TGB sebetulnya namanya dibesarkan oleh gerakan 212. Seiring popularitas gerakan 212, mencuat juga nama TGB. Dianggap mampu menjadi magnet besar untuk melawan penguasa TGB pun tiba tiba harus berurusan dengan hukum.Â
Soal hukum di jaman now ini semua orang juga tahu, bukan soal benar salah tetapi soal bagaimana kepentingan penguasa. Kasus golkar dan PPP yang menang di pengadilan pun bisa diabaikan untuk kemudian dijungkirbalikkan menjadi pihak yang salah dan kalah. Ya, praktek premanisme di bidang hukum yang menjijikkan. Tapi apalah suara publik, toh mantan presidenpun dibuat geregetan karena banyaknya calon di pilkada yang di kriminalisasi saat masa kampanye dan proses - proses politiknya berlangsung.
Pelaku kriminal politik ini memang tidak punya malu menjalankan premanisme politik dan segala kebohongannya. Soal bohong, tanya saja pada publik, siapa politisi di negeri ini yang diingat sebagai Tukang Bohong? Maka akan muncul satire satire seperti pinokio, petruk, kodok, martobat dan lainnya.
Sebenarnya TGB bukan satu2 nya korban politik premanisme. Sebelumnya ada HT yang kuat nuansa kriminalisasinya, sampai semua semua kasus hukumnya tiba - tiba di hentikan begitu dukungan politik di belokkan mendukung begajul. Apakah ini politik beretika? Di satu sisi gembar gembor melawan hoax, hate speech dsb. Disisi lain dialah pelaku premanisme politik sekaligus penyebar hoax dan hate speech. Si begajul ini lupa bagaimana cara dulu dia menang, dan cara sekarang mempertahankan gigitannya pada bangsa ini.
Wajar masyarakat bertanya - tanya. Apakah begajul ini representasi dajjal? atau reinkarnasi Hitller. Mungkin bukan karena dajjal identik dengan kelompok tertentu, bukan juga Hitler, karena begajul bukan melawan bangsa lain tetapi justru berkianat pada bangsa sendiri.
Semoga rakyat bisa paham dengan keputusan TGB berubah haluan. Siapa tidak gentar menghadapi ancaman pasti jika melawan begajul? Sama persis dengan HT yang gamang jika MNC grup miliknya ambruk gara gara tidak menurut perintah preman.
Kita tidak perlu bermimpi munculnya ratu adil untuk menumpas si begajul. Rakyat lah sang ratu adil itu, rakyat yang masih cinta republik ini, rakyat yang masih menghargai jasa para pahlawannya. Bagaimana rakyat bisa menjadi ratu adil? dengan tidak memilih si begajul untuk kembali berkuasa.
Rakyat memang tidak punya senapan, tidak juga dana melimpah. Tetapi ini adalah tanah para pejuang. Tidak ada negara lain yang memiliki pahlawan sebanyak yang dimiliki negeri ini.Â
Pada era paska proklamasi pun begitu banyak perjuangan nyata yang signifikan. Bukan dipimpin oleh mereka yang disebut berkuasa saat itu, tapi rakyat biasa. Ada Jendral Soedirman di Jogja dan sekitarnya, Bung Tomo di Surabaya, bahkan Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa bisa begitu membara tanpa harus ada super hero yang muncul. Ya semua ini karena ini negeri para pejuang.
Mari kita robohkan setan yang berdiri mengangkang. Semoga begajul dilaknat oleh para leluhur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H