"Orangtua jangan pernah membiarkan anak-anak mereka mengkonsumsi dan mengkulturasikan karakter-karakter yang mereka tonton di TV"
Tulisan ini merupakan release ulang tulisan saya pada kolom opini Harian Bangka Pos edisi 25 Juli 2011. Penulis tergerak merilis ulang tulisan ini dilatarbelakangi oleh pemberitaan di media sosial facebook yang ramai membahas tentang maraknya sinetron anak muda di stasiun televisi swasta saat ini. Dalam berita terebut terpampang gambar seorang anak kecil memegang kertas yang bertuliskan “Pak Jokowi, Lindungi kami dari Sinetron”. Begitulah kurang lebih tulisannya.
Gambar tersebut memberikan pesan kepada kita semua untuk dapat menjaga anak-anak kita dari pengaruh sinetron. Sinetron anak muda bagaikan sebuah penjajahan terhadap anak-anak yang sangat kejam. Pesan-pesan negatif yang tidak terlihat kasat mata begitu mempengaruhi karakter anak-anak kita.
Sebagai orang tua, kita harus segera mengantisipasi agar anak-anak kita tidak “termakan” dengan keindahan palsu sinetron tersebut. Pasalnya, sinetron yang ditayangkan untuk kalangan remaja sudah terkonsumsi oleh anak-anak di bawah umur. Pengaruh negatif pun tidak berhenti mengancam. Anak-anak remaja pun bisa menjadi ikut-ikutan dengan gaya-gaya dan tren anak muda yang tertonton di televisi.
Inilah Tulisan saya yang hadir sebagai sebuah kekhawatiran terhadap maraknya sinetron-sinetron yang sudah digandrungi oleh anak-anak dibawah umur:
TV memang media yang paling akrab bagi semua lapisan masyarakat. TV bisa berfungsi sebagai media hiburan, media informasi, dan media edukasi. Sebagai media hiburan artinya menonton TV untuk refreshing. Sebagai media informasi, TV berperan untuk mentransfer informasi kepada masyarakat. Dengan TV masyarakat akan mengetahui perkembangan dunia. Sebagai media edukasi, TV berperan sebagai sumber belajar. Artinya, TV dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan, pembentukan karakter, dan perkembangan emosional anak. Namun, apakah acara TV kita pro terhadap anak-anak?
Berdasarkan pengamatan dan analisis penulis, ada 11 stasiun TV nasional yang akrab di telinga anak-anak yang bisa dinikmati melalui media digital receiver. Dari 11 stasiun tersebut, dalam 24 jam rata-rata sebanyak 290 acara per hari, khususnya hari Senin sampai Jum’at. Dari 290 acara tersebut hanya ada 54 acara atau 18,62 persen acara yang berlabelkan acara anak. Sisanya 236 atau 81,38 persen layar kaca dilayari dengan acara-acara berlabel dewasa. Konsekuensinya, anak-anak dipaksakan untuk mengkonsumsi program-program berlabel dewasa. Contoh acara dewasa yang akrab dengan anak-anak di antaranya infotainment, berita (news), sinetron, film, olahraga, dan reality show.
Jika diklasifikasikan berdasarkan waktu penayangan. Film-film anak itu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pagi, dan siang-malam. Pada pagi hari acara anak ada 22 acara atau 40,74 persen . Jam tayangnya berkisar antara pukul 4 pagi sampai pukul 9 pagi. Pada siang hari, jumlah acara anak ada 32 acara atau 59,26 persen. Jam tayangnya adalah pukul 12.30 sampai pukul 20.00 WIB.
Acara-acara yang tidak variatif seperti ini membuat anak kadang merasa bosan. Bagi anak-anak tontonan yang ada terkesan monoton. Sehingga mereka lebih suka ikut menyaksikan acara-acara dewasa yang idealnya tidak layak mereka tonton.
Jika boleh dikritisi, dari 11 stasiun TV di atas ada 5 atau 45,45 persen stasiun yang tidak menjadwalkan program anak. TV tersebut hanya diprogram untuk acara-acara berita, musik, infotainment, sinetron, dan film-film dewasa. Dengan demikian semakin kecil pilihan alternatif bagi anak untuk menonton acara mereka. Hanya 6 stasiun atau 54,55 persen stasiun yang menjadwalkan acara anak. Sebaliknya, ada salah satu stasiun TV yang didominasi dengan acara-acara anak. Lebih dari 80 persen programnya adalah program edukatif.
Dari informasi di atas dapat dikatakan bahwa TV kita saat ini tidak pro anak. Acara TV tidak aspiratif terhadap kebutuhan anak. Acara TV kita tidak diimplikasikan sebagai media edukasi. Dengan kata lain, TV kita kurang menayangkan program edukatif. Sehingga hampir setiap hari anak-anak hanya dijejali dengan konsumsi-konsumsi TV yang non-edukatif. Apalagi sinetron-sinetron Indonesia lebih menonjolkan mental konsumerisme, hedonisme, konflik, dan romantisme saja.