bagaikan air bening biasa bagi si Tuah. Uang hasilnya menyopir angkot habis untuk cairan ganas itu dan berjudi kecil-kecilan dengan bandar si Koh juga. Tak sepeserpun singgah di tangan Musripah. Tak pernah. Justru si Tuahlah yang selalu merongrong keuangan keluarga. Rumah Musripah kosong melompong, perabot yang ada hanya lemari baju dan televisi mungil pemberian kerabatnya. Perabot dapur pun semua terbuat dari plastic yang dibeli Musripah dari tukang perabot keliling, sebagian berharga sepuluh ribu dapat tiga barang. Tuah telah menghancurkan sebagian besar barang dalam fase kemarahannya yang tak pernah tertebak. Kapanpun keinginannya tak terpenuhi. Kapanpun kepalanya menuntut miras, rokok, dan uang.
“Kamarnya bau bukan main, Nyah. Saya berhenti membenahi sejak disiram sisa air di botol oleh si Tuah. Entah air apa itu. Baunya sulit dibedakan antara bir ataukah air seni. Saya hanya berani buka jendela saat dia tak sedang di rumah.”
Sekop? Untuk apa sekop? Kening Renata berkerut, setahunya Pala Mastro Pizza, adalah sekop bermulut lebar, tipis tapi kuat karena stainless, gagangnya panjang supaya dapat merogoh pies dari dalam tungku tradisional Italia. Tapi buat apa barang semacam itu Tuah curi? Bodoh atau…
“Orang paling bodoh, orang paling keras kepala, ya si Tuah itu, Nyah. Susah-susah saya memohon kepada Om Bram Manado, tetangga saya yang manager restoran pizza. Tapi baru sehari kerja di sana, si Tuah sudah kabur dengan membawa sekop yang aneh! Yang lebih mengesalkan ketika alasannya mencuri tak lain hanya untuk menggebuk saya, maknya!”
Lalu Musripah menggulung celananya, mulai pangkal paha hingga mata kaki, nampak biru lebam yang mengerikan. Bajunya disingkap nampaklah biru menghitam di punggung dan panggul. Lengannya dinaikkan, noda serupa hadir juga di sana. Renata bergidik melihatnya.
“Ini tak seberapa, Nyah. Masrani anak saya yang kedua, dihajar babak belur karena menolak motornya dipinjam. Suami saya yang hendak melerai malah mau disabet golok! Benar kan, motor itupun tak kembali, katanya hilang entah dijual, padahal motor belum lunas dicicil oleh Masrani.”
Renata menelan ludah. Diam-diam memperhatikan wajah Musripah secara seksama. Terbayang kekejaman demi kekejaman yang dilakukan si Tuah. Dan betapa tabahnya ia menghadapi semua coba itu. Walaupun sangat ingin membantu, namun kemudian Renata menyadari bila satu-satunya bantuan yang dapat diberikannya hanyalah menjadi pendengar yang baik.
“Tiap malam dia selalu bawa pulang perempuan, saya malu sama tetangga, Nyah. Malu! Bapaknya lantas menyuruh dia kawin. Tapi Nyah, nyah, duh, duh,” Musripah tak lagi mengelus dadanya, tapi dipukul-pukulnya dada itu. “Mana ada Nyah, malem pertama penganten pada ribut, berantem, jadi tontonan tetangga, cuman gara-gara si Tuah cemburu. Rosi, bini barunya itu, diseret, dijambak, digebukin, kalau tak segera dihalang mau dilemparnya dengan meja! Kasur dia cabik-cabik dengan sabit. Kamar pengantin sudah serupa dengan pabrik pemintalan kapuk! Setelah itu kamar dia kunci hingga pagi. Saya iba dan tak tahu mau letak dimana muka saya di depan besan.”
Tidakkah dia ingat, istrinya tengah hamil muda? Renata membatin, lagi-lagi berusaha mengubah posisi tidur, walau sulit dan sakit tak terkira.
“Si Tuah mana punya ingatan, Nyah. Kalau ada sedikit saja ingatan dalam otaknya, dia takkan segebleg itu!”
Sakit. Sudah pasti itu orang sakit jiwa. “Seandainya, mantan pacar istri Tuah itu tidak diundang ya, Mpok?” Renata berandai sekedarnya, karena tak ingin mengantuk mendengar cerita itu-itu saja.
“Dia sendiri kok yang meminta, Nyah! Saya saksinya! Dengan alasan, biarin tau rasa pacarnya udah gua rebut! Udah jadi bini gua! Gua menang! Begitu katanya, Nyah…,” terang Musripah berapi-api.
Renata memang belum pernah sekalipun bertemu dengan si Tuah itu. Dan sejujurnya, sama sekali tak ingin bertatap wajah. Membayangkan perilakunya saja sudah membuatnya takut. Lagipula, mau bertemu macam mana, bila kamar dan ruang tengah saja yang mampu ia tuju.Itupun dengan segala daya, lebih seringnya suami Renatalah yang menggendong dan memindahkannya dari berbagai tempat. Sebelum dan sesudah pulang dari bekerja.
“Belum setahun, anak istri dipulangin ke rumah orang tuanya. Saya ngenes ngeliatnya. Boro-boro susu, baju bayi, tak ada apapun dia bekalkan! Saya kan malu, Nyah, makanya kemarin itu saya pinjem uang sama nyonyah, ya itu buat nyangoni si Rosi.”
Kadang tak habis pikir, mengapa masih saja ada perempuan jaman digital yang mau menceburkan diri dalam kesulitan tak masuk akal. Tapi Renata lekas menyadari bahwasanya di negeri ini perempuan macam Rosi sesungguhnya masih banyak. Mungkin tidak di ibukota, tapi di pelosok-pelosok, di pinggiran kota, yang mana keseharian mereka hanya dibuai dongeng sinetron dengan kemewahan yang membutakan, tumpahan air mata kepalsuan, dan kisah-kisah rekaan yang kian menenggelamkan dalam belanga kebodohan.
“Pastilah ada hikmah dibalik semua cobaan ini, ya mungkin semacam ladang ibadah kalau mpok bisa menjalaninya dengan sabar, tabah, tawakkal dan ikhlas,” Renata berkata perlahan dengan sedikit sesal karena sadar bila nasehatnya sangat berbau kemunafikan. Adakah ia sendiri telah berlaku sabar, tabah, tawakkal dan ikhlas dengan semua ketidakberdayaan ini? Tak dapat menjalani fungsinya sebagai anak, kakak, istri, menantu dan ibu. Bertahun sudah menjadi beban bagi semua orang, terutama keluarganya.
“Kalau ini cobaan, mengapa lama nian ini berlangsung, ya, Nyah? Saya kan manusia biasa, sabar dan tabah yang saya miliki terbatas, Nyah. Saya takut kelakuan si Tuah berimbas pada masa depan dua anak saya yang lain.”
Mungkin Tuhan belum berkehendak membuka hati si Tuah. Seperti Ia juga belum ridha atas sukmaku, batin Renata merenung.
“Konon ada cara untuk menyembuhkan si Tuah itu, Nyah,” secara mengejutkan Musripah berwacana.
Renata menduga-duga cara itu datangnya dari orang-orang pintar, pemuka agama yang berkaramah, tapi yang jelas bukan dari dokter walaupun lulusan cum laude dari universitas luar negeri bergengsi.
“Tetangga saya anaknya mirip-mirip dengan si Tuah itu. Nyonyah tahu sembuhnya bagaimana?” Musripah menghentikan laju setrikanya, menatap Renata dengan rona serius berbalut misterius.
Manalah kutahu, Mpok? Renata meraba dadanya yang mendadak berkernyit, sakit sekali. Sudah tibakah waktuku? Renata mengawasi sudut-sudut plafon di atasnya. Sekilas tampak cahaya. Tapi entah apa. Karena lekas benar perginya.
“Begini, Nyah. Tanpa sepengetahuan anaknya, tetangga saya itu telah menampung air bekas mandi jenasah yang wafat pada hari Jumat Kliwon. Sudah banyak yang tahu kalau air itu sangatlah bertuah. Makanya dia bela-belain, Nyah. Dan ajaib! Setelah mandi air itu, tak sampai esok hari anaknya berubah total. Seperti dilahirkan kembali,” Musripah mengangkat pantatnya. Menjenguk Renata yang telentang diam takmenanggapi cerita ajaibnya.
Air bekas pemandian jenasah? Wafat Jumat Kliwon? Renata nanar menelusuri langit-langit rumahnya. Seekor cicak berlari ketakutan saat sekelebat cahaya kembali melintas.
“Nyah, nyah,” Musripah kini bersimpuh di samping pembaringan Renata. “Saya mohon, tolonglah saya, Nyah. Saya tahu nyonyah orang baik, tidak pernah mencela kerjaan saya. Selalu meminjami saya uang padahal hutang-hutang terdahulu pun belum lunas. Tak pernah membicarakan orang lain bahkan selalu mengingatkan saya. Tolonglah saya, Nyah…”
Wahai Musripah, apakah yang bisa kutolong sedang nafasku mulai satu-satu? Tidakkah kau lihat cahaya suci itu? Wahai Musripah mengapa tak kau bimbing aku mengeja asma-Nya. Anak-anak bersekolah. Suami tengah bekerja. Hanya kau, wahai sahaya, yang kuharap dapat mendampingi masa akhirku…
“Nyah, Nyonyah dengar saya kan? Ini hari masih pagi Nyah, Jumat Kliwon pula. Maafkan saya, tapi nyonyah paham maksud saya kan? Saya mohon dengan amat sangat, tolonglah saya, Nyah. Nyonyah sudah lama terbaring, tidakkah nyonyah lelah? Nyonyah pasti lelah. Bukankah nyonyah selalu mengeluh karena telah lama membebani keluarga? Tidakkah nyonyah berharap pulang ke rumah-Nya di hari agung ini? Nyonyah akan mulia, khusnul khatimah, karena disembahyangkan oleh jamaah shalat Jumat. Lebih dari empatpuluh jamaah, maka nyonyah akan dijamin surga olehNya.”
Mata Renata rapat terpejam. Sedang sebaris senyum hadir di bibir keringnya. Adakah karena telinganya menangkap ‘tausiah’ Musripah? Tentu bukan karena sempat melihat cicak yang tunggang-langgang dihalau sekilas cahaya lalu tergelincir dan jatuh tepat di atas kepalanya. Mungkin karena cahaya itu. Entahlah karena apa, tak sesiapa tahu. Namun tubuh ringkih itu masih hangat saat kepalanya jatuh terkulai ke pundak sebelah kanannya. Dan tangannya tinggal di atas dada tanpa detak nadi berirama.
-o0o-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H