(foto: pasien.dagdigdug.com)
Setengah jam berlalu. Aku baru menyadari dalam kontak tubuh selekat ini, ia serasa tak ada. Satu-satunya tanda kehadirannya adalah syarafku yang meremang nyaman setiap jari-jarinya menekan kulit kepalaku.
Lima detik konon waktu yang cukup untuk membangkitkan stimulasi seksual. Bahkan jika itu hanya berupa tatapan mata di halte bus. Tapi kali ini 2.400 detik, aku tetap terpaku pada duniaku sendiri, pada lembar terakhir “Beauty and Sadness”, novel Kawabata, peraih Nobel Sastra 1968.
Sedangkan dia, meski tangannya lekat di kepalaku, mungkin juga terbenam dalam pikiran sendiri. Tentang kekasihnya yang entah dimana, atau tentang orangtuanya di rumah.
Hingga aku tercekat saat memandanginya di cermin. Gadis ini, meskipun seorang kapster, ia tak berlebihan menggores make up di wajahnya. Ia nampaknya mengerti, lipstik, maskara ataupun bedak tak boleh merusak keindahan alamiah yang dilukis Tuhan dalam tubuhnya.
“Maaf, Bapak, ada yang salah dengan pijitan saya?”ia heran dengan sikapku.
“Nggakada,”jawabku cepat, “Tapi apakah semua pelanggan laki-laki secuek aku?”
“Ada yang cuek karena datang dengan isteri atau pacar. Tapi jika sendirian mereka selalu berisik,”ia tertawa kecil.
“Berisik?”
“Iya, tanya alamat, nomor hape, status. Tanya bisa nggakdiajak jalan”.
“Aku termasuk yang mana?”lanjutku memperlancar interaksi.
“Bapak bukan salahsatunya, karena nggakada orang creambath yang cuman untuk baca buku,”ia tertawa lagi.
Lalu naluri lelakiku mekar dengan cepat: hasrat menguasai yang nampak dalam jangkauan. Tapi waktu berpacu, seperti injury timedalam pertandingan bola. Masalahnya aku tak ingin stereotypedengan para lelaki yang dikenalnya.
“Adik suka baca novel?”kataku setelah menemukan cara.
“Kadang, karya Mira W atau Fredy S”.
“Ini novel bagus, bacalah. Kembalikan kalau sudah selesai. Di lembar pertama ada nomor hapeku.”
“Terimakasih, Bapak. Pasti saya baca”.
“Oh ya bayarkan sekalian ke kasir,”aku taruh uang dalam novel itu, mungkin empat kali lipat dari yang seharusnya.
Aku baru saja masuk ke mobil ketika ia mengejarku.“Bapak, uangnya terlalu banyak, ini sisanya”.
“Ambil untuk Adik”.
“Tapi saya belum pernah menerima tip sebanyak ini, Bapak. Cukup novelnya saja, nanti kalau selesai saya kembalikan”.
Ia tersenyum. Tak ada nomor hape atau alamat yang ia berikan. Tapi caranya bersikap telah memberi alamat yang cukup jelas: kemana hati seorang lelaki berarah.(*)
Purwokerto, Mei 2011
“Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H