[caption id="attachment_132126" align="alignleft" width="219" caption="(foto: miles films dan mizan productions)"][/caption] Membaca novel Laskar Pelangi, lalu Sang Pemimpi, dilengkapi menonton filmnya di layar lebar, mengajarkan kepada kita bahwa menjadi seorang pemimpi tidak selalu buruk. Pemimpi dalam arti memiliki angan-angan atau cita-cita tinggi, yang oleh publik kadang diremehkan terlalu muluk, ibarat orang tengah bermimpi. Andrea Hirata, melalui novelnya tadi, mengingatkan kita bahwa menjadi pemimpi, penuh imajinasi, atau bercita-cita tinggi itu baik, asal disertai tekad dan usaha membaja untuk merealisasikannya. Itulah mengapa fisikawan peraih Nobel, Albert Einstein, mengatakan: Imagination is more important than knowledge. Sementara Bung Karno berujar: Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit! Yang jadi masalah adalah ketika kita hanya bisa bermimpi, namun tak ada semangat dan usaha nyata guna meraihnya. Mimpi hanya meninabobokan kita, menjadi semacam kesadaran palsu, yang tak pernah diupayakan pencapaiannya. Apa yang kita impikan dan kita ucapkan, dengan apa yang kita lakukan, tidak ada titik temu. Dengan kata lain: Tidak satunya pikiran, ucapan, dan tindakan. Kondisi seperti itulah yang bisa kita rasakan dengan kinerja Presiden SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Ketika masa kampanye atau memulai memerintah, SBY banyak menebarkan angan muluk, seperti pemberantasan korupsi, pembenahan sektor riil, revitalisasi pertanian dan industri, penciptaan lapangan kerja, penyiapan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan seterusnya. Bahkan, dalam seratus hari, sebagian angan itu dijanjikan dapat terealisasi. Akan tetapi, apa yang terjadi? Janji tinggallah janji. Kondisi yang diimpikan tinggal menjadi mimpi. Sebab, hasilnya, justru antiklimaks. Fenomena deindustrialisasi yang disusul PHK massal terus terjadi, reformasi birokrasi seperti jalan di tempat, korupsi justru seperti dilindungi, kondisi infrastruktur semakin memprihatinkan. Pemerintah dan presiden bukan bekerja keras demi merealisasikan mimpi-mimpinya, melainkan justru sibuk berapologi, membela diri sendiri. Walhasil, di sini sang pemimpi gagal menggapai kondisi ideal yang diimpikannya. Karena kebetulan ia pemimpin, maka sekaligus sang pemimpi telah gagal menjadi pemimpin. Ia hanya berhenti sebagai pemimpi, yang menjanjikan "angin surga" (istilah yang acap disitir SBY sendiri sewaktu kampanye) bagi para pendengarnya. Sayangnya, angin surga itu hanya fatamorgana alias angan-angan kosong, yang membuat rakyat makin putus asa menjalani kehidupannya. Ini berbeda dengan Andrea Hirata, anak miskin di pelosok Pulau Belitung, yang bermimpi menjadi sarjana dan kuliah di luar negeri. Dengan segala keterbatasan yang ada, akhirnya tekad baja dan usaha kerasnya mengantarkan ia berhasil mencapai mimpi-mimpinya itu. Einstein berhasil menemukan teori relativitas, yang bagi sebagian orang, semula juga dianggap mimpi di siang bolong. Soekarno, yang harus berlatih pidato tiap malam ketika masih pelajar indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya, akhirnya berhasil mengantarkan bangsanya mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, SBY dan para pembantunya menghabiskan masa 100 hari pemerintahannya hanya untuk membela diri, atau mengeksploitasi belas kasihan rakyat, agar bersimpati kepadanya. Bung Karno rajin memberi inspirasi dan memobilisasi, Pak Harto tegas memberi instruksi, SBY gemar membela diri dan minta dikasihani. Pola Pikir Mengharapkan orang yang sudah dewasa untuk berubah memang tidak mudah. Akan tetapi, jika seorang pemimpin ingin merealisasikan mimpi-mimpi atau agendanya dalam kenyataan, maka mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus sanggup mentranformasikan dirinya dari seorang pemimpi menjadi pemimpin yang sejati. Untuk itu, ia harus mengubah pola pikir atau mind setÂ-nya, dari sekadar pemimpi menjadi pemimpin. Sebab, pemimpin tak boleh hanya memberi inspirasi, tetapi harus mampu menggerakkan segala potensi yang dipimpinnya, agar bersinergi, demi merealisasikan mimpi-mimpi besarnya. Ia harus berdiri paling depan, mengobarkan semangat, memberi contoh dari dirinya sendiri (ifda' binafsiki), bahwa kita harus bekerja keras, tegar, bangkit, untuk mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa. "Pemimpin itu ibarat perisai. Rakyat berjuang di belakangnya," demikian nasehat Nabi Muhammad SAW. Bagaimana akan menjadi perisai bagi rakyat jika seorang pemimpin selalu mengeluh, senantiasa khawatir, dan acap melakukan viktimisasi atau mengeluarkan pernyataan seolah-olah ia adalah korban kezaliman yang patut dikasihani Keluh kesah, jika sesekali diutarakan, manusiawi sifatnya. Sebab setiap manusia secara psikologis membutuhkan pintu katarsis, agar kesumpekan jiwanya tersalurkan, dan ia terhindar dari stres atau tekanan batin berlebihan. Akan tetapi, ketika keluhan tersebut ibarat lenguhan, yang disuarakan nyaris tiap hari, hasilnya justru menularkan kecemasan, keputusasaan, atau membebani orang lain. Itulah sebabnya, Bung Karno dalam beragam kesempatan, sering mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar jangan terlalu sering mengeluh. "Sebab keluh kesah adalah tanda lemahnya jiwa," katanya. Wantimpres Secara formal, memang tak ada ketentuan perundangan yang melarang seorang pemimpin atau presiden sering mengeluh. Akan tetapi, jika mengeluh diartikan sebagai sharing atau konsultasi, seorang pemimpin dapat melakukannya secara tertutup dengan para penasehat atau tim ahlinya. Dengan demikian ia tidak menyebarkan virus keputusasaan di benak rakyat, sekaligus tidak melakukan pembunuhan karakter (character asasination) atas dirinya sendiri. Sebab dengan sering mengeluh kepada publik, seorang pemimpin sadar atau tidak, telah menyuntikkan rasa frustasi atau hilangnya harapan kepada para pengikut atau masyarakatnya. Di samping itu, dengan sering mempublikasikan keluhan-keluhannya, ia juga telah mem-blow up kelemahannya sebagai pemimpin, bahwa ia bukanlah seorang pemimpin yang tegar dan tahan terhadap ujian atau tekanan. Dengan kata lain: ia telah membunuh karakternya sendiri sebagai pemimpin. Dalam konteks presiden RI, misalnya, secara konstitusional negara telah menyediakan lembaga "penampung keluhan" berupa Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang terdiri dari para pakar atau tokoh mumpuni dalam bidangnya. Jika dibutuhkan, seorang presiden dapat pula melengkapi komposisi Wantimpres dengan psikolog atau psikiater, bahkan seorang penasehat rohani, yang bisa memberikan input bagi dirinya bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Di luar itu, masih ada tim khusus kepresidenan, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, wapres dan menteri-menteri kabinet, komisi-komisi di bawah presiden, bahkan tim dokter kepresidenan, yang bisa pula menampung keluhan-keluhan atau curhat seorang presiden sesuai bidangnya masing-masing. Mengapa pilihan ini tidak diambil? Rakyat selama ini sudah sangat terbebani kehidupannya. Mereka membutuhkan suntikan semangat dari para pemimpinnya atau petinggi negara agar tegar, tabah, dan sabar menjalani kehidupan ini. Apabila rakyat, yang kehidupannya sudah memprihatinkan, masih juga dibebani oleh beragam keluhan seorang pemimpin, maka justru akumulasi keputuasaanlah yang bakal terjadi. Karena itu, sekali lagi, patut diingat pesan Nabi tadi. Bahwa seorang pemimpin adalah perisai. Rakyat berdiri atau berjuang di belakangnya. Pemimpin diberi amanah memang untuk memimpin, bukan mengeluh. Jika ia selalu mengeluh, bagaimana bisa menjadi perisai bagi para pengikut atau masyarakatnya? []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H