Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamanya Indri...

5 Maret 2015   14:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:08 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: kompasiana)

===

1 March 2015 00:00:04

Aku menatapmu yang sedang terlelap dalam mimpi.

Suara hembusan nafasmu masih saja terdengar, teratur dan lembut, selalu menenangkan. Kali ini nampak rona kelelahan dari wajahmu. Padahal ini baru malam pertama kau datang, dari tiap minggu yang kau janjikan.

Aku sudah tanyakan ini dari dulu, di dalam hati. Mampukah kau menjalani dua kehidupan seperti ini? Namun seperti keangkuhan yang dimiliki kaummu, kau begitu lupa untuk mengakui, kaupun manusia yang punya keterbatasan. Seperti aku yang sulit mengira-ngira, sampai dimana batas ikhlas itu berada.

Pada janji-janjimu untuk membagi diri, aku hanya bisa mengamini, semoga kau cukup ingat untuk melakukannya. Satu yang kulupa pintakan, semoga kau juga mampu untuk melakukannya.

Ah, apa saja yang dilakukan para pasangan baru ini? Mereka menganggap waktu haruslah dinikmati, sementara aku menganggapnya sebagai musuh. Sesuatu yang harus aku taklukan. Bergulat dengan persoalan kehidupan. Namun lihat sekarang, siapa yang terkapar kelelahan.

Kau tak muda lagi, sayang, keluhku dalam hati. Wajahmu tetap sama, namun satu dua kerutan mulai membayang. Rambutmu memang hitam, dengan warna keperakan melintas beberapa. Kau tetap pria yang gagah, namun entah untuk tenaga…

Masihkah kau memamerkan kuasamu di ranjang? Atau kau ajarkan ia untuk melayanimu? Kau tentu lebih ahli sayang, hasil pengalaman kita berdua. Berbeda dengan ia yang baru saja melepas masa lajangnya. Dan itukah yang membuat dirimu terhuyung kelelahan, ketika tiba saatnya aku menuai giliran?

Mungkin juga tidak hanya malam kau setengah mati berusaha, kau masihlah pria yang perkasa. Mungkin, pada siang hari kau juga memperlihatkan pada rekan kerjamu, betapa kau adalah suami yang berbahagia, dengan berhasil menikahi yang kedua. Atau mengambil hati mertua sebelum berangkat kerja, yang awalnya ragu mengijinkan anaknya menikahi suami orang. Kau yang berusaha menjaga citra, namun seharusnya aku yang layak mendapatkan Oscar.

Karena tak ada pelakon yang dapat melakukannya, ketika tahu yang ia hadapi adalah hal yang nyata. Mereka bisa berperan dengan cemerlang karena tahu, filmnya hanya pura-pura. Ada skenario yang sudah mereka baca, ada akhir yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Namun aku harus mengatasi kekhawatiranku, ketakutanku, dan terutama –keegoisanku-, untuk menegarkan diri di hadapan calon mertuamu. Aku mengijinkan pernikahan itu.

Aku tak tahu bagaimana nasib anak-anakku. Aku tak tahu bagaimana penghidupanku. Aku tak tahu bagaimana dengan…aku. Bukan soal perasaan ditinggalkan, aku sudah buang jauh-jauh perasaan menuntut seperti itu. Tapi apakah aku sudah cukup sempurna untuk menjadi istrimu? Apa yang kulakukan sudahkah cukup, atau…ini hanya permulaan dari kisah panjang yang …melelahkan? Atau justru… membahagiakan?

Melihatmu terlelap seperti ini, pada hari pertama kau kembali padaku, membuatku berulang kali mengingatkan diri sendiri. Aku bersyukur kau masih ingat jalan pulang, meski tak kau lakukan setiap malam. Aku menjaga lidahku agar tak menuntut macam-macam, karena aku berusaha memahami usaha yang kau lakukan, untuk membahagiakan kami berdua.

Dan seolah tak habisnya kau berusaha berlaku adil, keinginanmu yang berikutnya adalah ‘ia kubawa kesini, supaya tak perlu kau cemaskan diriku saat jauh, ia pun dapat menjadi adikmu. Ia akan belajar padamu, dan membantumu mengurus rumah tangga.’

Apa dayaku untuk mengatakan, bahwa sebelumnya semua bisa kulakukan sendirian? Aku telah berlatih tegar tanpa kehadiranmu disini, dalam perkataan dan perbuatan. Tak lagi mudah meminta kebutuhan, tak gampang pula menjawab pertanyaan, ‘Papa kemana?’. Namun kini nampaknya aku harus berusaha seperti yang-membutuhkan-bantuan, agar ia yang kau sebut ‘adik’ itu dapat berlatih dari yang sudah berpengalaman.

Jadi benar, ikhlas itu tanpa batasan. Bahkan pengorbananpun tak layak lagi diucapkan…

IYI

Hai, In…

Maret waktu itu, Maret juga sekarang ini, tapi entah tahun berapa aku lupa bertanya…

Pukul berapa? Bisa kupastikan bila fajar tengah merangkak. Lihat! Ada jingga kemerahan yang ragu dan malu dipeluk kuning kecoklatan, tersapu di langit biru kelabu.

In…

Kau mungkin tak hirau pada sapuan warna yang dimainkan alam, acuh itukah gradasi atau pelangi, karena kau sentiasa sibuk dengan sederet list of things you must to do sebelum mentari menghisap tuntas the morning dew. Fajar selalu mengharuskanmu menatar, tentang cara bergosok gigi yang benar, piyama yang harus segera ditukar, sarapan telur dadar sepuluh menit harus kelar atau dua situs keramat itu takkan terkejar, ya, sekolah dan instansi dimana bosmu terkenal gahar.

In…

Hentikanlah tatapan macam tu. Sebab kutlah terjaga sejak kokok pertama unggas berjengger merah tua. Ah, ya, tapi kau memang suka berlama-lama, menatapku dengan ragam pikir dan tanya. Kau tahu, akupun acap berlaku hal yang sama, berlama menatapmu dengan ketakjuban yang sulit kuutarakan. Bukan menatap seutuhnya dirimu tentu, sebab kau di sana dan entahlah apa nama tempatku kini. Yang pasti ada banyak gambar dirimu berjajar rapi dalam bebingkai artistik yang abadikan wajahmu cantik.

Ya, In…

Aku memajang banyak fotomu di atas meja di tepi pembaringanku. Kau tak percaya? Kau harus percaya seperti kepercayaanmu padaku yang tak lekang oleh waktu. Rona lelah? Ah, benarkah? Sejatinya sudah kuupayakan agar rona itu tak terlalu kentara. Menyesal kau harus melihatnya…

Ya, In…

Kau benar tentang minggu-minggu yang terhutang itu. Maaf bila kau harus menuai perih dari janji-janji yang tak kuasa kupenuhi. Aku malu mengakui ini. Walau sesungguhnya sudah kuberjuang atasi segala rintang, bahkan injeksi demi injeksi pun terabai, demi hatimu terbebas dari apa dan mengapa yang sebakkan dada dan hadirku tanpa in dementia, a-ah, maksudku in absentia.

Ya, In…

Kau benar tentangmanusia bukanlah amuba. Membelah diri, jalani kehidupan ganda ini, aih, malu benar rasanya aku. Tasbih dan peci telah membuatku mengira diri ini serupa nabi. Tapi aku harus di sini, begitu jauh terpisah darimu. Bukankah keangkuhan ini sungguh tak termaafkan?

Pasangan? Ah, ya, pasanganku yang amatlah menjengkelkan itu. Tak seperti kau yang diberkati hati seputih salju di tampuk Fuji dan kesabaran seluas langit mayapada.

Oi, betapa tak tahu malunya aku ini, masih pula bernyali tuk menghitung, menimbang dan membandingkan, soalan yang sebenarnya bukan lagi kuasaku, baik itu di tangan maupun dalam pikiran. Oi, betapa tamaknya aku ini, masih pula kumengomel pada pasangan yang hmm, baiklah, ia memang sedikit comel.

Harusnya ku bersyukur ya, In? Walau senyatanya di sini hari-hari bergaduh dengan peluh deras meluruh, keluh pada lutut yang melepuh dan mulut yang tak henti mengaduh. Tak bosannya bertikai tentang noda di sprei, bertengkar sekedar mug yang tertukar, dan hal-hal sepele yang membuatku memble. Namun dengan sedikit ikhlas dan sabar yang kucuri darimu, kuterima hukuman ini, terkapar kelelahan di atas sajadah tehampar, sebab kukira itu tikar??

In…

Kehawatiran, ketakutan, siapatah tak memiliki? Bahkan Izrail pun berkhawatir atas kesakitan Sang Nabi bila ruh suci kekasihnya itu tercabut. Akupun didera kekhawatiran In, ku bahkan amat tersiksa dalam sel ketakutanku sendiri. Lihatlah, rakus nian kulahap galantamine laiknya kembang gula mint, demi atasi semua kekhawatiran dan ketakutanku. Pena-pena kuraut setiap waktu, helai demi helai kertas kurangkai puisi, kugurat diari dengan kisah sehari-hari, agar kau melekat dan semua tentangmu terus teringat di kepala yang kian hari memberat, hingga kelak tiba saatnya Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Tacrine, dan semacamnya tak mampu lagi menopang bahkan pada dosis tertinggi…

In…

Ah, ya, sebelum ku terlupa ingin kutanya tentang pondok yang pernah kita huni berdua. Bagaimana dengan “Sepeda Ibu” yang pernah mengundang pembahasan dari seseorang? Sungguh, aku masih merasakan hilarianya hingga saat ini. Dan apakah kau masih dikira tante-tante penggila jagung muda, eh, kau menyebutnya berondong, ya? Jangan katakan sebab kehilangankulah maka kau memutuskan It’s Not A Home Anyomore. Itu terlampau mengada-ada, In. Kau membuatku ingin tertawa untuk alasan yang mendadak ku sulit mengingat. Sejenak saja, terpikir membujukmu kembali. Tapi, ah, tidak. Kau sangat berhak untuk bahagia di rumahmu sendiri.

In…

Kusudahi semua hingga di sini. Karenaku sungguh ingin terlelap, namun tidak dengan tatapanmu seperti itu. Mengapa? Bukankah aku masih tetap tampak gagah walau dengan satu dua kerutan dan helai rambut yang melintas keperakan?

Tenaga? Sayangnya terlalu sulit bagiku untuk berpura hingga kaupun acap menelisik rona lelah itu. Perlukah kuberitahu berapa kilometer setapak yang sudah kutelusuri bahkan dengan penuntut digital masihku kepayahan mencari jalan pulang? Kasihmulah yang menuntunku hinggaku berhasil mengetuk pintu di hari pertamaku kembali. Namun maafkan untuk ranjang yang kehilangan irama bergoyang, ya?

Selamanya In…

Kepadamu, maaf dan terima kasihku takkan terhingga hingga lidah kelu mengucapkannya, untuk segala pengertian, untuk lidah yang susah payah kau telan agar tak macam-macam, untuk kemandirian, untuk kesabaran yang tak berbatas, keikhlasan nan tak berbekas, dan pengorbanan yang sangat, sangat layak beroleh penghargaan lebih dari sekedar.. Oscar. Terima kasih untuk cinta kasih nan tak ternoda walau kejam nian kutelah menorehkan luka. Terima kasih pula telah menjaga, merawat, mengasuh sebaik-baiknya anak-anak hinggaku tetap sempurna di mata mereka. Dan selamanya, In, kutelah menjaga hati ini seutuhnya sebagai milikmu saja. Kaulah In, pelabuhan hati ini. Selamanya In..

IYI

Dibantu para staff, In membenahi foto, pakaian, dan segala pernik milik pria gagah itu, pernak-pernik pemberiannya dulu. Pengikat leher bercorak garis, sapu tangan berinisial IH, dan banyak lagi.

Dalam cengkeraman kesibukan yang senyap, In sedikit terganggu ketika seorang bapak tua tak kalah repotnya, mondar-mandir mengitarinya, jowal-jawil entah usil ataukah upaya memamerkan goa bergigi sejumlah dua??

“Beliau ini bapak teman sekamar mendiang suami Anda,” terang salah seorang staf usai memperkenalkan sebuah nama.

Segera senyum ramah In disongsong uluran tangan renta bergemetaran dengan setumpukan kertas dan beberapa buku bersampul warna pelangi.

“Sampul kuning adalah kumpulan puisi, merah menampung asmara yang terpendam, ungu mewakili rindu membuncah, biru bercerita tentang sendu, hijau berkisah akan asa, putih memuat pengakuan dan kenangan yang tak ingin terlupakan, sisanya mengenai keseharian di sini termuat dalam kertas-kertas. Almarhum menulis hingga ingatan benar-benar meninggalkannya. Dan semuanya hanya untuk… In,” staf itu berbicara mewakili si bapak tua yang kebingungan, entah dimana gigi palsunya gerangan.

In mengangguk pelan, mengusap air matanya perlahan, memejamkan matanya dalam diam, lalu mengucap kata innalillah dengan lelah dan pasraah…

IYYI

Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Tacrine : adalah obat yang kerap direkomendasikan ahli medis untuk penyembuhan penyakit Dementia Alzheimer (penyakit menua sebelum waktunya, kerusakan daya kognitif, kemunduran intelektual, hilangnya daya mengingat, kurang lebihnya begitulah, hehe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun