Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

1_Selubung Hati Suci

5 April 2013   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:42 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13651398831657319613

[image:1xdotcom_stefan mueller/pinjam yaa]

.)1(.

Sebelum bang Ikhsan menunjukkan tanda lahir yang terletak tepat di bawah tonjolan tulang kering kaki sebelah kiri –bulatan hitam yang sama dengan yang dimilikinya– mungkin selamanya aku takkan pernah dapat mengenali pria kumal yang tengah bersujud itu.

“Imran?” tanyaku pada bang Ikhsan yang lantas mengiyakannya dengan bahasa sunyi milik kaum kami. Waktu pastinya telah berjalan demikian lama, hingga sosok Imran nyata berubah amat dramatis, batinku sulit percaya.

Maka sejak hari itu, aku harus menghapus kenangan lama tentang seorang bocah berperawakan kurus yang rakus setiap kali melahap roti dan kue dari toko bàba. Tubuh coklat kehitaman yang menjulang itu dan semua yang serba lebat pada dirinya, rambut, cambang, bahkan sepasang alis yang menambah beberapa tahun usia sebenarnya, adalah sebagian besar pendukung keraguanku sebelumnya.

Kuat dugaanku bila bau darah dan keringatnya pastilah tercium sama, aroma Gunung Sibual-bual negeri para Siregar. Hingga bang Ikhsan dapat segera mengenalinya, hanya sesaat setelah pria bertubuh dekil itu memasuki ruangan luas berhawa sejuk penggoda kantuk di siang terik yang memanggang kulit seperti hari ini.

”Kurasa, sudah tiba waktunya kau pergi, Wǒ de lâo pó! Lekas, berkemaslah!“ perintah bang Ikhsan, jubahnya bergerak-gerak mengusirku pergi. ”Aku akan menunggumu selamanya di sini, bahkan bila kelak lonceng keberangkatan kita berdentang, aku akan tetap tinggal dan menantimu hingga kau kembali.”

Upaya bang Ikhsan membujukku rupanya mengusik kedamaian aula teduh ini. Gemerisik jubahnya telah memancing rasa ingin tahu beberapa pasang mata yang melotot tegang mengawasi kami berdua. Merekalah para tetangga sesama penghuni sudut, kisi-kisi ventilasi atau lengkung kubah bercat putih dengan tepian berornamen kaligrafi ini. Di sinilah aku dan sebagian kaumku tinggal berdesakan menunggu pengundian waktu. Tidak semuanya, karena yang tidak betah berdiam diri, akan memilih berkelana kemanapun angin berkembara. Ada yang berdalih karena takdirnya sebagai petualang, lainnya beralasan ingin mencari naungan tempat melarung kegalauan. Kaumku memang senantiasa dirundung gelisah. Sebabnya tak lain karena kebuntuan masalah, sesal yang tak bersudah serta rindu kehidupan yang mustahil terijabah. Sedang sisanya, lebih senang terperangkap dalam dimensi yang dinamis namun sebegitu tipisnya hingga memudahkan kami untuk muncul kapan saja hanya dalam sekali kepulan kemenyan yang dibakar. Dalam geliat asap pekat, kami bisa bermain-main dengan rupa, menampakkan ujud seram dan pesona kekuatan maha dahsyat yang sejatinya mengecoh kecerdasan anak Adam. Entah sejak kapan dan darimana datangnya ide tentang rupa dan ujud yang menggelikan itu.

Aku memandang bang Ikhsan lekat-lekat. Nampak bilur-bilur kesedihan terhias di sana. Sketsa wajah yang tak sebanding dengan ketegasan dalam nada suaranya.

“Cepat! Cepatlah pergi! Atau kau akan kehilangan kesempatan berharga yang tidak datang dua kali. Perjumpaan kita dengannya di sini merupakan pertanda bahwa jadual kita mungkin masih lama. Ini sebuah peluang untuk melepaskan segala ganjalan yang kelak dapat mempersulit perjalanan kita; sebuah kesempatan dari Sang Maha Tunggal yang tidak boleh kita sia-siakan.” Bujuk rayunya terdengar meyakinkan.

”Baiklah. Aku pergi, Wǒ de lâo góng!” berat hati kuurai belit pelukannya, walau masih sempat kulilitkan ujung jubahku yang lain di salah satu saka penyangga kubah.

Pada akhirnya, teguh kupaksakan untuk beranjak menjauhi bang Ikhsan. Sebab Imran terlihat mulai bangkit dari duduk tawarruknya, usai menadahkan tangan dan mengusap mukanya. Maka sejak ba’da dhuhur hari itu, aku pun kembali berpisah dengan bang Ikhsan. Padahal perpisahan traumatik sebelumnya masih berbekas, masih jelas pula jejak-jejak luka, dan belumpun mengering darah di kujung jubahku ini. Belum juga hilang rasa pedih dan sakitnya yang tak terhingga, walau ritual siraman yang dilakukan para pemulasara dengan kucuran tiga macam air bertuah –air yang tak sembarang orang dapat beroleh ketiga macamnya tanpa kehendak Sang Pencipta– telah mengering lama. Ketiga air itu adalah air yang bercampur serbuk daun sidr, air tumbukan tengkaras, dan terakhir sebagai pembilasnya adalah setanjur air murni.

Bagai seorang dayang-dayang, aku tak boleh berada sejengkal pun di depan Imran. Membuntutinya kemanapun ia pergi akan menjadi upayaku yang terakhir, sebelum masaku habis di sini, sebelum tiba waktuku menaiki gerbong-gerbong panjang menuju lorong keabadian bersama bang Ikhsan tercinta. Benar apa katanya, Imran adalah peluang, karena dialah satu-satunya tongkat penuntun yang akan membawaku menemukan jejak seseorang yang teramat berharga, seseorang yang sekian lama telah tinggal di hati dan berat di pikiran. Seseorang yang harus segera kutemukan agar dosa bernanah ini lekas tanggal, kecuali bilaku sudi berendam selamanya dalam keabadian api penyucian.

Perjalanan ini takkan mudah, begitulah pesan bang Ikhsan yang kembali terbukti benar. Karena Imran ternyata hanya bermodalkan sepasang kakinya saja untuk mengukur panjangnya jalan-jalan yang kami telah dan akan lalui. Kesabaran menjadi modal utama, karena Imran, lelaki itu nampaknya tidak tahu betapa berartinya waktu. Ia lebih banyak singgah dengan alasan lelah. Bahkan ketika tiba waktunya bersujud, itu selalu dijadikannya alasan untuk menumpang tidur di halaman berlantai keramik yang terasa dingin menyejukkan di tengah cuaca yang tidak menentu; kadang panas menyengat, namun tak jarang hujan lebat. Bila kesabaranku telah buncah, tak jarang aku harus berkali-kali menggelitik telapak kakinya yang berujung pecah-pecah itu, supaya ia lekas bangun dari tidurnya yang selalu berlebih waktu.

Manalah Imran tahu, bila di setiap persinggahannya, aku harus berjibaku terlebih dahulu. Bertarung demi memenangkan beberapa laga kecil dengan para penghuni sepi yang acap salah mengerti ihwal kedatanganku itu. Mereka −seperti yang sangat kukenal− adalah kaumku yang bebal dan tak mudah percaya, walau berulangkali telah kutegaskan bahwa kedatanganku hanyalah sebagai tamu; pengunjung yang tidak akan membutuhkan waktu lama dalam setiap anjangsana.

Ada misi pribadi yang lebih penting daripada hasrat merebut tempat singgah. Seringkali untuk meyakinkan, kusarankan mereka agar pergi menginterupsi mimpi yang tengah dilarung Imran, supaya ia lekas siuman. Barulah ketika itu mereka percaya lalu menyilakanku duduk berlindung di atas pilar-pilar besar atau mencari sisa lorong yang menawarkan kegelapan dan dingin yang menyejukkan. Tempat-tempat semacam itu memang menjadi favorit bagi kaum kami, karenanya sebutan ‘misteri’ menjadi jati diri kami yang mengabadi.

Memang tak mudah, namun perjalanan ini terkadang menyuguhkan tontonan yang menggelikan. Lihatlah bagaimana tingkah Imran yang kerap membolak-balik tas ranselnya, berkali menurunkannya dan tak henti melakukan inspeksi ulang terhadap isinya. Ia sering tak mengerti mengapa ransel yang hanya menyimpan beberapa potong pakaian, sejumlah buku dan sedikit camilan itu kadang terasa ringan benar, namun lebih sering terasa begitu beratnya. Ini kali kesekian, ia mencampakkan tasnya ke pinggir jalan. Lalu duduk menggelosor di tanah berbatu dengan peluh dan keluh yang berhamburan.

Tak jarang rasa ibaku menumbuh, melihat bulir keringat sebesar biji jagung yang menyumbat pori-pori di keningnya. Topinya nampak semakin kucal oleh butiran debu yang menggumpal. Matanya memerah karena angin berpartikel yang berkerak dan sangat mengganggu. Mulutnya selalu meringis tipis saat tangannya meremas pundak yang terasa pedih. Bila menyadari hal itu, dengan perasaan bersalah aku cepat menyingkir dari pundak dan tas punggungnya. Sebab tanpa sepengetahuannya, kutelah berleha-leha menjadi penumpang gelap yang menangguk untung di atas keletihannya. Niatku selama ini menggoda ternyata mendatangkan sengsara baginya.

Kemana sebenarnya tujuanmu itu, wahai Imran? Sudah jauh perjalanan ini, tak terukur lagi panjangnya langkah kaki dan aku masih tak tahu nama-nama tepian berdebu yang kau susuri, atau macam kendaraan yang kau tumpangi. Apakah sebenarnya rencanamu yang tersembunyi dalam isi hati dan pikiranmu itu, Imran? Dari beberapa coretan di buku catatan Imran yang sempat kuintip, sulit benar kupahami bentuk tulisannya. Aku tak yakin dengan abjad yang ia gunakan, sekilas serupa benar dengan hieroglif, namun seringkali terlihat bagai kumpulan jejak ayam betina yang mondar-mandir mencari sarangnya bertelur. Ruwet, mirip benang bundet. Hanya kata ‘Gilingetan’ yang selalu terlihat menonjol dan ditulis berulang-ulang hingga dapat terbaca jelas oleh mata batinku. Itukah tujuanmu? Dimanakah letaknya itu?

Ah, ternyata masih beberapa dukuh lagi yang harus dilewati sebelum tiba di desa Gilingetan,” Imran sedikit bergumam. Perlahan dan tentu ditujukan pada dirinya seorang. Namun itu sudah cukup menjawab pertanyaanku.

Jadi, Gilingetan adalah nama sebuah desa yang menjadi tujuan perjalanannya ini. Gilingetan? Tiba-tiba aku teringat seseorang yang konon terlahir di desa itu. Mmh…, ada apa dan siapa yang akan ditemuinya di desa Gilingetan?Lama, setelah menyadari kenangan yang tumpang-tindih dibalik nama Gilingetan, aku terkejut dengan debaran halus yang merambat muncul; satu hal yang seharusnya mustahil kualami karena tindakan defibrilasi itu sudah berhenti, satu setengah dekade silam. Ah, apapun itu, aku akan menganggapnya sebagai sebuah petunjuk yang akan menumbuh-suburkan harapanku.

Ada apa gerangan di Gilingetan? Kalau saja ada bang Ikhsan, aku tak perlu menahan kesabaran yang sangat mengesalkan ini. Bertanya langsung pada Imran sangatlah tak mungkin. Masuk ke dalam hati dan pikirannya pun sia-sia saja, karena saat ini di dalamnya hanya berisi tentang lelah, tidur, sembahyang dan makan saja.

Menyesal sekali bang Ikhsan tidak mau ikut dalam misi yang sangat tepat disebut petualangan ini. Buatku, selamanya dia adalah pria yang tahu banyak hal, walau ijasah yang selalu dibanggakannya hanya berasal dari STM saja. Tak sadar, senyum kecilku terkembang. Selalu begitu bila kuingat tentang bang Ikhsan. Postur tubuhnya tinggi tegap, pertanda seorang pekerja keras. Selain berwawasan luas, ia juga figur yang selalu penuh dengan keyakinan, selalu percaya diri pada kemampuannya. Seperti telah dibuktikannya saat melumpuhkan segenap persendianku dan membuatku jatuh bertekuk-lutut dengan segunung cinta tanpa prasyarat. Namun satu hal yang luput dari pengetahuannya adalah: cinta tak selalu semanis kembang-gula. Karenanya, keyakinannya yang kuat untuk bisa menjadi tonggak pemersatu dua keluarga yang berlatar belakang amat jauh berbeda, nyatanya telah berkhianat dan menjadi awal bencana. Yang kuingat, Imran masih bocah ketika kami berdua terpaksa pergi dengan meninggalkan buah cinta kami.

.)*(.

Sekepulan asap terbang melintas. Keharumannya segera membuatku panik. Awalnya kupikir itu harum dupa yang menggoda. Seseorang di ladang sana rupanya tengah membakar sekam atau damen sisa panen. Panik yang percuma! Bagaimana aku bisa salah mengira? Selama itukah aku melamun?

Lalu cepat kusadari Imran tak lagi di sekitaran. Kemanakah perginya ia? Sudah sejauh apakah aku melangkah hingga terlepas dari bau keringatnya? Bau yang menggiringku agar terus lekat dengannya bila tak ingin kehilangan maksud dan tujuanku berkelana bersamanya.

Dalam kebingungan, aku melihat sebuah gerbang dengan dinding-dinding berelief serta tulisan‘Selamat Datang di Desa Gilingetan’ di atapnya yang serupa stupa; sebuah gapura penyambutan yang kental budaya. Sebaris kalimat singkat lagi sederhana itu, nyatanya mampu mendatangkan perasaan tenangku karena merasa telah tiba di tempat tujuan. Meskipun untuk sesaat saja, karena kepanikanku mendadak kembali menyergap.

Oh, dimanakah Imran? Apa yang harus kulakukan di tempat yang maha asing seperti ini? Dalam kalut yang mengamuk aku berlari menuju rimbun pepuhun pisang yang berdiri sepanjang tepian kanan-kiri gerbang itu; beranjar rapi sebagai batas pembagi desa ini dengan desa tetangganya. Beratus tanaman terna raksasa berdaun besar memanjang itu nampak tengah mengadu kemegahan tutut atau jantung bunganya yang berwarna ungu tua kemerahan.

Aku berharap-harap cemas, semoga kebun pisang ini adalah lahan tak bertuan. Namun barupun sekelip mata, datanglah bergerombol penghuninya yang menyambutku dengan wajah tak ramah. Tak satupun yang peduli dengan kepanikan dan ketakutanku, padahal jelas itu menunjukkan bahwa aku tengah tersesat di tempat antah berantah. Dalam sekejap, ujung jubahku telah direnggut dengan kuat, berpuluh pasang mata menatapku nyalang seakan melihat sosok Drupadi yang kain pinjungnya sukses dilolos Dursasana.

Hanya karena bunyi gemerisik kasarlah yang telah mengurungkan entah apa niatan mereka. Imran muncul bersamaan bunyi gemerisik itu. Tangannya sibuk membenahi resleting celananya yang separuh terbuka. Langkah kakinya terlihat lebih ringan dari sebelumnya, walau takkan pernah seringan jubah kebesaranku. Di wajahnya nampak jelas gurat-gurat kelegaan usai hajat kecil yang dibuangnya entah di gerumbul sebelah mana. Ah, aku pun turut merasa lega, walau oleh sebab yang berbeda. Karena kemunculan Imran yang sekonyong-konyong itu telah membubarkan lingkaran yang semula rapat mengepungku. Mereka melesat dengan cepat, terbang ke segala penjuru, lenyap dalam sekejap. Mereka yang kelebihan beban lantas hanya diam lalu menyamarkan diri dalam remang yang mengintip seiring lantun adzan maghrib berkumandang…

.)bersambung(.

baba: ayah

wo de lao po: istriku wo de lao gong: suamiku tawarruk: duduk tasyahud akhir sidr: daun bidara tengkaras: kayu cendana yang menghasilkan gaharu, berfungsi sama seperti kapur barus bundet: kusut terna: tumbuhan berbatang lunak atau tumbuhan berpembuluh [tracheophyta] tutut: bunga pisang atau jantung pisang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun