Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lima Jenis Anggota Dewan

5 Mei 2010   18:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_134180" align="alignleft" width="392" caption="Anggota DPR Tidur Ketika Sidang (foto: politikana.com)."][/caption] ADA berapa jeniskah anggota DPR itu? Jika memakai kriteria fraksi atau asal partai, tentu tak sulit menjawabnya. Namun tulisan ini ingin mengelompokkan anggota dewan dari segi sikapnya ketika mengikuti sidang. Ini merupakan hasil pengamatan sambil lalu saya, khususnya di ruang sidang Komisi VI, tempat saya biasa nongkrong sehari-hari. Karena ini hanya observasi sambil lalu, wajar jika tanpa metodologi tertentu. Pokoknya ya sekadar mengamati, yang penting tidak mengamati sambil tidur, seperti karakter khas sebagian wakil rakyat yang "hobi" sidang sembari tidur hehehe... Nah, berdasar pengamatan saya, perkembangan mutakhir membuat saya bisa mengelompokkan mereka menjadi setidaknya lima kategori. Pertama, anggota dewan yang "hobi" menggurui ketika maksudnya bertanya. Ini lazim dilakukan anggota dewan berusia tua. Mungkin karena senioritasnya, tipe ini jika bertanya malah mengungkapkan semacam kuliah, wejangan, atau "ngeles" istilah anak sekarang. Siapa pun yang menjadi mitra sidang, model pertanyaannya ya begitu-begitu saja. "Pertanyaan" yang ujungnya justru menimbulkan tanda tanya bagi para pendengarnya: Jadi, apa yang ditanyakan oleh bapak tadi atau ibu barusan? Maklum, omongannya tidak fokus, muter-muter nggak karuan, dan kesimpulannya kabur. Maka tipe ini banyak menyita waktu dan paling sering diingatkan pimpinan sidang agar segera menyudahi omongannya. Oleh karena itu, baru-baru ini, Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, sempat mewanti-wanti para anggota komisinya agar tidak ber-"tausiyah" ketika mengajukan pertanyaan. Maksud Pak Airlangga, apalagi jika bukan "pertanyaan" yang justru menguliahi tadi. Kedua, tipe anggota dewan yang berlatar belakang akademisi. Masuk grup ini tak hanya mantan dosen atau guru besar, tapi juga sarjana kinyis-kinyis alias "fresh graduate" yang mungkin karena banyaknya uang orangtuanya atau posisi penting ortunya, bisa melenggang menjadi anggota dewan di usia sangat muda. Tipe wakil rakyat yang masih bau kampus begini, baik yang profesor maupun yang bau kencur, suka mengutip teori atau pernyataan ilmuwan untuk memberi nuansa ilmiah atau tampak berbobot pertanyaannya. Mungkin, dalam bahasa yang agak negatif --meminjam istilah Bung Karno- mereka bisa dikategorikan bergaya "text-book thinking". Dalam persidangan Komisi VI belum lama ini, wakil rakyat jenis ini mengemuka, misalnya, dari sosok Prof. Dr. Hendrawan Supratikno. Namanya guru besar, ya banyak referensi atau catatan kaki. Maka, ketika mengajukan pertanyaan, Pak Hendrawan menyitir beberapa teoretisi ekonomi yang saking sulit dieja namanya, sekali mendengarnya pun saya sulit untuk mengingatnya lagi dan menuliskannya di sini. Atau, bisa juga, ini karena saya yang terlalu bodoh dan atau tidak sepintar Pak Guru Besar itu...hehe. Hanya nama Bung Karno, yang juga dikutip Prof. Hendrawan, yang sukses saya ingat. Itu pun apa yang diucapkan Bung Karno sulit saya hadirkan persis di sini. Sebab sang profesor menyajikannya dalam "bahasa penjajah", bahasa Belanda. Yang jelas, saya pernah membaca kata-kata Bung Karno itu, yang kira-kira artinya ialah: jangan sampai kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa lainnya. Mungkin tak mau kalah atau memang sejenis dengan Prof. Hendrawan, Ahmad Mumtaz Raiz, anak Pak Amien Rais, yang belum terlalu lama lulus dari kuliahnya di FE UGM (jadi masih bau "fresh garduate") termasuk kategori anggota dewan bergaya akademisi. Meski, tentu saja, kelasnya di bawah Prof. Hendrawan atau ayahnya sendiri: Profesor emeritus (guru besar pensiunan) Amien Rais. Dengan suara agak cempreng dan intonasi terkesan belum percaya diri, Mumtaz menyitir teori David Ricardo, seorang pemikir ekonomi klasik, ketika bertanya. Mendengarnya, spontan mulut usil saya berkata, "Out of date!" "Iya, kadaluarsa. Ricardo kok masih dikutip," kata Wisnu Kresno, staf ahli anggota dewan lainnya, yang duduk di sebelah saya. Dalam hati saya akui, kali ini Mas Wisnu lihai menjadi mufasir (ahli tafsir) celetukan saya. Hahaha. Tipe ketiga ialah anggota dewan yang maunya beretorika menggelora tapi tidak pada tempatnya. Ini mengemuka dari anggota dewan yang maaf, terutama, berasal dari Fraksi Partai Demokrat. Mungkin ingin tampil heroik seperti anggota dewan dari partai oposisi, mereka pun menata retorika sedemikian rupa, namun justru sering lupa substansinya. Maklum, posisi mereka yang harus mengawal pemerintah, sementara mitra sidang seringnya wakil pemerintah, acap membuat mereka salah tingkah. Seorang anggota dewan perempuan jenis ini, dalam sidang gabungan dengan lima menteri bidang perekonomian belum lama ini, misalnya, berteriak lantang. "Para bapak dan ibu menteri adalah pahlawan kita semua. Mari kita bertepuk tangan lebih dulu untuk para pahlawan kita," ucapnya dengan suara cukup menggelegar. Namun, ironisnya, tak satu pun orang-orang di ruang sidang itu bergerak memberikan aplaus. Bahkan juga tak satu pun anggota dewan yang separtai dengan ibu tadi, yang menjadi fraksi mayoritas, mau bertepuk tangan. Yah, para menteri Presiden SBY itu kan belum genap seratus hari bekerja (ketika peristiwa ini terjadi). Apa alasannya disebut "pahlawan kita"? Tidak jelas "asbabun nuzul" dan "asbabul wurud" atau konteks ajakan tepuk tangan dan gelar pahlawan sang ibu anggota dewan tadi. Hasilnya malah, maaf, terkesan asbun alias asal bunyi saja. Memang, ada menteri "stok lama" di deretan wakil pemerintah itu. Misal Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tapi semua tahu, Sri Mul tengah disorot publik dan DPR gara-gara perannya dalam kasus Bank Pencury, eh Century. Jangankan mempahlawankan, malah banyak mahasiswa yang turun ke jalan, seraya menjuluki Jeng Sri sebagai, maaf, "maling" atau merekayasa fotonya menjadi mirip drakula... Sementara Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, yang juga stok lama, hari itu malah "menjadi tertuduh" di Komisi VI. Sebab ia dianggap paling bertanggung jawab meloloskan pelaksanaan kawasan perdagangan bebas China-ASEAN (ACFTA) yang diprediksi bakal menghancurkan industri dalam negeri. Kementerian Perdagangan mengatakan, perdagangan RI dengan China lima tahun terakhir menguntungkan, dengan ukuran volume dagang China-ASEAN yang meningkat tajam. Sayangnya, bukti statistik resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), justru memperlihatkan selama volume dagang ASEAN-China bertambah, posisi neraca perdagangan Indonesia dengan China justru defisit alias rapor merah untuk RI. Di luar itu, tatkala perdagangan China-Indonesia meningkat, justru tak sedikit pabrik-pabrik di Indonesia gulung tikar alias terjadi deindustrialisasi, lantaran produknya kalah bersaing dengan China. Pabrik paku saja, yang sepele, tutup sampai 50% gara-gara kalah menghadapi serbuan paku negeri Tirai Bambu. Padahal, China memproduksi paku dengan bahan baku pasir besi yang diimpor dari Indonesia.... So, bagaimana dalam situasi seperti ini Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu bisa kita "pahlawankan"? Tipe keempat ialah anggota dewan yang rajin "bertanya" dengan senyum dan penampilannya belaka. Ada setidaknya dua anggota dewan, sayangnya perempuan semua, yang masuk jenis ini. Mungkin keduanya kelewat banyak membaca majalah gaya hidup atau sejenisnya...Sebab, kedua ibu atau mbak anggota dewan ini rajin datang dan selalu berpenampilan menawan. Bahkan tak jarang senyum rupawan terhias di wajahnya yang memang menarik dijadikan sasaran pandangan...("Gadhul bashar....gadhul bashar Pak"...saya pun jadi ingat seruan kawan aktivis di kampus dulu, yang rajin mengingatkan saya agar menundukkan pandangan ketika melihat wajah-wajah cantik dan menarik hehehe). Dari kedua ibu muda tadi, yang satu tampak serius menyimak, meski tampaknya tak begitu bisa memahami berbagai persoalan bangsa yang terpapar di hadapannya. Penampilannya tampak anggun, "charming", dan "smart", seperti Menlu AS Hilary Clinton, yang tengah berkerudung tipis tatkala mendampingi Presiden AS Barack Obama di sebuah masjid kuno di Mesir. Cuma saya tidak tahu, maaf, apakah otaknya juga se-smart penampilannya.... Sebab agenda persidangan Dewan Perwakilan Rakyat mestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengungkapkan pembelaan atas masalah-masalah rakyat...bukannya sekadar menjadi arena tampil mempesona, ibarat "catwalk" belaka. Atau, barangkali, ia mempersamakan ruang sidang DPR dengan bangku kuliah: yang penting datang pagi, duduk manis di mejanya, rajin mencatat, tidak menjadi "trouble maker" di ruang kelas, cukup sudah...Hmm, barangkali ia lupa, gaji besar dan fasilitas wah yang dinikmatinya hasil keringat dan darah rakyat. Bukan hujan duit yang jatuh dari langit. Ibu muda atau mbak satunya lebih parah lagi. Rambut selalu tergerai hingga ke punggung. Ia selalu rapi jali, mungkin wangi juga, dan mengenakan pakaian-pakaian yang "eye-catching" dan "matching", yang dari melihatnya sekilas, saya bisa menebak harganya, bisa jadi, di atas gaji sebulan saya per stelnya. Tapi, dari memantau gerak-geriknya selama persidangan, saya tak yakin otaknya juga "matching" dengan apa yang tengah diperdebatkan, kadang dengan panas, oleh para wakil rakyat lainnya. Wajahnya acap menampilkan "aura" jenuh, "out of focus", seolah tak tertarik dengan masalah-masalah politik yang tengah dibahas. Karena itu, wajar jika ia sering senyum-senyum sendiri dengan blackberry hitam di tangannya. "Iya, penampilannya lebih cocok sebagai aspri," komentar seorang kawan staf ahli. Aspri singkatan dari asisten pribadi, istilah lain sekretaris anggota DPR. "Seperti pemain sinetron atau penyanyi dangdut. Wajah dan penampilannya sama sekali tidak politis," kata seorang kawan lainnya. Hehehe...saya sendiri bingung, yang dimaksud "wajah politis" seperti apa, bak wanita karir barangkali. Tipe kelima adalah anggota dewan dengan "trademark" 4 T. Ini tipe terbaru, hehe. Empat T di sini ialah: Tidak pernah datang, tidak pernah duduk, tidak pernah membolos, tapi selalu terima gaji....hihihi. Kenapa disebut tiper terbaru? Sebab sebelumnya yang populer hanya 3 D (datang, duduk, duit). Lho, tidak pernah atau jarang datang dan duduk, kok juga tidak pernah membolos, "piye tho"? Itulah ajaibnya sistem absensi di gedung DPR. Walaupun jarang atau tidak pernah datang ke acara sidang, namun daftar hadir si wakil rakyat tadi belakangan ada paraf atau tanda tangannya... Yah, kita tahulah, itulah "permainan khas" Indonesia: kongkalikong dengan petugas absen atau meminta anak buah mewakilkan tanda tangan. Semua bisa diatur, asal ada uangnya... Kepada jenis anggota dewan terakhir ini, saya kadang bertanya sendiri: Jika mereka enggan mengikuti sidang, sebagai tugas pokoknya sebagai anggota dewan, mengapa juga mau-maunya maju menjadi caleg? Bukankah itu artinya menyia-nyiakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan saja di hadapan rakyat, melainkan juga di depan Tuhan? Apakah mereka tidak merasa tidak enak atau malu dengan ketidakhadirannya yang seolah menjadi rutinitas? Mengapa tega makan "gaji buta" puluhan juta per bulan tanpa melaksanakan tugas mulia? Setidaknya, jika tidak malu kepada diri sendiri dan Tuhan, mengapa minimal tidak khawatir disorot "antek-antek" media massa yang tiap hari bersliweran di persidangan? Hmm, saya kadang merenung, jika kelak saya terpilih menjadi anggota dewan, sanggupkah melakoni praktek politik khas Indonesia ini? Dalam arti, jarang datang, jarang duduk di ruang sidang, tapi selalu tidak lupa mengambil gaji? Semoga saja tidak dan takkan pernah... amin. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun