Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|2

27 Desember 2012   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:57 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13566001591268707624

[image: 123RF stockphotofree]

~.~

Senyumku tersembul. Walau bukan senyum manis di bibir tipis yang bisa membuat hati taruna kembang kempis. Tapi senyum dari lambe ndomble ini dijamin sarat akan muatan kenangan yang grande! sorprendente? piacevole? bedhek’o dhewe..hehe..

Senyum yang akan muncul tanpa dipacul! Otomatis methungul saat membaca tiga baris kalimat yang mana tertulis dalam aksara hanacaraka. Waktu itu aksara hanacaraka masih lumayan punya pamor, sekarang hanya menjadi obyek kesenangan para ilmuwan negeri kasohor.

…Mangga munggaha. Lenggahe ditata. Tindak pundi tha? Menyang kutha ongkose sayuta…

Lihat. Bukan tanpa pasal kan kalau senyumku selalu tersembul membaca pantun beraksara jadul? Lek Kamidi, pamanku dari garis mak, yang telah mengukirnya asal jadi di sana. Di gagang penarik sebuah gerobag usang yang dahulu pernah menjadi tandu istimewa bagi makku. Jadi bukan pada jejaka tampan senyumku itu terkembang. Untuk saat ini belum. Mungkin masa pubertasku telat datang. Atau rendah diriku yang bukan kepalang.

Bapak memang tak mampu menyewa becak apalagi dokar yang di daerah asalku kerap disinonimkan sebagai glindhing. Mungkin karena rodanya yang menggelinding makanya disebut glindhing, namun dengan pelafalan ‘i’ yang terkontaminasi dengan ‘e’. Sehingga glindhing menjadi ‘glendheng’ tapi mulut tidak berubah njembewek. Eh, apa ya njembewek itu? Njembimblik barangkali sebutan orang wetan. Ah bingung-bingung deh…

Karenanya disulaplah perangkat yang biasa dia pakai untuk mengangkut rumput, tanah dan macam-macam barang itu menjadi kendaraan yang dapat membawa mak dengan perutnya yang waktu itu tengah hamil besar ke rumah sakit bersalin terdekat, Bethesda.

Menurut cerita mak, belum pernah dia melihat gerobag seindah dan sebersih itu. Ternyata jauh hari sebelumnya, bapak dan lek Kamidi telah menyucinya berulang kali di sungai Brangkulon. Lalu menaruhnya alas dengan menumpuk sejumlah karpet sisa dari mushola, sarung, jarit dan sprei. Tujuannya tak lain agar ‘singgasana’ mak itu empuk dan nyaman untuk duduk. Dalam bahasa mak, gerobag itu diserupakan dengan joli yang megah.

Bapak menarik ‘joli’ itu dibantu lek Kamidi yang mendorongnya dari belakang. Mereka tiba di rumah sakit Bethesda tepat ketika mak sudah mencapai tahap dilatasi leher rahim atau pembukaan lima. Beberapa menit berselang, lahirlah aku dengan tangis yang membahana. Bidan yang menolong persalinan mak seketika memuji si jabang bayi yang disebutnya anak berbakti karena mempermudah semua proses eutosia-nya.

Mak, dengan persetujuan bapak, lalu memutuskan memberiku nama sesuai  nama bidan yang baik hati itu. Klaudia. Mungkin karena itu pula, ia lantas menjadi kunci dari seluruh pergerakan hidupku.

Kupikir itulah awal keterkaitanku dengan bu bidan, namun ternyata jauh sebelumnya mak sudah memiliki ikatan yang kuat dengannya. Bapak adalah petani penggarap bagi lahan yang dimiliki keluarga bu bidan. Lekku Kamidi adalah sopir bagi suami bu bidan yang berprofesi sebagai juragan batik. Sementara mak, ia selalu siap dipanggil kapan saja untuk kerja mencuci dan mensetrika.

Hubungan unik itu berlangsung sangat dekat. Terlepas dari keyakinan yang berbeda. Padahal kami tinggal di desa kecil dengan ibukota yang berjejuluk kota seribu santri. Namun luar biasanya, makku yang lugu lagi sederhana itu, selalu berprinsip cintailah sesama apapun latar belakang dan keyakinannya. Itu sebabnya setiap tahun dua keluarga tak pernah mengabaikan tradisi weh-wehan pada hari raya masing-masing.

Aku masih ingat isi rantangan yang kukirim ke rumah bu bidan yang merayakan natalan. Demikian juga orang suruhan bu bidan yang selalu datang mengantar berbagai macam bahan makanan untuk keperluan lebaran dan masih akan mengirim buah-buahan segar serta senampi hidangan lezat tepat sepulangnya kami dari shalat di lapangan.

Dan surat sakti dari bu bidan pula, sebab aku diterima bekerja di sebuah salon milik adik suaminya. Itu satu-satunya salon di kecamatan Srinahan. Megah sesuai masanya. Waktu itu awal tahun sembilanpuluhan. Aku tengah berada dalam fase serba tanggung. Remaja bukan. Dewasapun belum. Tapi mak sudah bolak-balik mengunjungi kantor kelurahan. Yang membuat penasaran, mak hanya tersenyum setiap kali kutanya urusannya. Sempat kuberpikir, jangan-jangan aku mau dikawinkan? Benar, ibu-ibu yang mempunyai anak gadis seumuranku pasti sudah tak sabar mantu, nanggap wayang kulit dengan tetabuhan kebo giro sambil matanya berkaca-kaca melihat putrinya bersanding di pelaminan. Namun ternyata makku bukan seperti ibu-ibu itu. Walau hanya sempat mengecap kelas dua Sekolah Rakyat, makku adalah seseorang yang berpikiran lebih terbuka untuk perempuan di zamannya. E-eh jebulane, makku pergi ke kantor kelurahan untuk mengurusi kartu tanda penduduk atas namaku.

“Bentangkan sayapmu selebar yang kau mampu, Nduk. Ketahuilah, ada dunia lain di luar desa kecilmu ini,” demikian alasan mak mengapa ia tak tertarik mencarikanku jodoh seperti yang dilakukan maknya si Kustini, Wintarti, dan Badriyah. Mereka, teman-teman sepermainanku yang telah diiket pemuda sementara usianya masih sepantaran denganku. Baru menginjak tujuhbelas.

Adalah Bernardus Maximilian Tambayong. Nama lengkap yang tertera di ijasah berpigura yang melekat di dinding. Sengaja dipajang oleh si pemilik salon kecantikan ‘Beauty Bertie’. Lelaki yang lebih gembira dipanggil kak Bertie. Dan tak segan menunjukkan kebenciannya dengan panggilan ‘Bertje’ yang dilafalkan menjadi ‘Berce’.

Aku tak terlalu mempersoalkan tangannya yang lebih gemulai daripadaku. Atau cara berjalannya yang melenggok kemayu. Eh, ataukah sesungguhnya aku peduli karena telah membahas dirinya dengan ‘keunikan’ seperti itu? Tidak. Tidak. Kalau aku peduli, maka dia tak akan menjadi pria pertama yang ku…cium! Pipinya tentu saja.

Kecupan tulus itu kubarengi dengan pelukan hangat di akhir masa kerjaku yang genap dua tahun. Sungguh, itupun sejatinya sangat tidak sepadan dengan ilmu yang telah dia berikan dengan tanpa pungutan apalagi potongan gaji. Sehingga tanpa pendidikan formal, aku merasa pantas mendapatkan sertifikat kelulusan dengan keahlian di bidang tata kecantikan rambut, kulit dan tata rias wajah. Aku bisa melakukan semua yang dilakukan karyawan salon berijasah dengan nilai kerja yang memuaskan kak Bertie. Padahal, awalku diterima bekerja hanya sekedar untuk meronce cemara dan melakukan kegiatan bersih-bersih saja.

Sayangnya aku tak berminat menekuni keahlian semacam itu. Terlalu banyak hal yang bertentangan dengan nasehat mak. Dari soal menghitamkan rambut yang katanya pamali, sampai keintiman kak Bertie dengan salah satu karyawan prianya yang membuatku sedih tak terkira. Bukan karena aku memendam rasa pada kak Bertie. Sama sekali tak ada hal seperti itu. Aku bahkan belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Hanya saja, semakin dipikirkan, menurutku tak seharusnya orang sebaik kak Bertie, pria selembut dirinya itu dibiarkan tergiring menuju murka Tuhan. Tapi bisaku apa?

“Aku percaya Tuhan kita satu, Di,” dia memanggilku Audi. Panggilan tercantik yang pernah dan akan selamanya kusuka. “Kuhargai perhatianmu. Aku tahu itu datangnya dari ketulusan hatimu. Tapi kau masih terlampau belia. Kau mungkin belum tahu setiap manusia akan mencari bentuk kebahagiaannya dengan caranya masing-masing.”

Sampai di sini, aku masih bingung mendengar penuturannya. Dan bertambah tak pasti dengan penjelasannya lebih lanjut, ”Menurut makmu, jalanku ini salah. Tapi menurutku, tak masalah sebab aku akan bertanggung jawab sendiri atas segala keputusanku. Bahkan kak Noni pun sampai hari ini masih tidak bisa menerima keputusanku.” Kak Noni yang dimaksudnya adalah bu bidan Klaudia, kakak iparnya.

Bukan karena berseberangan paham lantas aku keluar dari salon. Kak Bertie mengenalkanku pada salah seorang pelanggannya yang tengah membutuhkan seorang pekerja, dan konon masih bersaudara dengannya. Lama kuberpikir sebelum akhirnya kesanggupanku didorong hingga batasannya ketika bapak menyusul mak yang sepekan sebelumnya wafat duluan. Hiks.

Usai masa berkabungku dapat ditoleransi, tanpa menimbang lagi, kutinggalkan desa sunyi. Singgah sejenak di kecamatan berpamitan pada kak Bertie yang menangis sesenggukan untuk pertama kali, lalu menuju kota diantar lek Kamidi. Dari sinilah karirku sebagai pembantu rumah tangga diawali...

..[bersambung]..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun