[sumber gambar: 1x]
Yang Ung sudah sangat sepuh. Delapanpuluh, seratus, entahlah tak jelas berapa tepatnya usia Yang Ung. Mustahil menanyakannya pada seseorang. Karena kawan seumurannya sudah lama tilar donya. Dan satu-satunya anak, yaitu bapakku sudah pergi lebih dulu menuju alam yang konon lebih beradab dan steril dari segala virus penyakit terutama tuberculosis kronis, jalaran menakutkan tempat bapak berpulang. Aku ingin percaya, alam itu bernama surga. Walau ibu membantahnya bahwa itu neraka, karena gendul bir terakhir ditemukan di bawah kolong tempat tidur bapak. Bantahan dengan sorot kebencian, tentunya. Entah mengapa tak pernah kulihat cinta di mata sayu dari perempuan yang kupanggil ibu. Dulu, sebelum rumahnya pindah ke lahat bernisan pohon kemboja.
Bertanya kepada Yang Ti? Ah, begitu pentingkah sebuah umur, hingga aku harus menggali kuburnya? Yang Ti pasti akan marah, karena tidur panjangnya terganggu oleh pertanyaan sepele semacam itu. Jawabannya pun kupastikan sama; setali tiga gobang. “Dasar blengur! Putu siji pikirane ngawur!” kata makian yang sama pula dengan ibu, anak beranak itu rupanya sepakat untuk durhaka kepada suami, lama sebelum keduanya berpulang.
“Aja dumeh Yang’e wong ndesa kluthuk. Rikala semana, dong Yang’e esih seumuran ayam kemanggang, mada gedhe thithik ding, Yang’e wis ngode purah nyemiri sepatune ndara jendral”
Kalau mendengar pengakuannya itu, maka Yang Ung yang selalu membanggakan masa mudanya saat ngenger di Generaal Staallaan, perumahan perwira tinggi Belanda itu, maka dapat diperkirakan usianya sekarang sekitar sembilan puluhan.
Benarkah? Ayam kemanggang merupakan kata kiasan yang senada dengan kata jaka tanggung atau perawan kencur, sama-sama menggambarkan usia remaja belia. Tapi bila ditambah kata ‘mada gedhe thithik’, maka perkiraan sembilan puluh tahun menjadi terlampau tua untuk usianya. Jadi berapakah usia Yang Ung yang sebenarnya?
Ah, terserahlah mau berapa saja usianya. Yang terpenting adalah, Yang Ung, −dengan kesehatan prima dan ketajaman ingatannya yang masih tokcer− sangat menakjubkanku di usia sepuhnya yang sangat jarang ditemukan di jaman modern ini.
“Putu kuwalat kowe yah ?!” telunjuk jari tua itu mengarah kepadaku. “Yang’e ora sekti! Yang’e ora nduwe gaman sing dipendem njero nang awak. Bocah koh ya, pitakonane saru!”
Aku jadi menyesal menanyakan rahasia awet mudanya. Kemarahannya jelas menunjukkan Yang Ung benar-benar bersih dari ilmu tertentu, benda apalah, atau senjata bertuah yang dapat memberinya kasekten.
Hampir kulupa, ada satu hal yang membuatnya semakin unik dan menarik. Kau tahu, kebanyakan pria sepuh seusianya gemar bertopi bulat warna putih, warna kesucian konon katanya. Dwi fungsi yang melekat pada benda berbahan katun itulah yang barangkali menjadi magnet bagi pria kasepuhan ataupun yang masih separuh baya untuk menjadikannya sebagai asesori wajib yang membanggakan. Wibawa, ya, itu sudah barang tentu. Ditambah predikat haji tanpa harus menjual kerbau dan sawah, maka siapapun bersuka rela menaruhnya sebagai mahkota.
Maka kusebut unik, karena Yang Ung lebih memilih kopiah Sukarno, −sebutanku untuk kopiah hitam− yang berdirinya tidak lagi tegak, sedikit miring saat didudukkan di atas kepalanya. Kenapa ya? mungkin karena terlampau sering dicuci, hingga kekakuan menjadi lembek seiring berjalannya waktu. Sungguh, miring itu bukan karena kudeta latent yang menghantui ketegakkannya. Bila hujan tak membuatnya kering, maka kopiah hitam itu akan digantinya dengan peci oranye, yang diperuntukkan bagi mantan tentara jaman ORLA. Peci veteran kataku, andalan Yang Ung untuk menambah kewibawaan kala bepergian.
Keunikan yang lain adalah hobinya mengasah gaman. Yang Ung sangat tekun menambah ketajaman pada semua mata pisau dan sejenisnya yang terselip di dinding bambu; display paling mudah untuk mengambilnya, dan paling murah karena tak perlu kaca pembatas untuk menjaga penampilannya. Buat apa toh, mereka juga bukan barang niaga, hanya pisau-pisau dapur, ladhing, bendho, kudhi, golok, dan cengkrong.
“Wis meneng baen! Bocah esih umbelen, ora usah kemlakaran ngurusi urusane wong tuwa!”
“Ini bukan jaman kolonial lagi, Yang!” Aku khawatir Yang Ung mulai pikun. Mustahil mengasah benda-benda tajam itu hanya sebentuk hobi, pasti ada maksud tersembunyi.
“Yang’e urung linglung, aja kuwatir, Kulup! Landane wis merad, durak Sedulur Tuwa!”
“Lalu untuk apa segala benda tajam itu terus diasah? Tak ada perempuan yang akan memakainya untuk memasak!” tanyaku membantah. Oya, aku lupa memberi tahu tentang ibu kuwalonku yang kabur setelah tertangkap basah sedang berteduh dalam sebuah gubug di tengah kebun jagung yang rimbun. Tidak menjadi masalah, bila teman berteduhnya bukan Lek Mutong, yang tidak berbaju dan tengah menindih Mamake, begitu aku memanggilnya.
Kutimang-timang semua gaman. Kagum pada ketajamannya, nampak dari kilau yang memukau. Yang Ung pasti mengasahnya dengan sepenuh kekuatan dan kemantapan hati. Sebuah cengkrong menjadi kesayangannya. Akeh gunane, demikian alasannya. Yang Ung tidak salah, cengkrong dapat digunakan untuk membabat rumput, menyabit pepadian siap panen, merubuhkan pohon pisang dalam sekali tebas, dan masih banyak lagi manfaat yang dapat dieksploitasinya saat merambah hutan. Aku membayangkan darah yang mengucur deras dari nadi leher yang putus kala ditebas! Clashh! Duh, seperti apa ya rasanya? Aku bergidik sendiri, menyesali angan-angan ngeri yang seharusnya langsung dikebiri. Hiyyy…
“Supar mati!” teriakan itu membuyarkan lamunanku. Orang telah ramai berkerumun di depan ‘Salon Yayune Supar” saat aku melesat usai mendengar heboh beritanya di rumah. Lelaki sekemayu perempuan itu terkapar di lantai salonnya dengan leher tertebas mengenaskan! Nyaris putus! Lubang yang ditinggalkan menganga bagai kawah gunung berapi yang memuntahkan lelehan merah menyala. Namun lubang itu berisi darah beku, merah kehitaman yang memajang segala bayang kengerian.
“Kemarin Trisno, sebelumnya Si Rejeb, semuanya mati dengan cara yang sama!”
“Jangan lupa Mursiti, Da’un dan Wukito, jadi total sudah lima orang, eh enam sama si Supar ini!”
Aku diam menyimak suara-suara berdengung mirip tawon −ngang-ngung− sibuk mengabsen jumlah dan nama korban, sebab ataupun motif yang bisa dikaitkan dengan kematiannya.
Kematian, bagaimanapun caranya selalu meminta kesedihan. Walau sedikit, namun kesedihan itu pun nampak tergambar dari wajah-wajah lugu yang lekas tergugu menyaksikan raga-raga yang dipaksa bercerai dengan sukmanya.
Perlahan aku menyelinap keluar. Nafasku serasa pengap berada dalam kerumunan. Entahlah kalau ketakutan yang menjadi alasanku sebenarnya. Enam? Aku membayangkan wajah-wajah putih pias, penuh ketakutan, pasrah tak berdaya, saat bertemu muka dan berhadapan tanpa pembatas, dengan kilau-kilau yang membuat silau. Itu gambaran yang pasti untuk jeda-jeda sebelum lidah kematian memagut nadi di leher berjumlah enam tak berperisai.
Tunggu! Aku menangkap kesamaan pada enam yang tengah dibacakan yasinan. Rambut! Ya, enam itu memiliki warna rambut yang sama. Pirang.
Supar mengubah rambut ijuknya menjadi selembut rambut jagung, karena itu bentuk promosi bagi salon kecantikan yang baru dirintisnya sepulang magang di kota.
Trisno tidak mungkin lepas dari bujuk rayu Supar, karena pengangguran itu diisukan sebagai gendakane si Supar. Dia pasti telah menjadi kelinci percobaan di salon Supar, atau dengan suka rela menjadi pelanggan pertamanya.
Rejeb ? Sebelumnya dia tak bermasalah dengan rambut hitam bercabang yang jarang dia keramas. Lalu mengapa di akhir hidupnya rambut yang gagal dikepang ala penyanyi reggae karena terlampau banyak menyimpan kutu itu, berubah menjadi pirang?
“Loh si Rejeb ki jebule nganggo wig toh?” teriakan itu menjawab pertanyaanku. Tak heran, karena Rejeb bekerja sebagai badut di sebuah rumah makan.
Bagaimana dengan Mursiti? Buruh perempuan di pabrik bulu mata palsu itu rupanya baru saja mencoba ramuan pewarna yang didapatnya dari pacar mandornya.
Da’un dan Wukito, aku tak tahu ceritanya. Mereka berdua bukan berasal dari lingkunganku, desa yang tengah meninggalkan identitas kedesaannya.
“Landa jaman siki, dedege padha endhep-endhep, ora kaya ganu, dhuwur malur-malur! Ujarku tah madhange anggur, dudu sega bulgur, kaya penginyongan padha. Delepen malik dadi kunthet, ya?” Yang Ung berkata pada dirinya sendiri, ah tidak, tapi pada lawan bicaranya yang setia. Pisau-pisau dapur, ladhing, bendho, kudhi, golok, dan cengkrong…
Aku tersenyum mendengarnya. Terbayang wajah enam pria yang berambut semerah surya, cengengesan saat memujiku secantik Lady Gaga, di bawah gubug beratap rumbia, di tengah bukit tak bernama, mereka bertukar shift saat menanggalkan semua busana di tubuhku yang cacat pula…
***
Pustaka kata:
Tilar donya: wafat
Jalaran : penyebab
Gendul : botol
Gobang : uang logam jaman dahulu
Blengur : sebutan untukanak bebek mentok
Putu siji bekoh pikirane ngawur : Cucu satu-satunya yang berpikiran ngawur
Aja dumeh Yang’e wong ndesa kluthuk. Rikala semana, dong Yang’e esih seumuran ayam kemanggang, mada gedhe thithik ding, Yang’e wis ngode purah nyemiri sepatune ndara jendral : Jangan meremehkan, meski Eyang ini hanya orang udik, namun saat Eyang remaja tanggung, agak besar dikitlah, Eyang sudah bekerja sebagai penyemir sepatunya para jendral
Ngenger : mengabdi
Putu kuwalat kowe yah : Kau ini cucu durhaka ya
Yang’e ora sekti! Yang’e ora nduwe gaman sing dipendem njero nang awak. Bocah koh ya, pitakonane saru : Eyang bukan orang sakti! Eyang tidak punya senjata rahasia yang ditanam di tubuh. Anak ini, pertanyaannya kelewatan!
Kasekten : kesaktian
Kasepuhan : orang-orang tua [yang dihormati]
ladhing : pisau
bendho, kudhi : golok
cengkrong : arit/sabit
Wis meneng baen! Bocah esih umbelen, ora usah kemlakaran ngurusi urusane wong tuwa! : Sudah, diamlah! Bocah ingusan, tak perlu kau repot ikut campur urusan orang tua
Yang’e urung linglung, aja kuwatir, Kulup! Landane wis merad, durak Sedulur Tuwa! : Eyang belum pikun, jangan khawatir, Cucu! Belanda juga sudah pergi, diusir Saudara Tua [baca: Jepang]
Kuwalon : tiri
Akeh gunane : berguna banyak
Sekemayu : segenit
Loh si Rejeb ki jebule nganggo wig toh: Loh, ternyata Rejeb memakai wig toh
Landa jaman siki, dedege padha endhep-endhep, ora kaya ganu, dhuwur malur-malur! Ujarku tah madhange anggur, dudu sega bulgur, kaya penginyongan padha. Delepen malik dadi kunthet, ya: Orang Belanda jaman sekarang postur tubuhnya semua pendek, tidak setinggi di masa lalu. Kupikir makanan mereka adalah anggur, bukan nasi bulgur, seperti nasi yang dimakan rakyat kita. Ternyata bisa juga berubah menjadi cebol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H