Mohon tunggu...
Jarot Citro
Jarot Citro Mohon Tunggu... profesional -

Bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senja di Kendalisada

2 Oktober 2010   13:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_276695" align="alignleft" width="300" caption="(foto: http://budi.winarno.org)"][/caption] Atas kuasa Batari Pertiwi, ibunya, Sinta menggerakkan Bukit Kendalisada. Di senja yang murung, di hadapan Sinta yang terusir dari Ayodya, bukit itu mirip anjing raksasa yang jinak. Merekah lalu melepas himpitan pada raga Rahwana yang remuk dan sekarat. Lantas malam jatuh, tapi Rahwana tetap menampik cinta yang ditawarkan. Demi merengkuh Sinta, raja Alengka itu telah membayar dengan kehancuran negerinya. Namun kini ia bergeming pada tawaran yang pernah ia perjuangkan seumur hidup. “Hidupku telah disabda, Sinta. Bahkan sebelum aku mengerti hidup itu apa,” ketegaran Rahwana tak luruh. “Dari semula aku ditahbiskan sebagai angkara yang melawan awatara Hyang Wisnu. Dan hidupku telah dititah untuk hasrat yang muskil, memburu cinta penjelmaan Batari Sri, termasuk dirimu”. Sinta terkesiap, “Betapa sakit takdirmu, Sinuwun”. “Aku bisa merasa sakit tapi tak berhak atas kematian. Dan aku hadapi sakit itu tanpa rasa miris di mataku. Kecuali...” “Kecuali apa?” “Kecuali ketika dewa menyabda puteriku sebagai titisan Batari Sri. Lalu adikku Wibisana membuang bayi itu dan menggantinya dengan bayi lelaki yang kuberi nama Hendrajit”. “Nasib puterimu?” “Ia diselamatkan Batari Pertiwi dan dikirim ke Raja Mantili”. Sinta tersentak dan gemetar. “Sinuwun,” lidahnya beku. “Benar, puteriku adalah kau,” Rahwana pun tergetar. “Angkaramu yang telah mereka kisah, Sinuwun,” Sinta meratap. “Tidak, Sinta!” Rahwana mengguntur. “Aku lelaki dengan kedigjayaan yang hanya kalah oleh titisan Wisnu. Aku bisa membunuh gajah hanya dengan berkedip. Jika kuinginkan aku bisa menjamahmu di Argasoka. Nyatanya tak sekalipun kusentuh kulitmu”. “Hanya itu?” “Dan sekarang aku tampik cintamu”. “Sinuwun!” “Karena cintaku padamu, anakku, adalah cinta seorang ayah,” Rahwana terbata. "Oh Dewa!" Sinta meraung. Jatuh menepuk tanah. Bumi bergoncang. Lautan muncrat dan langit pun berguguran. Sinta terus meratap. Ia tak peduli lagi. Jakarta, September 2010 "Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari  kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun