(image: 123RF/Google)
-0-
Tatkala kau berjalan, kau ingin berlari…
Ketika kau berlari, kau ingin berhenti…
Manakala kau berhenti, kau berhasrat istirahat…
Saat kau beristirahat, kau berkeinginan duduk…
Sementara kau duduk, kau teringin berbaring…
Semasa kau berbaring, kau pun ingin tidur…
Dikala kau tidur, kau pula ingin bangun…
Dan bila kau terbangun, kau ingin bergerak…
Begitulah menurut seorang pandai agama tentang siklus kehidupan yang tak berlaku bagi manusia saja namun untuk semua mahluk hidup yang bernaung di bawah kanopi dunia. Bergerak, bergerak!
-0-
Jerit peluit membuatnya bergerak. Lari! Lari lintang-pukang bagai pelanduk diburu kucing besar bersurai panjang. Singa, ya, singa. Bunyi peluit itu terdengar seperti aum singa.
Priitt!
Irama melengking yang semestinya akan dipatuhi kaki-kaki maju-mundur, kanan-kiri dalam formasi rapi, kini terdengar amat menggetarkan hati. Kalaulah kaki pelanduk yang ringkih bagai ranting trembesi itupun sanggup berlari mencari peluang hidup dengan menghindari terkaman taring-taring yang saling mengunci di kedalaman urat lehernya, lantas mengapa tidak dengan sepasang kaki berotot liat ini?
Priitt!
Lari, lari! Tetapi bunyi itu seakan masih membuntuti ataukah telinga ini sudah terlampau sensi dengan kenyaringan yang memekakkan hingga laripun tak terkendali, peduli dada megap-megap kehabisan asupan udara. Benar, ketakutan adalah akumulasi dari ketidaktahuan. Namun bukan karena takut maka Sopitah berlari sekencang itu. Buat apa takut bila labirin megapolitan ini laiknya lorong sempit menuju – tak dapat disebut rumah sebenarnya, sebab hanya– gubuk seluas dua tubuh meringkuk, beratap terpal biru bertambal-tambal yang dibelinya dari tukang rombengan. Dindingnya cukup rapat oleh padu-padan antara karton-karton bekas pelindung harta benda orang-orang kaya serta Styrofoam, sampah abadi yang tak mampu diurai alam namun semogalah abadi melindungi kaki-kaki lelah selepas berlari. Bertahun menyusuri tiap ceruk dan tikungan, hingga setapak tanpa plang nama pun takkan sesatkan telapak kaki Sopitah yang menebal kapalan tak kenal sendal. Lagipula meski usianya sudah condong ke barat, berlari adalah bagian dari pekerjaannya sehari-hari dan sepasang kaki ialah penopang utama dalam dinamika kehidupannya.
Priitt!
Aiih, aiih, tak lelah nampaknya itu moncong peluit masih saja terdengar jejerit. Sopitah bergegas memasuki pelataran luas tempat hidup rerumput gajah mini yang konon tak butuh dipangkas, sebab sudah takdirnya hidup dengan merendahkan diri serendah-rendahnya…seperti dirinya??
Masjid yang lengang dikala siang, kesepian ditinggalkan umat yang membangkang, barangkali karena kalah sejuk dibanding pusat perbelanjaan, justru menjadi tempat andalan Sopitah. Macam mana hendak sembunyi di mega store bila pakaian yang ia kenakan kumal dan kotor. Lars tebal sepatu Satpam akan lekas berdebam-debam begitu mata radar yang menempel di tiap sudut tembok berlapis pualam menangkap sosoknya yang tak memenuhi standar dan jauh dari kelayakan yang ditetapkan pegawai berupah lulusan universitas antah. Padahal isi kreseknya begitu gembung, sangat mungkin untuk memborong berondong jagung di kedai depan sinema yang memutar film Jaelangkung. Walau uangnya sangatmungkin dipertaruhkan dengan mereka yang hanya lalu-lalang sekedar puaskan pandangan dan khayalan, namun selamanya Sopitah lebih memilih rumah ibadah yang tak pernah memilah. Baginya masjid merupakan tempat yang ideal untuk berkelit dari jerit peluit nakal. Seperti janji Tuhan yang acap didengar Sopitah melalui mulut orang-orang beriman, rumahNya selalu memberikan perlindungan yang ia butuhkan. Tak sekali pun disadari bila ia telah mengubah rumah perlindungan itu sebagai jubah kamuflasenya yang setia menjamin keselamatan Sopitah.
Dengan nafas masih memburu, Sopitah bergegas menyelinap masuk ke dalam Muslimah, kamar mandi wanita beraroma kesturi merekah. Buntalan plastik hitam segera ia bongkar. Gulungan perban penuh bercak merah darah bercampur kuning nanah –yang kerap membuatnya jalan terpincang-pincang– cepat-cepat ia buka. Satu stel baju kurung –yang dibelinya kontan dari Mang Dadang juragan sandang aseli Sadang– warna hijau terang berbordir seroja mayang dikeluarkan untuk mengganti seragam dinasnya yang kumal dan bertambal. Kerudung lusuh selekasnya ia tukar dengan kain lebar lain –mungkin pashmina– yang lebih bersih dan menjanjikan penampilan. Usai mematut diri, Sopitah memutar mulut kran. Brrrr… limpahan air segera enyahkan debu tebal di kaki telanjang. Kesejukannya pun tunai membayar kelelahan di sepanjang landasan entah beraspal atau sekedar hamparan kerakal yang telah dilaluinya dengan berlari tanpa terpikir tuk berhenti. Usai memanjakan kaki, Sopitah membasuh wajahnya, bukan menjemput air sembahyang, namun apatah salah bila ia meniru laku peziarah rumah ibadah?
Selepas mengatur nafas, Sopitah keluar dari ruang ganti dengan tak lupa menaruh senyum kearifan dan riak keluguan di wajah segar. Namun baru melangkah dari pintu berselot satu, jantung Sopitah kembali berpacu kencang. Beberapa meter di depannya tampak perut-perut buncit dengan mulut masih mengulum peluit, mondar-mandir seperti si Pandir hilang pikir. Tergopohlah si Sopitah merogoh beberapa kepingan logam lalu criingg... terjun bebas dengan bebunyi gemerincing, masuk ke dalam kotak penampungan amal. Keterkejutannya akan kehadiran para petugaas itu lantas tersamar, kepanikannya pun lekas memudar.
“Buset! Degil juga itu petugas. Kupikir sudah sejak tadi mereka pergi dari sini. Tak tahunya! Huh, dasar petugas tak ada kerjaan!” batin Sopitah mengutuk dua petugas yang bergelagat masih penasaran karena target tak terkejar, hilir-mudik hiraukan panas dan lelah walau berulang telah kitari areal peribadatan.
“Maaf, Bu,” petugas satu menegur, ekor matanya meruncing berselidik. “Apakah Ibu melihat seorang pengemis perempuan?” tanyanya lagi dengan kesopanan berlebihan. Pasti karena motif seroja di baju si Sopitah yang mana kilau benang emasnya selalu mampu menuntut orang bungkukkan badan.
“Wah, maap, ndak liat loh, Pak!” Sopitah memaksakan senyum tipis sedang dadanya kembang kempis.
“Masak seh, Bu?” petugas dua menyela. “Saya yakin sekali melihatnya berlari masup ke masjid ini, namun entah bersembunyi dimana dia kini,” lanjut si petugas dengan wajah membara tertimpa terik surya. Dahi, ketiak dan punggungnya basah oleh cucuran keringat yang membanjir paska marathon yang tak hasilkan medallion. Nampak benar dari wajah si petugas yang berdedikasi tinggi harapan besar akan targetnya terpenuhi meski berakhir gigit jari.
“Tanya saja sana sama Pak Amir,” Sopitah tengak-tengok mencari orang yang disebutnya Pak Amir walau yang dimaksud sebenarnya adalah takmir. Geletar suaranya sudah tak ada, terdengar biasa saja tak ubahnya mengobrol dikala senja berteman seduhan teh melati dan rebusan ubi. “Sejak tadi saya di masjid ini untuk shalat Dhuha, dilanjut dhuzur lalu wiridan, tapi selama itu tak melihat ada pengemis yang Bapak maksudkan. Ini saya ke kamar mandi karena tadi batal saja,” terang Sopitah dengan kepercayaan diri yang membumbung kembali.
Usai memastikan kepergian dua petugas yang berlalu dengan segara kecewa itu, Sopitah diam-diam menyudutkan diri, lalu mengeluarkan dompet lusuhnya dari kresek hitam yang berhasil disembunyikan di balik pilar besar. Tersenyumlah Sopitah menghitung rupiah dengan ujung jari dan ludah, berpuas diri pada hasil sekian puluhribu yang diperolehnya sejak jam sembilan pagi hingga jelang makan siang ini. Sungguh dua jam yang penuh barakah. Lakamdolelah, demikian batin Sopitah dengan bungah yang membuncah. Dan masih ada beberapa jam dengan barakah yang menanti hingga petang nanti. Jadi benarlah apa yang pernah didengarnya, Tuhan memang Maha Pengasih lagi Maha Pemberi. Kalau tidakmanatah akan ia dapat semua yang disebutnya berkat.
Untuk sejenak Sopitah tak perlu berlari. Karena yang hendak ia cari hanya ruang ganti. “Tapi toilet umum kan mesti mbayar?” Sopitah bergumam menyayangkan rupiah yang dikumpulkannya dengan susah payah. Di depannya berdiri gedung besar bercahaya gemebyar dimana lantai basemennya pasti menggelar toilet gratis yang berdampingan dengan langgar dan jamban pipis. Sopitah melangkah yakin. Ia sudah memegang visa bebas keluar masuk atmosfera hedonia tanpa delik mata dari aparat bersenjata tongkat, ya… baju kurung motif seroja dalam sulaman benang emas nan berkilau.
Lima belas menit kurang sedikit, Sopitah selesai bersalin busana. Tak tahu mengapa benang emas bukan malah memberinya bangga tapi gatal tak terkira. Namun jahitan kasar, kain lapuk tambal sulam, terasa sejuk di badan, dan yang terpenting darinya recehan selalu ramai berdatangan.
Dengan mengendap-endap, Sopitah, perempuan separuh baya itu sukses menyelinap di antara beribu sepeda motor yang berjajar nantikan pemiliknya membuang uang di bazaar. Lalu keluar lalui jalan menanjak menuju portal. Senyum bahagia terlontar. Rintih doa kepada Tuhannya pun lekas terdengar.
“Yaa Tuhan, terima kasih Kau sudah berikan aku kepandaian mengumpulkan uang, keturunan berpendidikan, harta macam-macam, dan ketrampilan meringankan badan hingga lariku selaksa terbang. Semua itu sudah cukuplah Tuhan, lelah sudah aku berlarian, maka pintaku sekarang berikanlah aku tuntunan agar kutak selamanya jadi orang buruan…”
Priitt!
Sekonyong-konyong jerit peluit melejit. Tidak, kali ini Sopitah tidak bergerak. Bisa jadi portal di depannya yang menjadi aral. Batin Sopitah sekejap gering, iapun diam menurut pada tuntunan petugas yang tegas menggiring. Di atas kereta tanpa atap, telah menunggu karib senasib, sekumpulan orang terbuang yang hidup menyaring debu dari corong pembuangan, manusia-manusia pengukur jalan yang hidup dari berlari, menghitung ketebalan aspal, menampung hina dan terik surya yang menempa, mereka yang terpaksa lepaskan haknya sekedar ntuk gulirkan luh dan keluh…
Priitt!
Peluit disemprit. Pick-up pun lari ngibrit terbirit-birit…
-o0o-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H