Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seorang Ibu yang Shalat di Pematang Sawah

16 Mei 2010   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:10 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_142325" align="alignright" width="149" caption="(foto: islamic clip art)"][/caption] SIANG ITU, saya tengah mencoba sepeda motor yang akan saya pakai mendampingi bos saya, anggota DPR RI Aria Bima, yang melakukan kunker (kunjungan kerja) di Solo, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan seputarnya. Ketika itu saya melewati kawasan industri di Desa Purwosuman, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pada saat inilah saya menjumpai seorang ibu tengah duduk di pematang sawah, di bawah terik matahari sekitar pukul satu siang. Awalnya saya kira ibu itu sedang mencari rumput atau, maaf, buang hajat dengan sembarangan. Tapi ketika motor saya berada di jalan aspal bergelombang, tepat di belakang posisi duduknya, tiba-tiba badan saya merinding. Subhanallah (Maha Suci Allah), ibu itu rupanya sedang sembahyang... Karena tertarik dengan pemandangan unik yang baru pertama kali saya lihat tadi, sepeda motor pun otomatis saya pelankan larinya. Hati saya makin terharu ketika mengetahui ibu itu melakukan shalat khusyuk dengan cara yang amat bersahaja. Bayangkan, ibu itu shalat di atas pematang sawah, dengan sajadah selembar karung plastik mirip karung bekas wadah pupuk petani. Ia sembahyang tidak mengenakan mukena putih sebagaimana lazimnya muslimah shalat, akan tetapi hanya berkebaya dan bagian bawah tubuh dililit kain batik --seperti busana sehari-hari ibu saya dan para perempuan Jawa lainnya yang sudah sepuh di desa-desa. Kepala ibu itu ditutup secarik kain berwarna biru, yang betul-betul hanya selembar kain, namun memerankan fungsi menjadi semacam kerudung atau jilbab. Beberapa ekor kambing jawa berbulu cokelat semu hitam asyik merumput di dekat ibu salehah tadi. Seorang ibu marhaen yang salehah, tepatnya. Saya tak sempat berhenti dan bertanya kepada ibu itu. Tapi saya yakin, kambing-kambing ini adalah hewan yang tengah digembalakan ibu tadi. Sebab setahu saya, bukan kebiasaan orang-orang desa di sekitar rumah saya untuk membiarkan kambingnya pergi merumput tanpa didampingi pemilik atau tukang penggembalanya. (Sehari kemudian, tatkala saya melewati jalan yang sama, ternyata saya bertemu ibu itu lagi, yang memang seorang penggembala kambing). Melihat pemandangan itu, imajinasi saya pun secara refleks membayangkan kehidupan para Nabi utusan Allah. Bukankah Ibrahim, Musa, Isa, atau Muhammad, juga seorang penggembala kambing? Kenapa Allah menyukai mengirim Nabi yang berprofesi sebagai penggembala kambing? Benak saya bertanya sendiri. Mungkin karena Nabi tugas utamanya menggembalakan manusia, maka menjadi penggembala kambing adalah salah satu proses magang para calon Nabi untuk bisa menjadi penggembala manusia yang baik. Ini jawab saya sendiri. Mungkin terkait logika itu pula, dalam khazanah agama Katolik, seorang pastor acap disebut sebagai penggembala, sedangkan jamaahnya menjadi gembalaannya. Saya kemudian tersenyum sendiri. Sebab saya jadi ingat, suatu ketika --sewaktu saya masih sempat sesekali mengajar murid-murid TPA (Taman Pendidikan Al Quran) di masjid di rumah saya-- saya pernah membesarkan hati beberapa murid TPA yang mengisi waktu luang sepulang sekolah untuk membantu orangtuanya menggembalakan kambing. Ketika itu kebetulan saya kehabisan bahan untuk mengisi materi pelajaran TPA. Saya katakan kepada anak-anak TPA itu, "Dalam agama Islam itu tidak dikenal pembedaan antara jenis pekerjaan kasar atau pekerjaan halus. Pekerjaan yang bergengsi atau tidak bergengsi. Yang ada adalah pekerjaan halal atau pekerjaan haram. Menggembala kambing adalah sebuah pekerjaan yang halal. Jadi kalian jangan malu menjadi penggembala kambing. Sebab Nabi kita pun seorang penggembala kambing. Saya sendiri ketika masih SD juga menggembalakan kambing seperti kalian." Merasa Malu Sendiri Sepulang pertemuan tak sengaja dengan ibu yang shalat di tengah sawah itu, benak saya terus terngiang-ngiang peristiwa yang saya anggap istimewa ini. Mengingat momen itu, saya menjadi merasa malu sendiri. Mungkin perjumpaan saya dengan ibu tadi sudah diatur Allah sedemikian rupa. Yakni, sebagai sarana Allah untuk mendidik saya agar lebih taat dan istiqamah (konsisten) menjalankan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Sebab betapa sering ritme kehidupan yang sibuk, juga pekerjaan yang tambah padat, di Jakarta belakangan ini membuat saya acap menjamak shalat secara "semau gue". Artinya, hanya karena alasan duniawi yang sepele, seperti kedatangan tamu atau tengah menyelesaikan tugas kantor, saya sudah memiliki alasan untuk menggabungkan dua shalat yang berlainan waktu menjadi satu waktu sekaligus. Perjalanan pulang dari kantor di Senayan (Jakarta) ke rumah di Bintaro (Tangerang), yang hanya perlu saya tempuh naik KRL sekitar setengah jam, pun bisa saya pakai sebagai alasan untuk mengkategorikan diri saya sebagai musafir :-). Alasan yang, sadar atau tidak, saya buat semata-mata supaya saya bisa menjamak shalat lagi. (Padahal, ibu penggembala tadi, jika mau, lebih memiliki alasan untuk menjamak shalat zuhurnya dengan shalat ashar ketika pulang ke rumah seusai menggembalakan 4 ekor kambingnya. Tapi toh, pilihan ini tak dilakukannya. Sebab ia lebih memilih shalat tepat pada waktunya, di mana pun ia berada). Ya Allah, ampunilah hambamu yang sembrono ini...Betapa tidak bermutunya diri ini dibandingkan dengan ibu penggembala tadi; ibu bersahaja yang tidak menjadikan segala keterbatasannya sebagai alasan menunda-nunda shalat kepada-Mu. Ibu yang tidak memanipulasi segala kekurangannya, segala kemiskinannya, untuk menjustifikasi ketidaktaatan kepada-Mu. Seorang ibu yang dengan segala ujian kekurangan dan kemiskinannya masih mampu senantiasa bersujud syukur kepada-Mu. Sementara aku yang secara pendidikan dan materi lebih Engkau manjakan, betapa seringnya bersikap kufur kepada-Mu...[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun