[image:123RF_stockphotofree]
~.~
“I am not a bad guy. Aku bukan orang jahat!” tegasnya mencoba meyakinkan.
Bad or not bad, apa peduliku, Mister? batinku mecucu. Lantas apa namanya kebetulan saja kalau sejak warung makanan halal hingga GMB (Green Minibus) yang kutumpangi berhenti di stasiun Sai Kung, mister masih saja menempel kemanapun kupergi yang tanpa arah tujuan pasti ini.
“Mereka adalah bagian dari komplotan triad yang kerap menculik turis-turis berkantung tipis, pekerja asing illegal atau legal tapi kabur dari majikannya untuk kemudian dijadikan prostitusi. Yang pria direkrut untuk menjadi bagian dari organisasi kejahatan mereka. Biasanya untuk posisi kurir di bawah ancaman dan pengintaian sesama anggotanya. You must be careful.”
“Tapi, kurasa anda juga bagian daripadanya,” cetusku dalam bahasa inggris yang sudah pasti kacau grammar dan pronounciation-nya.
Si bule nampak terkejut mendengar tanggapanku. Mungkin dikiranya aku akan berucap terima kasih atau apa.
“Bagaimana anda tahu saya terlibat dalam bisnis mafia?” dia balik bertanya dengan senyum penuh arti. Keadaan menjadi berubah terbalik, kini aku yang dibuatnya terkejut.
“Sebab biasanya sesama mafia bisa saling mengenali dengan mudah,” jawabku tak kurang akal. Tapi sumpah, aku sendiri tidak tahu darimana jawaban semacam itu cepat kuperoleh.
“Apa yang anda lakukan di Hong Kong? Anda tidak nampak seperti turis!”
“Maksud anda karena saya tidak menggendong ransel dan menenteng kamera begitu?”
Dia tersenyum saja. Sedikit menggelengkan kepala, kalau kutak salah lihat. Sebab aku jengah menatapnya lama-lama. Takut kepelet.
“Anda pasti pekerja asing yang tengah tersesat ya?”
“Dan anda pasti seorang detektif swasta!” tukasku cepat, sedikit menyengat.
“Kurasa aku tak pantas mendapatkan semua kesinisan ini. Waa, dimana ucapan terima kasih yang seharusnya menjadi hak saya, ya?” kata si bule lagi, nadanya ngedumel seolah menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu baik hati.
Aku diam. Dalam hati ngedumel juga, mengapa bule ini masih saja mengekori. Tak salah lagi, dia pasti salah satu anggota triad itu, batinku mantap menuduh.
Sebelum obrolan itu semakin melebar, aku segera melompat ke dalam bus yang pertama datang. No 75, entah itu jurusan mana, aku hanya perlu tiba di halte berikutnya demi menghindari segerombol pria bertato naga yang ekornya menggulung bola dunia. Juga si bule yang dengan menyesal harus kukatakan sangat menyebalkan, andaipun kutahu niatnya tulus menolongku. Sebab dari semboyan bule yang kuserap dari filem-filemnya adalah don’t talk to strangers, tapi mengapa bule yang satu ini seperti tak kehabisan bahan pertanyaan? Tak mungkin dia tertarik denganku, kan? Walaupun itu bisa saja terjadi, dengan tak memungkiri banyak pihak yang kerap mengatakan selera bule terkadang aneh bin ajaib. Di ibukota Nusantara bahkan sering terlihat bule-bule ganteng menggandeng wanita yang berpenampilan biasa-biasa saja. Wah, aku jadi ingat dengan nyonya Ilyas yang pernah berkata, “Heran, bule-bule di ibukota apa pada ngga punya selera ya? Perempuan-perempuan bertampang pembantu kok ya dipacari?” Saat itu aku yang kebetulan menemaninya belanja di mall, reflek bercermin pada kaca etalase toko yang besar dan bersih kinclong. Seperti apakah tampang pembantu itu? Seperti aku? Mana yang salah dari tampangku? Semuanya terlihat baik-baik saja. Normal tanpa cacat, kecuali pigmen yang mungkin berlebih dibanding para bendara agung yang kulitnya kuning bening sejak jebrol lahir ataupula karena hasil lulur setiap waktu. Tapi apa yang salah dengan kulit hitamku? Yang penting kan tidak kurapan. Mak tidak mungkin bohong setiap kali memujiku hitam manis.
Tersesat di Hong Kong ternyata tak seseram yang kubayangkan. Bingung jelas ada, siapa sih yang tidak akan bingung bila sendirian di tengah keramaian sebuah negeri asing. Soal keramaian itu, sungguh aku heran, manusia kok banyak betul di sini? Jauh berbeda dengan kampung halamanku yang sunyi sepi dengan hamparan lahan sawah yang nyaris tak bertepi. Di Hong Kong tak sepetak sawahpun pernah kulihat. Sejauh mata memandang hanya nampak gedung-gedung saja. Kendaraan beroda seperti tak ada habisnya. Wang-weng pating sliwer, ngang-ngeng pating gembrengeng.
Secara mengejutkan, ketakutan yang seharusnya timbul, entah bagaimana otomatis dapat diminimalisir. Bahkan untuk pertama kalinya aku enjoy menikmati bunyian yang dihasilkan Octopus Card setiap berganti bus atau MRT. Dengan kartu pintar itu aku bahkan bisa berbelanja makanan dan minuman ringan sekedar pengganjal perut. Dan tak perlu khawatir untuk mengisi ulang, karena Circle-K dan mart-mart penyedia jasa itu tersebar dimana-mana. Rasa-rasanya tak mungkinlah putranya pak Wie sudah tahu aku bakalan tersesat sehingga beliau dengan enteng menyuruhku ambil kartu ini di sini, ambil uang cash di sini, bawalah semua ID dan berpesan macam-macam lagi. Tapi bagaimana keajaiban ini bisa terjadi? Kadang sulit memikirkan kebetulan yang jarang sekali terjadi di dunia ini. Tapi aku sangat yakin, ini pasti campur tanganing Gusti Allah yang kasihNya tak pernah putus untukku. Mak dan bapak di langit atas sana, pasti senang melihat doanya tak sia-sia.
Kekhawatiranku baru muncul setelah hari mulai gelap. Oh, tanpa sadar aku sudah, dimana ini? Tadinya kupikir aku masih di sekitaran Kowloon Tong? Belum ah, belum sampai menyeberang pulau apalagi sampai ke Lantau Island, pulau yang pertama kali kuinjak karena disitulah tempatnya Hong Kong International Airport. Tapi dimanakah tepatnya aku?
MRT kali ini berhenti di stasiun Central, setelah keluar di Exit J2, tak jauh disana kulihat Charter Garden. Ya, aku tergoda untuk naik The Peak Tram, kereta kabel sepanjang satu setengah kiloan meter. Namun godaan itu nampaknya tidak terlalu kuat.
“Jadi naik tidak, Non?” seseorang yang mengantri di belakangku menegur.
Sambil prengas-prenges menahan malu, akhirnya aku mundur, batal mengukur kabel baja dan menantang adrenalin. Laluku bergegas mencari bala bantuan saat ingatan tentang oma dan opa mendadak terlintas. Aku harus secepatnya menemukan rumah sakit itu. Pasti ada alasan penting mengapa putranya pak Wie sampai menyuruhku datang ke rumah sakit.
Harus diakui, Hong Kong memang menakjubkan. Kalau di ibukota Nusantara, tanya alamat pasti disasar-sasarin, masih untung bila dikasih tahu, seringnya malah dijawab acuh sambil lalu. Sekarang bahkan lebih menjengkelkan, setiap tanya alamat pasti dijawab, ”Kasih tau nggak ya ?”
Tapi di negeri elite ini, tak sulit mencari bantuan informasi. Apalagi aku patuh mengikuti nasehat anak pak Wie untuk membawa kelengkapan data diri kemanapun hendak pergi. Sebab memang begitulah norma yang wajib dijalani saat menjadi warga tamu. Jadi tak perlu rendah diri berkata excuse me, pardon me, pada petugas berseragam polisi.
”Having fun, Diyah ?” kepalaku tertunduk dalam-dalam mendengar pertanyaan bernada menyindir itu. Tak boleh kecil hati, sebab apapun alasannya aku tetap dalam posisi salah. Ini pelajaran yang sangat berharga buatku.
Dan sungguh tak terkiranya penyesalanku kala melihat rona bahagia di wajah opa dan oma menyambut kedatanganku. Ternyata beliau berdua telah dipindahkan dari ruang ICU. Takjub menyaksikan kebugaran pada tubuh dua lansia asuhanku itu, aku hampir saja mengira para dokter di Hong Kong adalah separuh dewa.
“Kemana saja kau? Opa dan oma sudah tak sabar ingin ketemu. Liyah-liyah saja yang dipanggil-panggilnya.” Keterangan bu Wie kusambut dengan sesenggukan. Meluap bahagiaku menyadari betapa besar kasih sayang opa dan oma kepadaku. Engatase babu, kok ngene le’ dielu-elu…
“Liyah sudah puas-ha, keliling-keliling Hong Kong? Besok pulang jangan lupa bikin bubur abalone-ha?” opa bicara dengan terkekeh-kekeh seperti biasanya. Oma tumben tak banyak cakap, sorot matanya layu tapi sangat berbicara. Aku tak kuasa membendung lagi airmataku. Wajah mak dan bapak benar-benar melekat di wajah opa dan oma. Momen petang itu sungguh akan menjadi kenangan memilukan yang tak akan terlupakan.
Sebulan sepulangnya dari Hong Kong, opa meninggal dengan tenang dalam tidurnya. Upacara Liam Feng (pemakaman menurut ajaran Konfusius) belum juga usai, sepasang lampion putih masihpun menyala di depan rumah, namun rupanya oma yang tak ingin ditinggal sendirian, menyusul tepat di peringatan tujuh hari wafatnya sang suami tercinta. Dalam tradisi kuno, harusnya aku dimasukkan dalam rumah-rumahan kertas yang dibakar karena akulah pembantu kesayangan almarhum dan almarhumah. Aku harus lega, karena untungnya peristiwa ini terjadi di era millennia dimana keluarga besar opa dan omapun tidak semuanya menganut ajaran lama, banyak yang sudah berpindah menjadi umat kristiani dan muslim sejati.
“Terima kasih sudah merawat opa dan oma dengan baik,” itu ucapan terakhir keluarga Hendrawan Wijaya setelah akhirnya mereka memutuskan untuk imigrasi. Walau sedih tak terperi, namun aku sangat mengerti alasan mereka memindahkan jaringan bisnisnya ke Hong Kong paska tragedi Semanggi di bumi pertiwi ini. Aku ditawari ikut, tapi bagaimana dengan lek Kamidi? Karenanya aku lantas memilih opsi kedua yaitu melayani salah seorang kolega mereka yang berasal dari Negeri Ginseng, yang juga membeli restoran Halalan Toyyiban lantas mengubahnya menjadi rumah makan ala Korea dengan diberi nama sesuai nama putri sulungnya Han Soo Ra, Korean Food Art, Restaurant and Grill .
“Anyeong haseyo. Jonun irumun Diyah-yeyo,” berhari-hari kuhafal kalimat perkenalan itu. Maksud hati ingin mengesankan majikan baru, ternyata nyonya bahkan menyandang sarjana S2 bahasa Nusantara!
Keherananku terjawab karena ternyata nyonya bekerja paruh waktu sebagai dosen bahasa Korea, penerjemah di berbagai instansi pemerintah, di samping pekerjaan tetapnya di sebuah bank Korea yang berinvestasi di Nusantara ini.
Tak banyak yang dapat kuceritakan dari pengalamanku selama melayani keluarga yang sangat, sangat, santun ini. Kegiatankupun tak banyak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tapi untuk urusan dapur, aku hanya bantu-bantu saja, sebab dengan keahlian setara chef Edward Kwon pada nyonya Kim Ri Na dan suaminya tuan Han Yeon Sik, keduanya tak perlukan bantuanku. Aku seringkali tak dapat menutup mulutku melihat betapa terampil tangan pasutri itu bermain-main dengan pisau. Apa yang dilakukan seorang master chef dan selama ini hanya kulihat di televisi, kali ini kulihat semata-mata ‘live’ from their luxury kitchen!
Dan karena ketiga putra dan putrinya sudah cukup besar, tugas kepengasuhan juga tidak terlalu berat. Kuyakin di negaranya sana, mereka adalah keluarga yang kaya raya. Tapi di sini mereka tampil sangat bersahaja. Mobil hanya ada tiga. Satu buat nyonya, satu buat tuan, satunya lagi, buatku! Hahaha, ini serius, supra serius! Sebab tambahan tugasku dalam keluarga bermarga Han ini adalah sebagai sopir! Tugasku pagi dan sore mengantar jemput si sulung Han Soo Ra yang duduk di kelas tujuh, Han Soo Ae yang tahun ini naik kelas tiga, dan si bungsu Han Sang Woo yang masih betah bermain-main di kindergarten school. Ketiganya menuntut ilmu di sekolah internasional yang gedungnya nampak ceria dalam warna-warni di dindingnya. Bagus deh pokoknya. Di kampungku tak ada gedung sekolah seperti itu. Silahkan dicari sampai telisik, wes ngga bakalan nemu. Semua sekolah swasta entah itu susteran, bruderan, ataukah dari yayasan bani anshor dan muhammadiyah tak ada yang sebagus sekolahannya Han bersaudara. Apalagi sekolahan inpres! Benar-benar tak dapat dibandingkan. Njomplang mak-gedumbrang!
Sekitar dua tahunan kuhabiskan waktu menua bersama keluarga Han. Sampai akhirnya tugas dinas memberikan mereka negara baru untuk diekplorasi yakni Rusia, akupun berganti induk semang lagi. Nampaknya keberuntunganku masih belum habis, atau mak dan bapak tak kenal lelah membujuk Gusti Allah di Arsy-Nya sana. Sehingga ditunjuklah keluarga lain yang lebih fenomenal. Akan butuh banyak chapter untuk menceritakan kisah pengalaman hidupku bersama keluarga Sir Isaac Zachary Montgomery. Bersama mereka kuarungi jalan hidup yang mustahil ditemui pembantu lain.
Dari semua keluarga yang pernah kuikuti, keluarga Sir Isaac-lah yang paling tutug kulayani. Lamanya durasi itulah yang telah memberiku banyak pengalaman berharga, seru, mendebarkan dan penuh polesan haru-biru. Sungguh tak pernah kuduga bahwa hidupku akan demikian rancak dan penuh warna. Tak hanya bersinggungan dengan badan intelejen yang seketika membuatku merasa sok-diligent, tapi juga kesempatan pergi ke luar negeri walau jatahnya kelas ekonomi namun apapun tetap wajib disyukuri. Wintarti, Kustini dan si Bad di kampung pasti akan sulit percaya teman main gobag-sodornya si Diyah Cemani bisa berjalan sederajat dengan semua penumpang pesawat terbang. Dan di rumah Sir Isaac pula aku mengalami fase ‘Kala Cinta Menggoda’.
..[bersambung]..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H