[image:1xdotcom_stefan mueller/pinjam yaa]
.)15(.
Imran mencabut kunci kontak di motornya. Pelindung kepalanya dilepas, rambutnya dikibas-kibaskan agar hawa segar cepat diunggah dan bebas menelusup di helai-helai yang kegerahan karena lama terpenjara helm. Tiap hari, dia syukuri tugasnya sebagai pengojek Satria diiringi sebaris asa tinggi dapat berjumpa Suci. Kerapnya hanya di pagi hari saja, ia berkesempatan mencuri pandang punggung Suci yang mencembung membelakangi sumur, sibuk menggilas dan membilas.
Sejenak pandangan Imran meragu, pada Suci yang tengah berdiri di depan pintu pagar bambu. Apalagi wanita itupun sedang tidak sendiri. Pemandangan ganjil yang baru kali ini ia dapati, di sore yang lazimnya sepi. Imran kewalahan menghalau fokus perhatiannya dari subyek yang kerap mengganggu tidur malamnya itu. “Siake, harusnya tidak kuantar sampai depan rumah, kau, Sat!” batinnya mengeluhkan momen menyebalkan yang harus dilihatnya sore ini.
“Biar kubantu kau, Imran,” kubentangkan jubah kumal agar fitur Suci tak merisaukan Imran. Malangnya, terlalu banyak lubang dan koyak di sana, hingga bantuanku pun tak berarti. Galau di hati Imran, kulihat kian berguncang. Lantas kusembunyi dibalik kelebatan dedaun mangga. Dan sungguh! ada gelisah sakit bila melihat sorot mata Imran yang getir dan pedih.
“Apa kau tidak akan turun, Bocah?” tegur Imran pelan pada Satria yang masih menempel di boncengan belakang. Tidak terdengar jawaban, tidak pula terburai pelukan erat di pinggangnya. Satria pasti tertidur lagi, batin Imran. Pelajaran ekstra-kulikuler memang selalu menguras tenaganya, demikian yang pernah diingatnya dari cerita Satria.
Untuk sesaat Imran tak tahu harus berbuat apa. Berharap dapat berlaku seperti biasanya; membangunkan Satria lalu mengantarnya hingga depan pintu, kemudian menemaninya bertukar baju dan duduk sejenak di ruang tamu, mengobrol sekenanya hingga Naima kembali dari langgar. Suci tak pernah ada di rumah di jam-jam seperti itu, ia masih belum kembali dari rutenya menyambangi warung dan toko tempatnya menitipkan dagangan. Sore adalah waktunya mengumpulkan recehan dari jerih payahnya mengolah bermacam penganan.
Namun sore ini, sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Sore dengan lansekap fenomenal. Imran tak menyangka akan melihat Suci bahkan dengan posisinya yang menawan; berdiri menyandarkan separuh badannya di pintu pagar dengan kepala setengah tertunduk dan wajah tersipu malu. Entah apa yang membuatnya begitu. Mungkin topik perbincangannya berlangsung seru dan mengasyikkan. Mungkin pula lawan bicaranya yang sangat sepadan hingga seorang seperti Suci bisa terkesima bak remaja belia yang mendapat pujian berlimpah dari jejaka idamannya.
“Ibu! Om Surya! Aku pulang!” Satria terbangun dan terkejut gembira melihat keduanya. Ia melompat dari boncengan, berlari menyongsong Suci dan tamunya, Surya.
Teriakan Satria itu sontak menghapus ketersipuan di wajah Suci, menggantinya dengan pias atau malu bercampur khawatir, entahlah kalimat apa yang tepat untuk menggambarkannya. Sebaliknya senyum lebar penuh bahagia diobral di wajah bersih bersinar Suryadilaga.
“Hoeyy, Imroonn!” sapa Surya ramah dan bersahabat. Sebelah lengannya diadu dengan bahu Imran. Sebelah lagi membalas pelukan Satria yang menghambur penuh suka cita.
Kudengar batin Imran, bak-buk, ribut mengeluh galau. Walau sulit, ia tetap berupaya menutup sebelah mata melihat kedekatan antara Surya dan Satria. Diliriknya Suci yang diam dengan perasaan jengah dan kikuk; sesekali terlihat ia melempar pandangannya tak tentu arah, lalu tertunduk, sementara kedua tangannya bersatu memilin ujung blusnya. Entah kemana perginya muka galak yang sering dipamerkannya kala Imran datang bertandang.
“Belum balik ke kota, Sur?” basa-basi Imran sambil memasukkan kembali kunci kontaknya lalu menekan tombol stater yang malangnya tak mau menyala. “Atau, nampaknya masih banyak urusanmu di sini ya?” dengan gemas, kakinya menginjak pedal engkol berkali-kali.
Aku tahu, Suci pun tengah berjuang menyapa. Di wajahnya penuh dengan keraguan namun sesungguhnya hatinya terus mendorongnya untuk bertegur-sapa. Mulutnya bertahan membisu karena situasi tersudut yang membuat kalut. Situasi yang sama kurasakan bila ingin mengatakan sesuatu namun terhalang oleh dunia yang berbeda dimensia.
Demi iba-hatiku terhadap Suci, maka kucoba memberinya peluang. Sejumput angin kupungut, khilap bahwa kekuatanku belum pulih sempurna. Apa lacur, angin yang lancap berhembus itupun gagal menampar pelipis Imran yang bercambang. Justru ujung jubahku yang terseret membelit jeruji roda motor Imran, akibatkan mesinnya mandul seketika itu juga. Suci baru hendak sedikit membuka mulutnya tepat ketika terdengar jeritan melengking penuh kepanikan dari dalam rumah.
“Neneekk!! Ibuu! Nenek jatuuhh!” jerit panic Satria membuat Suci, Surya dan Imran selaksa terbang; bernafsu ingin saling mendahului. Walau gelar sebagai sprinter sejati tetaplah jatuh kepadaku. Imran tiba beberapa menit setelahku, kedua tangannya sigap mengangkat tubuh Ninik Naima, hati-hati diletakkan tubuh ringkih itu ke atas dipan.
“Ibu tidak apa-apa, Nak,” rintih Naima, menjawab kekhawatiran di wajah Imran. “Bangkunya terlampau rapuh sehingga tak kuat menopang tubuh renta ini,“ katanya lagi, menerangkan sebab dirinya terjatuh, dengan suara pelan.
“Nenek mau duduk, tapi lantas terjatuh karena kaki kursinya patah. Benar begitu kan Sat?” tanya Surya meminta kepastian pada Surya, anak itu membalasnya dengan anggukan kecil saja, wajahnya masih terlihat shock. “Kau dengar Suci, berhentilah menangis. Kalau kau masih khawatir, ayo sekarang juga kita bawa ibu ke rumah sakit!”
Menyedihkan sekali melihat pengasuh yang baik hati itu terkulai dalam raga tuanya yang nampak tak berdaya. Menua adalah penyakit yang tak tersembuhkan dan kondisi yang tak mungkin terelakkan bagi setiap manusia. Uff, aku lega tak harus mengalami proses itu, pasti sakit sekali rasanya.
“Tak! Tok! Tak! Tok!”
Aku segera berhenti berangan-angan saat kudengar bunyian gaduh di halaman belakang. Kupikir Satria dan ibunya yang diantar Surya secepat itu kembali dari rumah sakit. Namun hanya kulihat Imran di rumah yang Suci yang lengang. Imran nampak mengusung sebuah kursi yang lebih kokoh. Mulutnya terkatup rapat, keningnya berkerut serius dan tangannya bekerja dengan sangat cepat. Ia mondar-mandir antara ruang tamu dan kebun belakang yang remang-remang. Satu, dua, tiga dan empat kursi diselesaikannya dengan cepat. Berkali-kali palu di tangannya menguji kekokohan kursi. Ia terlihat seperti Bima dengan gada sakti mandraguna. Dan ia tak butuh kehadiran penonton untuk berdecak kagum atas hasil olah tangannya yang begitu terampil. Semalam suntuk dihabiskannya untuk menyulap kursi invalid agar kembali solid. Aku tersenyum dengan ragam perasaan yang campur aduk jadi satu; sedih, bangga, haru dan terima kasih yang tak terhingga atas segala upaya yang telah dilakukannya.
Ruang tengah sepi. Tak nampakpun penghuni. Ranjang-ranjang kayu di tiap bilik kamar kosong melompong. Imran menghela nafas. Melihatnya pun membuatku nelangsa berat. Dengan langkah gontai, kulihat Imran memastikan semua pintu dan jendela terkunci, rapat tanpa celah. Lalu menerjang subuh merah yang merayap terang dengan genggaman erat di stang gas yang mengaum garang. Aku terbirit-birit mengikutinya, melaju bersama hembusan angin yang menerjang kencang. Dapat kusimak wajah Imran mengkaku, mulutnya diam membatu, matanya kuyu dengan sedikit bulir airmata kemarahan dan kekecewaan.
Aku sudah menduga klinik dokter Kurnia Basho yang menjadi tujuan Imran. Satu-satunya rumah pengobatan yang tak pernah menutup pintu bagi warga desa yang memerlukan pertolongan karena Puskesmas yang sejatinya menjadi andalan tidak memiliki waktu seleluasa klinik dokter Kurnia Basho.
Imran duduk mematung di atas sadel si kuda besi, ia dan tunggangannya itu berlomba bungkam. Ia terpaku menatap gerbang bermahkota tanaman merambat, Alamanda. Aku tahu kecamuk yang tengah terjadi dalam benak dan batin Imran, maka dari itu sungguh kuberharap, ia segera masuk ke dalam dan bergabung dengan lainnya yang tengah menunggu kepastian tentang kabar kesehatan Ninik Naima. Namun Imran justru memutar-balik motornya dan memilih memacu sekencang-kencangnya menghadang fajar. Rambutnya berkibar-kibar, beradu kecepatan dengan angin yang melesat demikian cepat.
Kutatap kepergiannya itu dengan batin sepenuh masygul…
.)bersambung(.
surau
cacat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI