Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

HKBP dan FPI, Otokritik Seorang Muslim...

20 September 2010   17:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_263892" align="alignleft" width="250" caption="Patung "Tiga Mojang" Bekasi yang menjadi sasaran serangan FPI dkk sebelum kasus penusukan Pendeta HKBP (foto: beritapopuler.com)."][/caption] Sebagai Muslim, saya sering merasa malu sendiri dengan sikap standar ganda yang diperlihatkan sebagian umat Islam Indonesia. Di satu sisi mereka mendukung rencana pendirian masjid di "ground zero" New York, AS, atas nama kebebasan beragama dan hak beribadah umat Islam. Namun, di sisi lain, mereka menentang pendirian rumah ibadah agama lain, dalam hal ini gereja jemaat HKBP Bekasi, di Ciketing Bekasi. Bahkan, mereka beberapa kali telah menghalangi hak-hak jemaat HKBP Bekasi untuk menunaikan peribadatannya, termasuk menyerang dengan kekerasan. Mestinya, jika adil, atas nama kebebasan agama dan hak asasi beribadah pula, umat Islam harus mendukung rencana pendirian gereja jemaat HKBP Bekasi di tempat yang diinginkan, yaitu tanah milik mereka sendiri. Sebab sikap adil (tawazun) terhadap kelompok agama lain ini lebih dekat kepada ketakwaan seperti yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini difirmankan Allah dalam Al Quran, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Quran Surat/QS Al Maidah 8). Menurut ajaran Islam yang sejati pun ada keharusan bagi umat Islam untuk menghormati pemeluk agama lainnya. Apalagi Nabi Muhammad sendiri telah memberi contoh dalam Piagam Madinah, bagaimana beliau menjamin kemerdekaan umat Yahudi dan umat Nasrani penduduk Madinah untuk menunaikan peribadatannya. Mengapa teladan sikap toleran (tasamuh) Nabi Muhammad SAW ini tidak dicontoh umat Islam khususnya warga Ciketing, Bekasi? Bukankah sering dikatakan oleh umat Islam bahwa Muhammad qudwatuna (Muhammad teladan kami)? Mengapa umat Islam tidak ittiba' (meniru) perilaku Nabi ini? Padahal segala perkataan, perbuatan, bahkan juga diamnya Nabi Muhammad adalah sunnah (rujukan) yang harus dilaksanakan oleh umat Islam, kecuali Allah menetapkan lain. Nabi juga melarang umat Islam menyerang orang tua yang tak berdaya dan kaum perempuan, bahkan dalam situasi peperangan sekalipun. Namun, mengapa mereka yang mengklaim sebagai umat Islam di Ciketing, Bekasi, menyerang seorang pendeta perempuan dan sesepuh jemaat yang sedang beribadah? Bila bukan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan rujukan, lantas kepada siapa mereka yang mengaku Islam itu berkiblat? Saya yakin, perilaku sebagian umat Islam yang justru tidak Islami ini lantaran mendapat input yang tidak benar dari para ustad, dai, pendakwah, atau ormas garis keras yang terlibat dalam kasus ini. Dan input tersebut jelas bukan bersumber dari ajaran orisinal Islam sebagaimana dituntunkan Nabi Muhammad, melainkan merujuk kepada emosi atau hawa nafsu mereka sendiri. Dengan kata lain, secara lahiriah (dzahir) bisa saja mereka mengaku pengikut Muhammad, akan tetapi perilakunya justru mengkhianati ajaran luhur Nabi Muhammad sendiri. Secara lahiriah bisa jadi mereka meneriakkan Allahu Akbar ketika menyerang umat lain yang tengah beribadah, namun substansinya justru menuhankan hawa nafsu sendiri. Lebih merasa malu lagi tatkala saya menyadari bahwa umat Islam di Bekasi khususnya dan negeri ini umumnya adalah umat yang mayoritas jumlahnya. Ketika umat Islam menjadi umat mayoritas di negara-kota Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad, mereka mengayomi dan melindungi umat agama lain, dalam hal ini umat Yahudi dan Nasrani. Melalui Piagam Madinah, kedua umat ini pun dijamin hak-hak atau kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya. Namun perilaku beringas yang diperlihatkan sebagian kecil umat Islam di Ciketing, yang beberapa kali menyerang jemaat HKBP yang sedang beribadah, justru memperlihatkan mental merasa tidak aman dan ketakutan yang berlebihan (fobia) terhadap umat yang berbeda. Padahal perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan senantiasa mewarnai keragaman. Dan keragaman adalah sunatullah (ketetapan Allah atau natural law) yang tak bisa dibantah. Allah sendiri telah mewanti-wanti dalam Al Quran, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus 99). Maka tak benar jika ulah salah kaprah itu ditafsirkan sebagai mewakili ajaran Islam atau sikap mayoritas umat Islam. Sekali lagi, mental agresif tadi hanyalah milik sekelompok minoritas umat Islam, yang sadar atau tidak justru menggambarkan bahwa mereka memang kelompok minoritas yang beringas. Atau minimal mereka telah teracuni oleh gagasan kelompok minoritas Islam garis keras, yang secara diam-diam maupun terang-terangan berdiri di belakang mereka. Karena minoritas garis keras, tak heran jika mereka kerap bersuara minor alias nyinyir, seolah-olah diri mereka sajalah yang telah berjasa membela Islam. Seolah-olah Allah yang Mahakuasa memerlukan pembelaan mereka. Suatu anggapan yang justru melecehkan Allah. Saya tak yakin bahwa warga Ciketing betul-betul merasa terganggu dengan rencana pendirian gereja HKBP di wilayah mereka. Toh gereja HKBP memang spesialis diperuntukkan bagi warga Batak Protestan. Hanya ada satu dua orang Kristen dari suku lainnya yang ikut beribadah di situ lantaran menikah dengan suami dari suku Batak yang menjadi jemaat HKBP. Jadi apa yang ditakutkan? Bila persoalannya adalah tidak senang atau kebencian terhadap keyakinan umat HKBP, tentu lain lagi persoalannya. Bila ini yang terjadi, inilah saatnya negara harus tampil ke depan. Sebab, negara melalui Pasal 29 UUD 1945 telah menjamin hak setiap warganya untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Negara tidak boleh membiarkan sebagian warganya menghalangi umat beragama lain menunaikan haknya untuk beribadah sesuai keyakinannya. Selain itu, ajaran Islam sendiri juga menjamin kebebasan beragama dan menentang paksaan dalam beragama. Jika mereka mengabaikan konstitusi negara, dan mengabaikan pula tuntunan agama, lalu apa dasar rujukan mereka, kecuali kepicikan dan emosi atau hawa nafsu belaka? Tiga Mojang Sebelum kasus kekerasan terhadap jemaat HKBP meledak, minoritas garis keras yang antara lain terdiri elemen Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) telah menuntut dirobohkannya patung Tiga Mojang di Bekasi. Konon patung karya seniman Nyoman Nuarta dari Bali ini ditafsirkan oleh mereka sebagai patung Bunda Maria, ajaran trinitas Nasrani, atau pornografi. Dinilai mirip patung Bunda Maria karena patungnya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan dianggap menyimbolkan trinitas karena terdiri tiga patung. Sementara yang lain menuduh patung itu porno lantaran hanya memakai kemben atau selendang (Tempointeraktif.com, 29/7/2010). Hmm, saya betul-betul gemas mendengar kabar ini. Karena menunjukkan betapa sempitnya pandangan kelompok minoritas garis keras itu. Patung Tiga Mojang digali pematungnya, pemahat Nyoman Nuarta, dari budaya asli masyarakat Priangan sendiri yang biasa memakai kemben sebagai pakaian adat pada hari-hari istimewa. Pakaian itu juga biasa digunakan seorang dara saat menyambut tamu yang dihormati. Jadi tak benar jika patung Tiga Mojang menggambarkan Bunda Maria atau simbol trinitas. "Itu mengada-ada, saya tidak tertarik memahat simbol agama," kata Nyoman Nuarta kepada Tempo. Pertanyaannya, kalaupun patung itu bisa ditafsirkan sebagai Bunda Maria, lantas kenapa? Bunda Maria merupakan figur yang sangat dihormati dalam khazanah Islam. Dalam Al Quran pun ibunda Isa al-Masih (Yesus Kristus) ini disebut perawan suci dan diabadikan sebagai nama Surat Maryam. “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: 'Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)'.” (QS Ali Imran 42). Bila kelompok garis keras khawatir umat Islam bakal menyembah patung Tiga Mojang yang artistik itu, betapa mereka justru merendahkan intelektualitas umat Islam sendiri. Siapa sih umat Islam zaman sekarang yang mau menyembah patung hasil karya seni begitu? Faktanya, umat Islam sekarang justru lebih banyak yang terjebak "jahiliah-jahiliah masa kini" (meminjam istilah ideolog Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb), seperti menuhankan uang atau perempuan daripada menyembah patung. Itulah sebabnya, belum lama ini seorang Bulyan Royan yang memiliki pesantren dan Al Amin Nasution yang alumni pesantren, justru masuk bui karena korupsi. Padahal keduanya anggota legislatif partai berideologi Islam. Lebih tragis Al Amin juga tertangkap basah berkencan dengan perempuan bukan istrinya. Sebelumnya, Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Golkar, Yahya Zaini, yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), terseret kasus video porno bersama perempuan yang bukan istrinya, artis dangdut Maria Eva. Sifat korup dan meliarkan syahwat para pemuka Islam seperti inilah yang mestinya didemo FPI dan FUI agar dirobohkan. Bukan berdemo melawan patung. Karena itu, tuntutan untuk merobohkan patung Tiga Mojang, hanya karena dianggap mirip Bunda Maria itu, juga menunjukkan kepicikan yang berlebihan. Para pendemo itu ada baiknya sesekali melihat ornamen masjid-masjid warisan lama Islam di Turki yang membiarkan lukisan Isa Al Masih dan Bunda Maria tetap menghiasi interior kubah atau jendela kacanya. Tetapi mungkin bukan minoritas Islam garis keras namanya jika tidak gemar mendramatisasi sesuatu. Begitulah akhirnya, patung Tiga Mojang di Bekasi pun tetap dirobohkan demi memenuhi nafsu "merasa benar sendiri" kelompok beringas ini. "Akhirnya patung thogut (berhala) itu dilengserkan juga. Ini jadi pelajaran bagi pengembang agar tidak seenaknya membuat patung yang menyinggung perasaan umat Islam apalagi tidak ada izin," kata salah seorang unsur massa dari Forum Anti Pemurtadan Kota Bekasi, Ahmad, yang ikut mendemo patung itu (antaranews.com, 19/6/2010). Kelompok-kelompok seperti ini akibat daya apresiasi yang rendah tampaknya memiliki "sense of art" yang payah. Mereka tidak bisa mengapresiasi betapa indahnya keragaman yang dipertontonkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta yang berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan jalan, misalnya. Mereka juga tak mampu mengapresiasi betapa indahnya Gereja Katolik Kotabaru Yogyakarta yang berdiri berdampingan dengan Gereja HKBP Yogyakarta dan Masjid Agung Syuhada Yogyakarta. Untung saja Masjid Istiqlal dan Masjid Syuhada dibangun zaman Bung Karno, ketika Ketua FPI, Habib Rizieq, dkk belum lahir ke muka bumi. Coba andaikata kedua masjid itu dibangun sekarang ini, boleh jadi bakal didemo FPI juga, dengan alasan Bung Karno membangun masjid menghadap salib... Susah juga sih menghadapi kelompok-kelompok yang dari sononya memang sudah "parno" dan merasa mahabenar dan mahabaik itu. Bukannya bangga, sebagai Muslim saya justru lebih sering merasa malu sendiri melihat atau mendengar ulah mereka...[] Jakarta, 15 September 2010. Supaya lebih adil atau seimbang (cover both-side), silakan dibaca tulisan bernada otokritik/introspeksi dari sisi Kristiani, milik penulis lain berikut ini: Orang Toba (HKBP) Harus Berubah: Tuhan Dibingungkan di Bekasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun