Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merah Putih di Dadamu, Masihkah Ada?

13 Agustus 2010   15:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih adakah merah putih itu di dadamu? Merah bukan berarti berani korupsi, putih bukan berarti sok suci... MERAH PUTIH amat luhur maknanya. Merah berarti berani. Putih berarti suci. Dengan demikian, merah putih artinya berani karena suci. Para pejuang kemerdekaan Indonesia berani menyabung nyawa demi memperjuangkan kemerdekaan karena meyakini bahwa perjuangan kemerdekaan itu suci. Sebaliknya penjajahan merupakan keburukan atau kejahatan. Karena itulah, seperti ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, penjajahan yang merupakan lawan dari kemerdekaan harus dilawan dan dihapuskan dari seluruh muka bumi. Dengan begitu, sang dwiwarna merah putih juga melambangkan, betapa luhurnya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terlebih bendera kebangsaan itu tidak jatuh dari langit kosong atau timbul dari angan-angan muluk para pendiri bangsa, melainkan hasil kristalisasi keringat dan darah pejuang kemerdekaan. Merah senantiasa mengingatkan bahwa kemerdekaan tidak kita peroleh secara cuma-cuma atau hadiah dari bangsa lain. Kemerdekaan kita raih melalui kerja keras para pendiri bangsa dan tetes darah putra-putri ibu pertiwi yang gugur di medan tempur. [caption id="attachment_225442" align="alignleft" width="266" caption="Pejuang Kemerdekaan Memanggul Senjata"][/caption] Sementara putih mengingatkan kita bahwa kemerdekaan memiliki tujuan suci sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Yakni bahwa kita merdeka untuk membentuk pemerintah berdaulat, dan dengan pemerintahan yang berdaulat itu kita akan mencapai tujuan untuk (1) memajukan kesejahteraan umum, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, (3) melindungi segenap warga negara dan tumpah darah Indonesia, serta (4) ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan sosial yang abadi. [caption id="attachment_225441" align="alignright" width="267" caption="Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945"][/caption] Dan setiap tanggal 17 Agustus, kita ramai-ramai memajang bendera merah putih di tiang bendera, di halaman rumah, pabrik, atau kantor kita. Pertanyaannya, masihkah kita benar-benar menghayati arti merah putih itu? Atau, jangan-jangan, kita hanya latah saja memasang merah putih, tanpa memahami maknanya? Jika memang kita memahami makna merah putih, pertanyaan selanjutnya adalah: masih adakah spirit merah putih itu di dadamu? Merah bukan berarti berani korupsi. Putih bukan berarti sok suci.Tetapi merah dalam arti berani dan putih bermakna suci. Dengan kata lain, apabila merah putih betul-betul bersemayam di dada kita, semestinya kita semua menjadi insan pemberani dalam memperjuangkan tujuan atau cita-cita kehidupan yang baik atau suci. Kita harus berani melawan anarkisme kelompok minoritas garis keras yang mengancam kerukunan beragama; berani melawan vandalisme ormas-ormas tertentu yang gemar main hakim sendiri dengan mengumbar kekerasan; berani melawan aparat sewenang-wenang yang mempermainkan hukum atau menyalahgunakan kekuasaan; berani melawan korupsi berjamaah yang menggerogoti kemakmuran rakyat banyak; berani melawan terorisme berjubah agama yang terus menebar ancaman bagi seluruh negeri. Dan semua keberanian itu memiliki tujuan yang suci, yakni merawat kemerdekaan bangsa kita, yang merupakan anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya. [caption id="attachment_225446" align="alignleft" width="237" caption="Brutalisme Minoritas Garis Keras "][/caption] Tetapi masih adakah keberanian itu betul-betul bersemayam di dada kita dan tidak sekadar menjadi wacana atau retorika? Soal korupsi, misalnya. Boleh jadi kita bisa berteriak garang terhadap para koruptor jika yang menjadi pelakunya orang lain. Tapi jika koruptornya teman atau keluarga kita sendiri, bisakah kita bersikap tegas? Atau bila peluang untuk berbuat korup tersebut justru menghampiri diri kita sendiri, punyakah kita keberanian untuk berkata "tidak" atau malah diam-diam ikut menikmatinya dengan dalih "toh semua orang juga melakukan"? Kiranya bersikap konsisten alias berani berkata "tidak" dalam situasi yang melibatkan kepentingan diri sendiri itulah yang tersulit dilakukan. Apalagi situasi lingkungan di sekitar kita semakin pragmatis dan menjadi ajang pamer kekayaan dan keserbamewah-mewahan . Tanpa dilandasi itikad suci untuk menyelamatkan negeri atau kesadaran suci bahwa korupsi sama dengan mencuri hak bangsa sendiri, maka bisa diduga rata-rata diri kita akan sulit berkata "tidak" ketika tawaran-tawaran menggoda itu datang. Oleh karena itu, spirit merah dan putih tidak bisa berjalan sendiri-sendiri atau dipisah-pisahkan. Tidak banyak gunanya kita memiliki hati atau pikiran yang suci saja tanpa memiliki keberanian untuk bersikap atau bertindak. Sebaliknya, kita juga tidak bisa asal bersikap atau berbuat tanpa niat, landasan, atau tujuan yang baik dan benar, atau dengan kata lain suci. [caption id="attachment_225454" align="alignright" width="300" caption="Daftar Koruptor Buron (foto: infokorupsi.com)"][/caption] Maka, di hari-hari perayaan kemerdekaan Republik tercinta, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan sekarang ini, marilah setiap diri kita melakukan muhasabah atau instrospeksi: masihkah ada cukup merah putih di dadaku sekarang ini? Jika masih ada, mengapa kita terus menerus korupsi? Jika masih ada, mengapa kita terus menerus meneror bangsa sendiri? Jika masih ada, mengapa kita ikut mencabik-cabik keharmonisan rumah bersama kita, Indonesia, dengan brutalisme, vandalisme, anarkisme, amuk massa, dan sikap mau menang dan merasa benar sendiri? Jangan-jangan merah di dada kita sekadar berani, namun tanpa didasari niat dan itikad yang suci. Keberanian yang lebih menggambarkan sikap "ujub" (arogan), sok kuasa, aji mumpung, keserakahan, dan kesombongan belaka. Sebuah sikap yang lebih menggambarkan karakter setan daripada merefleksikan pesan-pesan suci Ilahi. Naudzu billahi min dzalik, semoga Allah menjaga kita dari kemungkinan terperosok ke dalam perilaku keji itu. Merdeka!!! [] Jakarta, 13 Agustus 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun