Mohon tunggu...
Muhammad Jasimi
Muhammad Jasimi Mohon Tunggu... Editor - Saya Aadalah Seorang Mahasiswa UIN Ar raniry Banda aceh

Game, Bola

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Darahku untuk Prestasimu

9 Juni 2023   08:08 Diperbarui: 9 Juni 2023   17:35 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banda Aceh, Fiqih Ahmad Pulungan-Sekitar pukul 05.15 adzan shubuh berkumandang di Desa Jambo Keupok, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan dengan kawasan pegunungan disekitarnya. Seperti aktivitas di desa desa lainnya, warga desa jambo keupok mengawali hari dengan sambutan segelas kopi pagi. Tepat pada pukul 07.30 suasana hangat yang seharusnya didapat oleh warga Desa Jambo Keupok berubah seketika disaat para aparat negara (TNI) datang dilengkapi dengan seragam gagahnya yang lengkap serta topangan senjata yang seolah mengancam suasana.

 Sabtu, 17 mei 2003 menjadi hari yang paling membekas di ingatan warga Desa Jambo Keupok. Berawal dari arahan aparatur yang memaksa warga desa untuk keluar dari rumah masing masing dan menyuruh mereka berkumpul disalah satu halaman rumah warga. Aparat negara yang pada saat itu mendapatkan informasi bahwa desa tersebut terindikasi kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), langsung mengintrogasi seluruh warga.

 Introgasi yang dilakukan pun terkesan bengis. Perampokan, penjarahan, penindasan, penganiayaan, penyiksaan, bahkan perilaku seperti itu tidak layak untuk diperlakukan kepada Binatang. Tetapi saat itu, seakan hal yang normal pada sekelompok manusia yang belum tentu dinyatakan bersalah. Peluru berhamburan dengan mudahnya seolah menandakan bahwa harga peluru lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Tidak usai sampai disitu, penembakan dan pembakaran 12 dari 16 manusia yang tidak bersalah menutup kebengisan cerita itu.

 Dampak dari konflik Jambo Keupok ini tentu sangat menyakitkan bagi kehidupan para korban pasca konflik sampai sekarang, baik dari segi ekonomi, Pendidikan, dan lapangan kerja yang sulit mereka terima dari pemerintah. Pasalnya, ada beberapa perjanjian yang diabaikan setelah dibuat yang mana didalamnya seharusnya jaminan hidup yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah seperti jaminan hidup termasuk ekonomi jaminan hidup kepada mantan pasukan GAM baik itu jaminan hidup termasuk ekonomi, sosial yang layak. Didalam perjanjian itu, bukan hanya ditujukan kepada mantan kombatan saja tapi juga kepada masyarakat sipil yang bisa menunjukkan kerugian yang jelas maka akan mendapatkan jaminan sosial dari pemerintah Aceh.

 Analisis hukum yang digunakan untuk melakukan analisis terhadap peristiwa tindak Jambo
Keupok adalah dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
yaitu untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya dugaan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dalam peristiwa tindak kekerasan yang terjadi di Jambo Keupok.

 Perlu 13 tahun bagi Komnas HAM untuk mengusut kasus ini.dan selama itu pula para korban menelan asinnya air mata mereka sendiri. 14 Maret 2016, Komnas HAM menyerahkan berkas Jambo Keupok ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk mengusut kasus ini. Komnas HAM menyebut beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kasus itu, antara lain Panglima TNI 2003, Dandim 0107 Aceh Selatan 2003, Danramil Bakongan 2003, Komandan Pemukul Reaksi Cepat dari Batalyon 502 Linud Divisi II Kostrad, Komandan Satuan Gabungan Intelijen, Pimpinan Para Komando, Bupati Aceh Selatan 2003, Kapolsek Bakongan 2003, dan seorang cuak..

 Alih alih  menjadi kemenangan bagi para korban untuk menuntas keadilan, berubah menjadi sesuatu yang terkesan tidak ada ujungnya. Pasalnya, sampai sekarang belum ada respon memuaskan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan negara terhadap para pelaku. 13  Tahun lamanya mengangkat kasus ini ke Kejaksaan Agung. 

 Tentunya bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kasus pelanggaran HAM berat. Penantian yang tak sebentar inipun memaksa para korban hidup dalam kecemasan. Seakan terlalu sulit untuk mengikhlaskan tetapi sangat lebih sulit mendapatkan keadilan atas apa yang sudah direnggut dari mereka.

 Pemerintah seolah buang muka atas permasalahan ini. Tidak seorang pun yang bertanggung jawab atas kejadian keji ini. Dampak dari pengakuan yang tak kunjung datang ini adalah hak yang belum didapat korban sampai kini. Hanya berkas yang sudah sampai tujuan sementara itu penyelesaian hanyalah angan-angan belaka. Selama masalah ini belum dapat terselesaikan selama itu juga kasus ini akan tetap menjadi dosa pemerintah. Permasalahan ini harus diusut sampai tuntas hingga menemukan jalan keluarnya. Bagaimana bisa mereka mengambil nyawa orang-orang yang hidup diatas tanah airnya sendiri, bukankah itu sebuah penindasan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun