Dunia pendidikan mungkin sudah tidak asing dengan nama Paulo Freire ia adalah seorang pemikir dan dengan pikirannya itu ia sudah menghasilkan berbagai karya yang dikenal di seluruh dunia. Paulo Freire lahir di Recife, Brasil, diwilayah miskin dan terbelakang dalam hal pendidikan. Pada tahun 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa Oliviera yang juga seorang guru di sekolah dasar, dan memiliki 3 putri dan 2 putra, karena hal itulah ia mulai memberikan perhatian dan waktunya pada pentingnya pendidikan, kelaparan pada usia muda juga menyebababkan Freire mengabdikan hidupnya dalam pendidikan, agar tidak ada lagi anak-anak yang yang kelaparan diluar sana. Paulo Freire menyelesaikan sekolahnya dan masuk di Universitas Recife jurusan hukum, tetapi setelah lulus dan memiliki keluarga fokus Freire tidak lagi terhadap hukum, ia lebih banyak membaca dan mengaplikasikan pengetahuan tentang pendidikan daripada hukum dalam hidupnya. Â Paulo Freire meninggal di usia 75 tahun di rumah sakit Albert Einstein Sao Paolo dikarenakan penyakit jantung yang dideritanya. Selain mewariskan banyak aksara, Paulo juga mewariskan kepribadian yang baik dan terbuka kepada sesama.
Politik menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat dikerahkan untuk mengenal aksara, semata mata penduduk desa hanya menjadi alat untuk mendukung para petinggi di negrinya, di tengah ramainya pengenalan aksara pada masyarakat desa, Freire ditunjuk untuk menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife, dengan metode yang kini dikenal dengan Metode Paulo Freire. Dengan metode nya ini Freire beserta rekan setimnya berhasil membuat para kaum tuna aksara untuk belajar dan memahami apa itu membaca dan menulis hanya dalam kurun waktu 45 hari, dalam pengenalan aksara tersebut Freire berhasil mewujudkan kesadaran akan politik pada kaum tuna aksara dan mereka berhasil ikut dan berpartisipas dalam perkembangan politik secara aktif.
Bab pertama dalam buku pendidikan kaum tertindas membahas tentang kebutuhan pendidikan bagi para kaum tertindas. Memanusiakan manusia juga menjadi tugas manusia itu sendiri walau dalam praktiknya banyak yang tidak menerapkan hal itu entah karena ketidak adilan, kekerasan, dan eksploitasi yang dialami para kaum tertindas, sehingga para kaum tertindas merasa bahwa mereka tidak pernah merasakan apaitu kebebasan. Keinginan untuk bebas yang dialami kaum tertindas mungkin tidak akan pernah dirasakan oleh manusia awam lainnya sehingga gagasan pembebasan muncul dari kaum tertindas sendiri dikarenakan mereka lah yang mengerti dan paling memahami bagaimana rasanya ditindas dan disepelekan oleh orang disekitarnya. Akibat hal itu maka pendidikan bagi kaum tertindas sangatlah penting, para kaum tertindas perlu memahami bagaimana besarnya keinginan mereka untuk bebas, bukan hanya melihat ketidak mungkinan yang ada. Kemungkinan dari hal ini ialah para kaum tertindas bisa menjadi boneka para penindas atau bisa menjadi diri sendiri tetapi harus siap dengan kejamnya kehidupan yang sebenarnya. Dialog dari manusia ke manusia berasal dari kepekaan terhadap kemampuan manusia mencari jati dirinya. Dialog dalam mengendalikan kerendahan hati, dalam hal ini manusia diharap bisa memperlakukan orang sama dan menganggap semua orang adalah sederajat. Pada tahap setelah mengenal aksara, berbeda beda pada setiap negara yang sedang berkembang dan berfokus pada tema yang masuk didalam batasan. Maksud batas yang harus dihadapi oleh manusia disini adalah batas antara ada dan tidak ada.
Bab kedua dalam buku pendidikan kaum tertindas membahas bagaimana proses dalam pendidikan kaum tertindas. Dalam pendidikan lama guru menjadi subjek dalam pengetahuan yang diberikan kepada muridnya sehingga secara tidak langsung murid hanya menjadi objek dalam proses pembelajaran tersebut. Paulo Freire mendasarkan pemikirannya pada kritik terhadap pendidikan gaya bank yang menjadi tradisi pendidikan saat itu bahwa pendidikan adalah aktifitas menerima, mencatat, dan menyimpan oleh guru kepada murid. Menurut Paulo Freire pendidikan gaya bank merupakan pendidikan yang bersifat hierarkhis dalam relasi guru dan murid yang tidak membebaskan, dominatif dalam relasi, pengetahuan, dan ideologi serta tidak memungkinkan muncul sikap kritis terhadap fakta dan pengetahuan, Konsekuensi dari pendidikan gaya bank menurut Paulo Freire adalah tidak mungkin berkembangnya pengetahuan dan tidak adanya dialog untuk melakukan kritik terhadap materi pelajaran Paulo Freire ingin menggantikan system pendidikan seperti itu, hingga akhirnya ia membuat system pembelajaran yang melibatkan murid dan guru bersama menjadi subyek dan disatukan oleh obyek yang ada hingga tidak ada yang hanya menjadi subyek atau obyek saja, guru dan murid bersama sama saling merangkul agar pendidikan menjadi jelas dan terarah karena pada hakikatnya pendidikan adalah tentang ketidaktahuan, untuk itu Paulo Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah Pendidikan  hadap masalah yang dimaksudkan oleh Paulo Freire berbasis pada redefinisi hubungan antara guru dan murid. Menurutnya relasi antara guru dan murid adalah relasi yang partisipatif, relasi yang partisipatif tersebut membawa konsekuensi relasi guru yang murid, dan murid yang guru. Dengan begitu relasi yang partisipatif akan menimbulkan pendidikan yang dialogis, memungkinkan timbulnya sikap kritis yang dimiliki baik itu guru maupun siswa dan juga terbuka terhadap kritik yang diberikan.
Dalam bab terakhir di bukunya Paulo Freire memberitahukan  bahwa tindakan dialogik bertentangan antidialogik. Sehingga  memiliki akhir dari tindakan yang berbeda dalam setiap hal yang akan dipilih. Freire mengatakan dengan tegas dan jelas bahwa tidak ada pendidikan yang netral, sehingga membuat kita semakin teliti dalam hal memilih dan memilah apa yang akan kita pahami agar terhindar dari adanya kesalahan informasi dan kesimpangan dalam hal pendidikan. Dengan banyaknya hal yang sudah dituliskan oleh Freire maka perjuangan akan hal pendidikan masih sangat panjang.
Kesadaran kritis yang akan membukakan jalan para kaum tertindas akan adanya ketidakpuasan dalam hal kebebasan, mengapa para kaum tertindas terdahulu takut untuk menggaungkan kebebasan? Mungkin pertanyaan pertanyaan seperti itu sering terlintas di benak saat membaca buku ini, tetapi dalam hakikatnya manusia memiliki insting dalam bertahan hidup, saat itu para kaum tertindas akan dirundung dengan berbagai cara oleh para penindas sehinggga agar tetap hidup mereka memilih untuk menuruti perkataan para penindas, hal tersebut normal adanya karna manusia ingin bertahan hidup tetapi kekerasan yang dilakukan oleh para penindas bagaimanapun tidak akan bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Manusia kerap kali menutupi rasa takut mereka, bersikap seolah tenang-tenang saja dan baik baik saja padahal dengan begitu kebebasan menjadi seuatu yang tidak lagi penting bagi mereka. Isi buku pendidikan kaum tertindas mungkin akan memunculkan reaksi negatif dari berbagai pembaca yang membaca di seluruh belahan dunia, sehingga pembaca buku ini lebih cocok kepada orang-orang yang radikal, radikalisme yang ditumbuhkan oleh jiwa jiwa yang kritis cenderung lebih kreatif daripada yang tidak kritis, dengan kata lain radikalisme adalah sifat bebas. Tetapi bagaimanapun juga para orang-orang radikal tidak boleh menjadi catur dalam permainan para petinggi negri. Para radikal dibutakan oleh sikap irasionalnya sehingga sering salah menafsirkan apa yang dimaksud. Orang-orang radikal sering merasa terpanggil jika ada usaha dalam pembebasan manusia, sehingga semakin radikal seseorang semakin seseorang terebut melihat pada kenyataan yang ada.
Referensi :
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. LP3ES. 2008.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H